Jakarta – Dalam sebuah seminar wakaf, ada seorang nazhir pernah bertanya, bolehkan nazhir mengagunkan sertifikat tanah wakaf untuk memperoleh dana segar dari bank? Dana tersebut akan digunakan untuk mengembangkan usaha wakaf produktif. Baik dari perspektif hukum fikih atau hukum positif, tindakan tersebut jelas tidak diperbolehkan. Mengapa?
Untuk memahaminya kita perlu menilik terlebih dahulu apa itu wakaf. Secara bahasa, wakaf berarti diam, menahan harta sehingga tidak memberikan tambahan keuntungan materi pada pemiliknya. Adapun secara istilah, wakaf berarti menyerahkan kepemilikan suatu barang atau aset kepada Allah SWT. Benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang memiliki daya tahan, tidak hanya sekali pakai, dan bernilai menurut ajaran Islam.
Artinya, ketika seseorang atau sebuah instantsi mewakafkan hartanya, berarti ia telah menyerahkan kepemilikan barang atau aset, secara absolut kepada Allah, sehingga nilai pokoknya tidak dapat berkurang.
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah di Khaibar. Lalu Umar bin Khattab menghadap rasulullah untuk memohon petunjuk beliau tentang apa yang sepatutnya dilakukannya terhadap tanahnya tersebut. Umar berkata kepada rasulullah: ‘ya rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta lebih baik dari tanah di Khaibar itu. Karena itu saya memohon petunjuk rasulullah tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu’.
Rasulullah menjawab, ‘jika anda mau, tahanlah tanahmu itu dan anda sedekahkan’. Lalu Umar mensedekahkannya dan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak boleh diwariskan. Umar salurkan hasil tanah itu buat orang-orang fakir, ahli familinya, membebaskan budak, orangorang yang berjuang fi sabilillah, orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tamu.
Pengurus wakaf itu sendiri, boleh makan dari hasil wakaf tersebut dalam batas-batas yang ma’ruf (biasa). Ia juga boleh memberi makan orang lain dari wakaf tersebut dan tidak bertindak sebagai pemilik harta sendiri”. Sumber-sumber menyebutkan bahwa wakaf Umar bin Khattab itu adalah wakaf yang pertama dalam Islam. (Al-Malibary, Fathul Mu’in, bersama Syarahnya Al-Bakri, I’anatuththalibin, Kairo: Isa al-Halabi, III, hal. 158).
Oleh karena itu, surat tanah wakaf tidak dapat diagunkan, karena jika benar dapat dieksekusi, maka di kemudian hari tanah itu akan menjadi milik pemegang surat agun dan berubah statusnya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Bab IV “Perubahan Status Harta Benda Wakaf”, Pasal 40 disebutkan: “Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: a. dijadikan jaminan; b. disita; c. dihibahkan; d. dijual; e. diwariskan; f. ditukar; atau g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.”
Sungguh disayangkan jika tanah yang telah diwakafkan dijadikan agunan, karena hanya menghilangkan kebaikan yang sudah diperoleh. Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda : “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya, kecuali dalam tiga hal, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan” (HR Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Abu Daud). (au/rpblk)