Tata cara pengelolaan wakaf dalam Islam telah diatur berdasarkan Alquran dan Sunah Rasulullah SAW. Harta wakaf, menurut ajaran Islam, hanya diambil manfaatnya, sementara barang asalnya harus tetap. Karena itu, harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Pada prinsipnya, menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, pembuat wakaf menentukan bentuk pengelolaan wakafnya sendiri. Pengelola wakaf biasa disebut dengan istilah mutawalli atau nadhir.
Dalam perkembangannya praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa pemerintahan Islam sesudah era Khulafaur Rasyidin. Sri Nurhayati dalam tulisannya yang bertajuk Akuntansi Syariah di Indonesia memaparkan bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf. Pada masa itu, wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf. Maka, dalam perkembangan berikutnya mulai dibentuk lembaga yang mengatur wakaf. Lembaga ini bertugas untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Taubah bin Ghar al-Hadhramiy yang menjabat sebagai hakim di Mesir pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) dari Dinasti Umayyah, misalnya, telah merintis pengelolaan wakaf di bawah pengawasan seorang hakim. Ia juga menetapkan formulir pendaftaran khusus dan kantor untuk mencatat dan mengawasi wakaf di daerahnya.
Upaya ini mencapai puncaknya dengan didirikannya kantor wakaf untuk pendaftaran dan melakukan kontrol yang dikaitkan dengan kepala pengadilan, yang biasa disebut dengan “hakimnya para hakim”. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negeri Islam pada masa itu. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan wakaf berada di bawah kewenangan lembaga kehakiman.
Keberadaan lembaga wakaf ini juga diteruskan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pemerintah Abbasiyah membentuk sebuah lembaga yang diberinama Shadr al-Wuquuf. Lembaga wakaf ini bertugas mengurusi masalah administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.
Sementara di masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir, perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf yang dikelola oleh negara dan menjadi milik negara. Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memerintah di Mesir, ia mewakafkan tanah-tanah milik negara untuk diserahkan kepada institusi agama dan sosial yang ada pada masa itu. Langkah serupa juga pernah dilakukan oleh penguasa Islam di Mesir sebelumnya dari Dinasti Fathimiyah.
Perkembangan wakaf pada masa Dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam. Pada masa pemerintahan Mamluk, apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan.
Pada masa Mamluk juga dikenal yang namanya wakaf hamba sahaya, yakni mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa Dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya, yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.
Di era Dinasti Mamluk inilah awal mula disahkannya undang-undang wakaf dalam sebuah pemerintahan Islam. Berbagai sumber sejarah menyebutkan, perundang-undangan wakaf pada Dinasti Mamluk dimulai sejak masa Sultan Dzahir Baybars al-Bandaqdari, dimana beliau memilih hakim dari masing-masing empat mazhab.
Sementara itu di masa pemerintahan Turki Utsmaniyah, kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti ini telah mempermudah penerapan syari’at Islam, di antaranya adalah peraturan tentang perwakafan. Bahkan untuk menangangi persoalan wakaf ini, pada awal abad ke-19 M, pemerintahan Turki Utsmaniyah membentuk kabinet khusus untuk menangangi masalah wakaf.
Di antara undang-undang perwakafan yang paling penting yang pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Turki Utsmaniyah adalah yang dikeluarkan pada tanggal 29 November 1863. Undang-undang ini mengatur pengelolaan dan pengawasan wakaf. Undang-undang ini dipraktikkan di berbagai negara (Turki, Suriah, Irak, Lebanon, Palestina, dan Arab Saudi) untuk beberapa tahun setelah perpecahan Kesultanan Turki Utsmaniyah pada tahun 1918.