Oleh Muhammad Abbas Aula, Anggota Dewan Pertimbangan BWI, dan Dosen Fiqh di Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Secara geografis mayoritas umat Islam mendiami wilayah pedesaan. Mata pencaharian mereka umumnya adalah bertani dan nelayan. Di wilayah perkotaan mereka lebih banyak mendiami daerah pinggiran Mereka terdiri dari para buruh di perusahaan, pedagang di pasar-pasar tradisional, supir, dan pekerja di bengkel. Kebanyakan mereka mengenyam pendidikan hingga tingkat menengah.
Di pedesaan mereka belajar dengan fasilitas dan sarana pendidikan apa adanya pada lembaga-lembaga pendidikan swasta seperti madrasah dan pondok pesantren. Di perkotaan anak-anak mereka pada umumnya belajar di sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas sederhana, jarang yang belajar di sekolah-sekolah faforit dengan bayaran mahal. Namun berkat keuletan orang tuanya, kini banyak anak-anak petani, nelayan dan buruh pabrik yang sudah bersekolah tinggi.
Umat yang besar ini terwadahi dalam berbagai organisasi sosial seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, Persis, Al-Washliyah, Al-Irsyad dan lain-lain. Di rana politik, umat ini tidak saja berada di partai-partai politik berbasis umat Islam, namun juga tewadahi dalam partai-partai besar lainnya.
Kondisi sosial ekonomi umat yang selalu dikesankan kumuh dan kolot, ditambah dengan berbagai stigma negatif akibat ulah segelintir orang, konon di masa orde baru, ada pejabat yang enggan mengaku sebagai bahagian dari umat. Pada hal di saat dibutuhkan, umat diburu, dibujuk, dirayu, dan diberi janji-janji manis. Suara mereka menjadi rebutan.
Dana-dana segar lewat APBN banyak tersedot untuk berpesta ria lewat Pilkada dan Pilpres, yang semestinya digunakan untuk upaya pemberdayaan ekonomi mikro, kecil-menengah, dimana mayoritas umat kini berada. Berbagai upaya kini terus dilakukan baik langsung oleh pemerintah maupun melalui swadaya masyarakat, namun belum membuahkan hasil yang signifikan.
Wakaf sebagai salah satu instrument ekonomi Islam diharapkan peran sertanya, membantu menyelesaikan masalah sosial ekonomi umat jika dikelola secara professional dan produktif.
Peran dan Kiprah Wakaf
Wakaf sebagaimana zakat, infak, dan sedekah lainnya, merupakan salah satu lembaga keuangan Islam yang bertujuan sosial keagamaan. Perbedaannya, zakat, infak dan sedekah, seketika bisa habis dikonsumsi, sedangkan harta benda wakaf tidak. Oleh sebab itu wakaf sering disebut dengan sedekah jariah, artinya sedekah yang pahalanya tidak putus-putus bagaikan mata air yang mengalir.
Juga karena harta benda wakaf tetap utuh walaupun dimanfaatkan berulang kali. Zakat diwajibkan bagi mereka yang memiliki kadar harta tertentu dan disalurkan kepada pihak yang telah ditentukan, sedangkan wakaf membuka peluang bagi setiap orang yang mau beramal, tanpa menunggu menjadi tuan tanah atau kaya, dan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.
Wakaf bisa dilakukan secara sederhana sebatas penyediaan air minum seperti pada periode awal Islam. Sayyidina Utsman bin Affan berinisiatif membeli sumur milik seorang Yahudi lalu diwakafkan untuk umum. Pada periode selanjutnya, penyediaan air minum ini, kemudian berkembang di daerah-daerah yang minus air.
Di sepanjang perjalanan yang dilewati jamaah haji seperti dari Irak, Siria, Mesir dan Yaman, disediakan air minum bagi musafir, sehingga tidak ditemukan ada aktivitas penjualan air minum di jalan. Ain Zubaidah adalah salah satu bentuk wakaf air minum dijumpai sepanjang jalan dari Baghdad hingga ke Hijaz, merupakan wakaf Siti Zubaidah permaisuri Harun al-Rasyid, salah seorang Khalifah Daulah Abbasiyah. (Asmuni Mth, 2007: 29).
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz cucu Sayyidina Umar bin Khattab, harta wakaf produktif juga digunakan untuk membangun tempat peristirahatan. Khalifah melakukan renovasi bangunan yang sudah ada pada masa abad pertama Hijrah. Bangunan tersebut diperuntukkan bagi para musafir terutama para jamaah haji yang melewati jalur-jalur yang menghubungkan kota Samarkand dengan kota Faz. Disediakan rumah makan dan tempat penginapan gratis bahkan tempat-tempat tersebut juga menyediakan kandang dan makanan ternak bagi hewan tunggangan.
Pada pertengahan abad 18 M. masa Khilafah Utsmaniah, wakaf mengalami perkembangan pesat terutama wakaf uang tunai. Hampir semua fasilitas umum, infra struktur, penerangan jalan, rumah sakit, penyediaan obat-obatan dan pengembangan teknologi, serta fasilitas sosial lainnya dibiayai dari dana wakaf. Di bidang pengembangan ilmu, berbagai sarana dan fasilitas disediakan hingga biaya operasional untuk kesejahteraan para ulama, gaji para pengajar, dokter, dan beasiswa pelajar.
Wakaf Produktif
Produk harta wakaf dilihat dari sudut pandang ekonomi menurut Dr. Mundzir Qahaf dapat dibagi dua jenis. (Mundzir Qahaf, 2005: 22-23). Wakaf langsung yaitu wakaf untuk memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Pelayanan ini benar-benar dirasakan manfaatnya secara langsung, seperti wakaf masjid disediakan untuk tempat shalat, wakaf madrasah disediakan untuk tempat belajar santri, wakaf rumah sakit disediakan untuk mengobati orang sakit, dan lain sebagainya.
Wakaf jenis ini merupakan aset produktif yang sangat bermanfaat bagi pembangunan umat masa depan. Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan yang profesional agar benda wakaf dan manfaatnya tetap utuh dan terpelihara, sehingga secara terus menerus dirasakan langsung oleh masyarakat penerima manfaat wakaf.
Perbedaan antara wakaf langsung dan wakaf produktif terletak pada pola manajemen dan cara pelestarian wakaf. Wakaf langsung membutuhkan biaya perawatan yang dananya diperoleh dari luar benda wakaf. Contohnya, seorang yang mewakafkan satu unit bangunan untuk komplek pendidikan atau madrasah, masih membutuhkan biaya opersional, misalnya untuk menggaji guru, kebutuhan kantor, perawatan gedung dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Sedangkan wakaf produktif, sebagian hasilnya dapat digunakan untuk merawat dan melestarikan benda wakaf dan selebihnya dibagikan kepada mustahik wakaf sesuai dengan kehendak wakif.
Dengan demikian tujuan esensial dari wakaf, adalah bersifat produktif dan dapat diambil manfaatnya sebanyak mungkin oleh banyak orang, dengan tetap menjaga keutuhan barangnya. Hal ini difahami dari sabda Rasulullah saw: “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya” (HR.An-Nasa’i dan Ibnu Majah). Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda: “Jika engkau mau, tahan pokoknya dan sedekahkan hasilnya” (HR. Muslim).
Petunjuk Rasulullah saw.ini disampaikan tatkala Sayyidina Umar ra, hendak menyerahkan wakaf kebun miliknya di Khaibar untuk kepentingan fakir miskin, keluarganya, pembebasan budak, fi sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Hal ini menunjukkan bahwa harta wakaf harus dikelola secara produktif karena tidak mungkin hasilnya disedekahkan bila tidak dikelola dan dikembangbiakkan sebagaimana mestinya.
Mesir salah satu negara miskin dibandingkan dengan negara-negara kaya seperti Saudi Arabia, Kuwait, Emirat, namun perkembangan wakaf produktif di negeri ini sangat pesat. Salah satu badan Wakaf bernama Al-Jam’iyah Al-Syar’iyah didirikan tahun 1912 M. setiap tahun menyediakan beasiswa bagi mahasiswa asing yang belajar di Universitas Al-Azhar Kairo. Saat ini jumlah penerima beasiswa mencapai 7000 orang berasal dari berbagai Negara, Indonesia termasuk penerima beasiswa paling banyak.
Lembaga yang mengembangkan wakaf produktif ini memiliki aset besar. Diantaranya berupa rumah sakit dan poliklinik, spesialis mata dan kanker, dan melayani cuci darah serta pengobatan lainnya secara gratis bagi para pasien yang tidak mampu. (Al-Jam’iyah asy-Syar’iyah Fi Suthuur, 2008).
Di negeri jiran Malaysia wakaf produktif berkembang pesat sejak tahun 2008. Sebuah bangunan komersial setinggi 34 tingkat dengan 2 tingkat bawah tanah dan 7 tingkat parkir kendaraan dibangun diatas tanah wakaf seluas 52.838 meter persegi. Tanah tersebut adalah wakaf dari seorang hartawan keturunan Gujarat, India pada tahun 1980.
Bangunan ini dikenal dengan Menara Imara Wakaf yang menjadi salah satu ikon wakaf di Malaysia. Letaknya bersebelahan dengan Menara Kembar Petronas yang merupakan urat nadi bandaraya Kuala Lumpur Malaysia. Menara wakaf tersebut diresmikan penggunaannya pada bulan Oktober 2011, dan disewakan sepenuhnya oleh Bank Islam Malaysia Berhad. Hasilnya diperuntukan bagi para mustahik wakaf.
Terdapat pula 4 hotel wakaf masing-masing dibangun di Melaka, Perak, Negeri Sembilan dan Terengganu, sebahagian sudah beroperasi tahun 2011 dan sebahagian yang lain baru beroperasi tahun 2012. Selain itu ada dua jenis proyek kecil berimpak besar di bangun di kawasan masjid terpilih di seluruh wilayah Negara dengan jumlah keseluruhan sebanyak 69 proyek.
Jenis pertama disebut Bazar Wakaf Rakyat, dimana proyek ini merupakan ruang niaga untuk pelbagai jenis perniagaan yang dilakukan oleh kelompok muslim ekonomi lemah, golongan fakir dan asnaf yang diharapkan mampu meningkatkan pendapatannya. Jenis kedua disebut Wakaf Mart, kedai runcit halal yang menyediakan pelbagai barang keperluan harian dengan harga kompetitif.
Di Singgapura, dibawah pengawasan dan tanggung jawab Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) semua tanah wakaf selesai ditertibkan tahun 2000. Majelis ini mendirikan sebuah lembaga komersial bernama Warees Investments Pte Ltd pada tahun 2002, yang berfungsi mengurus dan mengembangkan semua aset wakaf secara produktif. Warees berhasil membangun 20 unit perumahan Wakaf Kassim, berikut sebuah bangunan komersial dan institusi pendidikan Wisma Indah di Changi Road.
Wakaf Kassim setiap tahunnya memperoleh keuntungan dari hasil sewa Wisma Indah S$300.000.- Selain itu Warees juga berhasil menghimpun dana wakaf tunai dari 200.000 pekerja muslim Singapura. Setiap bulan pendapatan atau gaji mereka dipotong langsung melalui majikan masing-masing. Seluruh dana wakaf yang terhimpun digunakan oleh MUIS untuk pembinaan 23 buah masjid besar di Singapura yang menelan belanja sekurang-kurangnya S$140 juta.
Di Indonesia, wakaf produktif belum dikelola secara optimal. Pada umumnya hampir semua harta wakaf masih dikelola secara tradisional, diperuntukan bagi pembangunan fisik, seperti masjid, madrasah, dan kuburan. Hasil Penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi menunjukkan bahwa 77 % harta wakaf lebih banyak bersifat diam, sedangkan 23 % lainnya produtif. Temuan umum lainnya juga menunjukan 79 % pemanfaatan terbesar harta wakaf berupa bangunan masjid.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa para pengelola harta benda wakaf (nazhir) belum melakukan fungsinya secara optimal. Hal ini diperkuat oleh hasil riset lembaga yang sama pada tahun sebelumnya sebagaimana dikemukakan oleh Sukron Kamil, Guru Besar Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil riset CSRC (Centre for the Study of Religion and Culturte), tahun 2004-2005 menunjukkan bahwa mayoritas pengelola (nazhir) wakaf 66% bersifat perorangan, sedangkan nazhir berbadan hukum 18% dan nazhir organisasi 16 %.
Perlu ada data konkrit mengenai jumlah aset wakaf milik nazhir berbadan hukum dan nazhir organisasi yang mencapai angka 34 persen tersebut, sehingga dapat diketahui berapa persen aset wakaf yang telah dikelola secara produktif. Hal ini mengingat mayoritas nazhir perorangan sebanyak 66 % tersebut, diperkirakan mengelola aset wakaf berupa lahan tanah dengan luas kurang dari 500 meter persegi. Sementara itu, masyarakat sebagai calon wakif, atau sebagai calon nazhir pada umumnya masih mempunyai persepsi yang sama bahwa wakaf harus diperuntukkan bagi kepentingan sarana ibadah berupa masjid dan madrasah, yang bersifat wakaf langsung, dan bukan wakaf produktif.
Perbedaan Antara Wakaf Uang dan Wakaf Tunai
Realisasi penghimpunan dana wakaf di masyarakat masih ditemukan kerancuan antara wakaf uang dan wakaf tunai. Wakaf tunai sesungguhnya adalah wakaf barang melalui uang tunai. Sebagai contoh, seorang wakif menyetorkan sejumlah uang tunai ke rekening nazhir pada salah satu lembaga keuangan yang ditunjuk, baik swasta maupun pemerintah.
Namun pada umumnya secara tradisional wakif membayar cash kepada lembaga atau panitia pembangunan yang menangani proyek tersebut. Selanjutnya dana yang terhimpun digunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan, berupa tanah lahan, bahan bangunan, buku-buku perpustakaan, Al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan Wakaf Uang, berdasarkan pasal 28 UU No.41 tahun 2004, Bab kesepuluh, Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang, wakaf uang hanya dapat disetorkan melalui Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai Penerima Wakaf Uang (PWU). Wakif menyetorkan sejumlah uang tunai ke rekening nazhir yang ada pada LKS PWU dimaksud.
Dana yang terhimpun kemudian dikelola secara produktif melalui investasi produk-produk LKS dan instrumen keuangan syari’ah lainnya baik disektor riil maupun finansial. Hasil pengelolaannya disalurkan sesuai dengan kehendak wakif kepada pihak-pihak yang berhak memanfaatkannya sebagai mauquf ‘alaih.
Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima Wakaf Uang yang telah ditunjuk oleh Menteri Agama 31 Juli 2008 ialah (LKS-PWU), BNI Syari’ah, Bank Syari’ah Mandiri (BSM), Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank DKI Syari’ah, dan Bank Mega Syari’ah.
Trobosan Baru Instrumen Wakaf Uang.
Wakaf uang tunai sudah membudaya di tengah kehidupan umat. Hampir disetiap masjid dan mushalla selalu disediakan kotak amal jariah, bahkan di beberapa restoran dan rumah makan sederhana juga disediakan kotak amal yang sama. Setiap orang dengan mudah memasukkan uang ke dalam kotak amal yang tersedia tanpa diminta saat masuk masjid atau keluar dari restoran.
Masjid-masjid yang berada di area pemukiman baru, terutama pemukiman elit, berpotensi cukup besar menghimpun dana wakaf, khususnya pada tiap hari jumat. Di wilayah perkotaan, sekali resepsi pernikahan pada umumnya menghabiskan biaya puluhan juta. Jika setiap orang yang berhajat mempunyai komitmen menyisihkan sekian persen untuk dana wakaf, maka setiap tahunnya di suatu kecamatan atau kelurahan selalu ada aktivitas penghimpunan dana wakaf.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia bulan Mei 2002. telah menetapkan kebolehan Wakaf Uang Tunai (Cash Wakaf/ Waqf al-Nuqud), termasuk di dalamnya surat-surat berharga. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. Dengan demikian wakaf uang tunai boleh dikatakan sebagai dana abadi umat, dan merupakan potensi ekonomi umat jangka panjang.
Menghimpun dana wakaf uang tunai tidaklah sulit. Uang satu juta rupiah bagi kalangan tertentu dengan mudah dihabiskan dalam waktu satu hari. Jika uang sebesar itu diwakafkan oleh seratus orang, nilai nominalnya cukup besar. Ir. Muhammad Syakir Sula dalam Jurnal al-Awqaf volume 04 berandai, jika ada satu juta muslim mewakafkan sebesar Rp.100.000, maka akan terkumpul Rp 100 milyar setiap bulan dan Rp.1,2 triliyun per tahun. Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen pertahun maka setiap bulan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp.10 milyar atau Rp. 120 milyar/tahun.
Peranan Perbankan Syari’ah dalam implementasi Wakaf Uang menurut Mulya Siregar ikut menentukan terwujudnya semua pengandaian tersebut. Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima Wakaf Uang (LKS PWU) yang ditunjuk oleh Menteri Agama, adalah Bank Muamalat Indonesia, Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Mega Syari’ah, insya Allah menyusul Bank Syari’ah lainnya.
Dana wakaf uang yang dihimpun melalui LKS PWU, dijamin aman karena Bank-bank Syari’ah tersebut dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mulya Siregar menambahkan, SDM Bank Syari’ah yang professional, diharapkan akan mampu mengelola dana yang terhimpun secara optimal, amanah, jujur dan transparan, melalui pembiayaan ke berbagai sektor riil yang halal. Begitu juga dengan jaringan kantor Bank Syari’ah yang tersebar luas di wilayah tanah air, dengan fasilitas yang relativ lengkap seperti tersedianya jaringan ATM, SMS Banking, Internet Banking, Phone, dan fasilitas auto debet dari rekening nasabah.
Semua fasilitas perbankan yang tersedia, memudahkan masyarakat untuk melakukan setoran sejumlah uang tunai kepada nazhir yang dituju melalui rekening giro atau tabungan wadi’ah pada Bank Syari’ah dimaksud. Para nazhir Wakaf Uang diharuskan membuka rekening dalam bentuk tabungan atau deposito mudharabah pada LKS PWU, dengan nisbah bagi hasil yang disepakati kedua belah pihak. Bagi hasil akan diterima oleh Nazhir dari bank syari’ah, setelah dikurangi biaya operasional dan bagian untuk nazhir. Selanjutnya bagi hasil bersih akan disalurkan kepada pihak-pihak yang telah ditetapkan sebagai penerima manfaat atas wakaf uang (mauquf ‘alaih).
Nazhir Wakaf Profesional
Dokumen wakaf yang ditulis oleh Umar radhiyallahu anhu, mengisyaratkan beberapa unsur produksi, yaitu tanah, pengelola wakaf (nazhir) dan para penggarap lahan pertanian. Tidak diragukan lagi bahwa unsur modal merupakan sesuatu yang sangat vital dibutuhkan, sekalipun tidak disebutkan secara eksplisit. Sebab bekerja dalam pertanian membutuhkan alat bajak, benih, sapi, dan lain-lain yang masuk dalam kategori modal.
Sementara Nazhir wakaf dinilai sebagai unsur dasar dari beberapa unsur kegiatan ekonomi tersebut (wakaf). Karena itu keberadaan nazhir menjadi keharusan jika ditentukan oleh wakif. Jika tidak, pengawasan wakaf ditangan maukuf ‘alaih, atau langsung oleh pemerintah. Bahkan sebahagian Ulama berpendapat bahwa bila wakif mensyaratkan agar wakafnya sama sekali tidak dikelola oleh nazhir, maka syarat ini tidak bernilai.
Keberadaan Nazhir sebagai pihak yang diberi kepercayaan dalam mengelola harta wakaf sangatlah penting. Sekalipun para Ulama sepakat tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun mereka sepakat bahwa wakif harus menunjukkan nazhir wakaf baik yang bersifat perorangan maupun kelembagaan (berbadan hukum). Nazhir diperlukan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus serta tidak diterlantarkan.
Selain persyaratan nazhir sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab Fiqh, menurut Fathurrahman Jamil, ada tiga persyaratan utama nazhir wakaf yang professional. Pertama, syarat moral, meliputi pemahaman atau ilmu tentang hukum wakaf dan ZIS baik dalam tinjauan syar’iy maupun perundang-undangan, kejujuran, kecerdasan, kesungguhan, sabar dan tahan godaan. Kedua, syarat manajemen, meliputi leadership, visioner, professional, dan ada masa bhakti nazhir. Ketiga, syarat bisnis meliputi adanya kemauan yang keras, kesiapan dan ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrepreneur.
Penutup
Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai sebuah lembaga independen yang dilahirkan oleh UU No.41 Tahun 2004, selain memilki tugas dan wewenang untuk melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai amanah UU, juga berupaya untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf, sebagai realisasi visi dan misi BWI. Sekaligus BWI merupakan wadah kerjasama nazhir atau umat pengelola aset wakaf, baik nazhir perorangan, nazhir organisasi dan nazhir berbadan hukum.
Pencanangan “Gerakan Nasional Wakaf Uang” oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Negara Januari 2010 yang digagas oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) Pusat, perlu terus menerus digalakkan dengan beberapa langkah.
Pertama, melibatkan seluruh komponen bangsa, dan para pemangku kebijakan di negri ini baik di lembaga-lembaga pemerintahan maupun swasta, di pusat maupun di daerah, untuk berperan aktif mendorong mobilisasi dana wakaf uang. Meningkatkan budaya beramal jariah yang telah mengakar dalam masyarakat dan menggali potensi wakaf dalam tubuh umat.
Kedua, melakukan sosialisasi dan pembinaan nazhir secara terus menerus melalui lembaga-lembaga pendidikan, pesantren, masjid, ormas Islam, dan badan hukum pemilik aset wakaf.
Ketiga, kerjasama dengan berbagai pihak dalam mengembangkan proyek-proyek percontohan berskala kecil yang langsung menyentuh kehidupan ekonomi umat di tingkat masyarakat kelas menengah ke bawah.
Keempat, memanfaatkan dana wakaf uang seoptimal mungkin untuk membantu kelompok usaha mikro kecil menengah kebawah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Dr, Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab, Pustaka Al-Kautsar Grup, Jakarta 2006.
Al-Jam’iyah asy-Syar’iyah ar-Raisiyah Fi Suthuur, Kairo, 2008
An-Nasa’i, Sunan, Syarah al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi dan Hasyiyah Al-Imam As-Sindiy, III/5, Kitab al-Ahbas, Daar al-Jiil, Beirut.
Asmuni Mth, M.A,Drs, Wakaf, Yogyakarta, Pustaka Insani Madani, 2007
C.Mohd, Datuk Haji Anan bin, “Pembangunan Wakaf, Pengalaman Malaysia”, Makalah Seminar Wakaf Serantau, Hotel Sunway Putra, Kuala Lumpur, Malaysia 4-5 September 2012.
Jamil, Fathurrahman, Standarisasi dan Profesionalisme Nazhir di Indonesia, Jurnal al-Awqaf, volume IV, nomor 04, Januari 2011.
Nasution, Mustafa Edwin, Ph.D, Peran Badan Wakaf Indonesia Dalam Pengembangan Wakaf di Indonesia, Jurnal Al-Awqaf, volume 1, nomor 01, Desember 2008.
Osman, Encik Zaini, “Pengurusan Dan Pembangunan Wakaf Masyarakat Islam,
Pengalaman Singapura”, Makalah Seminar Wakaf Serantau, Hotel Sunway Putra, Kuala Lumpur, Malaysia 4-5 September 2012.
Qahaf, Mundzir, Management Wakaf Produktif, Jakarta, Khalifah, 2005.
Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, Daar ‘Aalam al-Kutub, Riyadh, 1997, VIII.
Shahih Muslim, Hadits No.1632, Daar ‘Aalam al-Kutub, Riyadh, 1996, III
Siregar, Mulya E., Peranan Perbankan Syari’ah dalam Implementasi Wakaf Uang, Jurnal al-Awqaf, volume IV, nomor 4, Januari 2011.
Sula, Muhammad Syakir ,FIIS,AAIJ, Menakar Kerjasama Nazhir dengan LKS, Jurnal al-Awqaf volume 1, no,01, Desember 2008.
Suparman IA, Prof.Dr. Strategi Fundraising Wakaf Uang, Jurnal Al-Awqaf, volume II, nomor 2, April 2009.
Peraturan perundang-undangan
Fatwa MUI Tentang Wakaf Uang, Badan Wakaf Indonesia, 2007
Badan Wakaf Indonesia, Tim Penyusun, Pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang, oleh Presiden Republik Indonesia, di Istana Negara, Jumat, 8 Januari 2010.
Proposal Seminar Wakaf Produktif dan Workshop Nazhir Profesional, Panitia Seminar, Jakarta, 25 Juni 2008.
Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 tahun 2009, Tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang, Himpunan Peraturan Badan Wakaf Indonesia, tahun 2010.
Peraturan Perundangan Perwakafan, Departemen Agama, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, tahun 2006.