Kolaborasi Umat Islam untuk Dampak Iklim (Muslims for Shared Actions on Climate Impact/Mosaic) meluncurkan inisiatif wakaf hutan sebagai salah satu solusi pendanaan inovatif bagi masalah perubahan iklim yang dihadapi Indonesia.
Wakaf hutan merupakan gerakan kolaborasi penggalangan dana untuk pelestarian hutan melalui wakaf sebagai salah satu instrumen filantropi Islam.
“Peluncuran inisiatif wakaf hutan dalam suasana gelaran COP28 di mana berbagai negara bernegosiasi tentang pencapaian target emisi adalah momen yang tepat untuk mengirimkan sinyal darurat bahwa perlindungan alam lebih penting dari profit dan kepentingan politik,” kata Steering Committee Mosaic Rika Novayanti dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) mencatat Indonesia membutuhkan dana sebesar 281 miliar dolar AS atau sekitar Rp4.299 triliun untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030.
Dengan latar belakang tersebut, menurut Rika, pembiayaan dan filantropi Islam bisa menjadi alternatif solusi pendanaan yang inovatif karena potensinya yang sangat besar di Indonesia.
Kampanye wakaf hutan yang diluncurkan, lanjut Rika, diharapkan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat tentang potensi filantropi Islam sebagai salah satu solusi inovatif bagi pembiayaan aksi iklim.
Dana yang terkumpul dari penggalangan ini akan disalurkan untuk program ekologi, ekonomi dan edukasi melalui Yayasan Hutan Wakaf Bogor sebagai salah satu nazir wakaf hutan yang terletak di Desa Cibunian, Kabupaten Bogor, Jabar.
“Melalui kampanye wakaf hutan, kami berharap dapat memberikan inspirasi bahwa pendanaan iklim tidak harus hanya bersumber dari luar negeri, namun dapat juga melalui kolaborasi dan pemanfaatan potensi besar dari pendanaan umat,” kata Rika.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia Emmy Hamidiyah mengungkapkan potensi wakaf mencapai Rp180 triliun setiap tahun. Hingga Oktober 2023, sudah ada Rp2,3 triliun yang terkumpul melalui wakaf uang.
“Namun, sebagian besar masih tersalurkan untuk pendidikan dan pengentasan kemiskinan, sedangkan untuk lingkungan masih kecil sekali atau di bawah Rp5 miliar,” katanya.
Inisiatif wakaf hutan telah berjalan sejak beberapa tahun yang lalu dan dimulai secara mandiri oleh beberapa komunitas masyarakat di beberapa lokasi seperti hutan wakaf di Janto, Nanggroe Aceh Darussalam. Gerakan pelestarian hutan sejenis juga telah dilakukan komunitas masyarakat Laskar Hijau di Gunung Lemongan, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bambang Brodjonegoro menyampaikan sebagaimana Brasil dan Kongo, hutan Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk mendorong pertumbuhan green economy dan carbon trading.
“Demand secara global untuk carbon trading sudah ada, sekarang tinggal bagaimana kita menyediakan supply-nya,” ungkapnya.
Wakaf hutan, lanjut Bambang, juga sejalan dengan visi program perhutanan sosial dari pemerintah yang bertujuan untuk menjaga kondisi hutan tetap lestari dengan tetap memberikan manfaat ekonomi bagi kehidupan masyarakat sekitar.
Adapun Kepala Divisi Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Ignatius Denny Wicaksono menyebut di bursa karbon kredit, inisiatif seperti wakaf hutan ini sangat potensial untuk menjadi carbon credit kategori premium.
“Karena tidak hanya menghasilkan karbon, tapi juga memberikan manfaat sosial yang nyata kepada masyarakat sekitar dan biodiversity (keanekaragaman),” katanya.