Penulis: Dr. Tatang Astarudin
(Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia)
Bayangkan sebuah dunia di mana wakaf bukan sekadar sebidang tanah yang dibiarkan kosong, atau sekadar amal jariyah berupa masjid, madrasah dan pemakaman. Sebaliknya, wakaf menjadi motor penggerak ekonomi, mendanai pendidikan bagi jutaan anak, membangun rumah sakit bagi kaum dhuafa, serta menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang membutuhkan, wakaf juga menjadi buffer dan penjaga hutan dan lingkungan tetap lestari.
Kedengarannya seperti utopia? Tidak. Ini adalah kenyataan yang mungkin, bahkan seharusnya, terjadi, jika kita berani membawa wakaf keluar dari pola lama dan mengantarkannya ke era baru perwakafan. Era baru perwakafan menuntut para pemangku kepentingan wakaf, khususnya para Nazhir dan Pengurus BWI untuk mengerti teori, militan dan jujur dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf, pun juga wajib menguasai dan akrab dengan piranti teknologi digital.
Saat ini kita menyaksikan revolusi besar di berbagai sektor kehidupan. Fintech mengubah sistem perbankan, e-commerce mendisrupsi dunia ritel, dan blockchain merevolusi konsep transparansi dalam pengelolaan keuangan. Namun, ada satu sektor yang tampaknya tertinggal dalam gelombang inovasi ini, yaitu wakaf. Padahal, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar kedua di dunia, Indonesia memiliki potensi wakaf yang luar biasa. BWI memperkirakan potensi wakaf uang di Indonesia setidaknya mencapai Rp 180 triliun per tahun, namun realisasinya masih jauh dari angka tersebut. Mengapa?
Sebagian besar masyarakat masih berpikir bahwa wakaf hanya untuk orang kaya dan harus dalam bentuk aset fisik seperti tanah atau bangunan. Di sisi lain, sistem penghimpunan wakaf yang masih konvensional, tidak inklusif, kurang transparan dan profesional, membuat banyak potensi wakaf terlewat begitu saja. Maka, jika kita ingin membangunkan “raksasa tidur” yang bernama wakaf, transformasi dan digitalisasi bukan sekadar opsi, melainkan satu keniscayaan.
Perjalanan menuju transformasi wakaf bukanlah sekadar impian. Teknologi telah membuka jalan bagi perubahan besar dalam cara memahami, mengelola, dan menyalurkan wakaf. Blockchain, misalnya, menawarkan transparansi yang tidak bisa ditawar. Dengan teknologi ini, setiap transaksi wakaf tercatat dalam sistem yang tidak bisa diubah atau dimanipulasi. Publik dapat melihat bagaimana dana wakaf digunakan secara real-time, sehingga tidak ada lagi celah bagi penyalahgunaan atau keraguan. Jika diterapkan secara luas, blockchain tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat (trust) terhadap wakaf, tetapi juga menjadikannya lebih profesional, transparan, dan akuntabel.
Namun, transparansi saja tidak cukup. Kita perlu memastikan bahwa wakaf dikelola dengan efisien agar dampaknya dapat dirasakan lebih luas. Di sinilah artificial intelligence dan big data berperan. Dengan analisis cerdas, kita bisa mengidentifikasi sektor yang paling membutuhkan intervensi berbasis wakaf. Artificial intellgence (AI) dapat membaca pola donasi dan memprediksi tren, memastikan investasi wakaf dilakukan secara optimal untuk manfaat jangka panjang.
Bayangkan jika masyarakat bisa berwakaf hanya dengan satu klik melalui aplikasi mobile banking atau e-wallet. Tidak perlu menunggu menjadi miliarder untuk berwakaf; cukup Rp 10.000, dan kita sudah ikut serta dalam membangun rumah sakit atau sekolah berbasis wakaf. Di beberapa negara, model crowdfunding telah diterapkan dengan sukses. Dana kecil dari banyak orang dikumpulkan untuk mendanai proyek-proyek sosial kemanusiaan. Jika konsep ini diterapkan di Indonesia, wakaf akan menjadi lebih inklusif dan bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Wakaf bukan hanya soal ibadah, tetapi juga strategi pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Jika dikelola dengan baik, wakaf dapat berkontribusi terhadap berbagai aspek kehidupan. Wakaf produktif, misalnya, dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat kecil dan mengurangi kemiskinan. Rumah sakit berbasis wakaf bisa memberikan layanan kesehatan bagi mereka yang kurang mampu, sementara universitas dan pesantren berbasis wakaf membuka akses pendidikan bagi anak-anak yang tidak memiliki kesempatan belajar. Wakaf juga bisa menjadi modal bagi usaha mikro dan kecil, mendukung ekonomi berbasis syariah yang lebih adil dan berkelanjutan.
Tetapi, untuk mewujudkan ini semua, kita tidak bisa hanya berpangku tangan. Transformasi wakaf memerlukan ekosistem yang kuat, mulai dari regulasi yang adaptif hingga profesionalisme para pengelola wakaf. Pemerintah harus menciptakan kebijakan yang memungkinkan digitalisasi wakaf berkembang tanpa melanggar prinsip syariah. Insentif pajak bagi wakif bisa menjadi langkah strategis untuk mendorong partisipasi lebih luas. Pengelola wakaf juga harus memahami manajemen investasi, teknologi, dan transparansi keuangan, agar wakaf bisa benar-benar menjadi instrumen pembangunan yang efektif.
Tak kalah pentingnya, sinergi antara lembaga wakaf, perbankan syariah, dan startup fintech harus diperkuat. Bayangkan jika kita bisa berwakaf langsung dari dompet digital atau aplikasi perbankan. Dengan cara ini, wakaf tidak lagi eksklusif bagi segelintir orang, tetapi menjadi kebiasaan kolektif yang bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja. Gerakan Indonesia Berwakaf (GIB) telah menekankan pentingnya pendekatan kolektif dalam membangun ekosistem wakaf. Wakaf bukan hanya urusan umat Islam, tetapi juga bagian dari kepentingan nasional.
Pertanyaannya adalah, apakah para nazhir dan para pemangku kepentingan wakaf siap bertransformasi dan menerapkan paradigma baru tersebut? Kita berada di titik persimpangan. Jika kita tetap terpaku pada pola lama, wakaf akan terus menjadi raksasa tidur yang berpotensi besar yang tidak dimanfaatkan. Namun, jika kita berani bertransformasi dan berinovasi, wakaf akan mampu menjadi motor ekonomi yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan. Pertanyaan terbesar bagi kita semua: apakah kita masih ingin melihat wakaf sebagai tradisi statis, atau kita siap menjadikannya sebagai kekuatan ekonomi yang menggerakkan peradaban?
Era digital bukan sekadar tantangan, tetapi juga peluang. Mari kita semua “berteriak” dengan melakukan transformasi dan inovasi untuk membangunkan raksasa tidur yang bernama wakaf dan menjadikan wakaf sebagai pilar utama pertumbuhan dan ketahanan ekonomi bagi kesejahteraan masyarkat. Wallahu’alam.
Pojok Cipadung, Awal Maret 2025