Wakaf pada Awal Kemunculan Islam

 

Penulis : Dr. Tatang Astarudin ( Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia )

Ramadan adalah saat yang tepat untuk mengasah kesadaran, kepekaan, dan manifestasi spiritualitas kita di tengah kuatnya tarikan ambisi dan bisingnya pemberitaan tentang korupsi dan kebijakan efisiensi. Di keheningan malam Ramadan, mari berhenti sejenak dan bertanya kepada diri sendiri: sebenarnya apa yang kita kejar dalam hidup ini? Apa jejak bermakna yang hendak kita tinggalkan untuk bekal di alam keabadian nanti?

Ada peribahasa “Gajah Mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, Manusia mati meninggalkan nama”. Nama dalam peribahasa tersebut dapat disetarakan sebagai jejak. Nama besar karena jejak hidupnya besar. Senada dengan itu, nasihat bijak lainnya mengingatkan bahwa hidup bukan sekedar perjalanan mengukur jarak, baik dalam aspek usia maupun capaian materi. Hidup adalah ikhtiar mengukir jejak yang bermakna bagi sesama.

Banyak di antara kita yang senang melakukan perjalanan dan membagi momen tertentu di media sosial, terutama jika destinasi yang kita kunjungi memiliki keindahan yang menawan atau tantangan yang unik. Konon, Dalai Lama pernah mengatakan, “Setiap tahun, pergilah ke tempat yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya.” Motivasi ini mendorong banyak orang untuk menandai perjalanan hidup mereka dengan eksplorasi geografis. Namun, apakah hanya itu jejak yang ingin kita tinggalkan?

Jejak Abadi dalam Doa dan Karya

Nabi Ibrahim AS dalam doanya yang diabadikan dalam al-Qur’an Surah Asy-Syu’ara’ (26: 83-87) memohon:

Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang memusakai surga yang penuh kenikmatan dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.”

Dalam doa ini, Nabi Ibrahim tidak hanya meminta kebijaksanaan dan kesalehan, tetapi juga memohon agar namanya dikenang dengan baik oleh generasi setelahnya, bukan dalam bentuk patung atau monumen, melainkan dalam bentuk warisan spiritual dan manfaat yang berkelanjutan bagi umat manusia.

Imam Al-Ghazali dalam karya magnum opus-nya, Ihyā ‘ulūmiddīn, menyatakan bahwa “Berbahagialah mereka yang ketika meninggal, seluruh dosanya ikut mati bersamanya, dan celakalah mereka yang meskipun sudah wafat, namun dosa serta dampak buruk perbuatannya terus mengalir.” Artinya, jejak yang kita tinggalkan tidak hanya berupa kebaikan, tetapi juga bisa berupa keburukan yang terus memberikan dampak negatif bagi orang lain.

Maka, jejak sejati bukanlah tentang tempat yang kita kunjungi, tetapi tentang manfaat yang kita wariskan. Apakah kita meninggalkan jejak yang menghadirkan kebahagiaan bagi sesama, atau justru meninggalkan luka dan penderitaan?

Ramadan Punya Cerita

Ramadan bulan penuh berkah dan sejarah, bulan di mana pahala amal ibadah dilipatgandakan, dan bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah SAW mengingatkan dalam Hadits riwayat At-Tirmidzi:

“Sungguh sangat merugi seseorang yang masuk bulan Ramadan kemudian Ramadan berlalu begitu saja sebelum ia diampuni dosa-dosanyanya”.

Artinya, Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk meninggalkan jejak yang bermakna, bukan hanya dalam bentuk ibadah pribadi, tetapi juga berkontribusi nyata bagi masyarakat.

Pepatah mengatakan, “Jangan menunda amalan hari ini hingga esok, karena hari esok belum tentu datang untukmu.” Ramadan tahun ini mungkin yang terakhir bagi kita, dan kematian bisa datang kapan saja, tanpa mengenal usia dan kesiapan.

Membangun Jejak Melalui Wakaf

Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Muslim:

“Jika seorang manusia meninggal dunia, terputus amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.

Menurut Imam Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i, sedekah jariyah dalam hadits ini merujuk pada wakaf, karena tidak seperti sedekah biasa yang manfaatnya langsung habis, wakaf memiliki sifat abadi di mana pahalanya terus mengalir meskipun pewakaf telah meninggal dunia.

Dalam sejarah peradaban Islam, wakaf telah menjadi pilar utama pembangunan sosial. Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, yang didirikan melalui wakaf pada abad ke-9, masih beroperasi hingga hari ini. Begitu pula Universitas Al-Azhar di Mesir, sejumlah rumah sakit Islam di era kejayaan Baghdad dan Istanbul, serta ribuan masjid, sekolah, dan sumur yang menjadi saksi nyata bagaimana wakaf membangun peradaban.

Saat ini, di tengah polemik kebijakan efisiensi anggaran, termasuk anggaran pendidikan, gerakan sedekah jariyah ini dapat kita tempatkan sebagai salah satu solusi strategis. Pada titik ini, wakaf merupakan ikhtiar kolektif dalam membangun infrastruktur peradaban yang menopang ekosistem pendidikan dan mempercepat pengembangan sumber daya intelektual, berupa ilmu pengetahuan, teknologi yang bermanfaat, serta guru-guru berkualitas. Infrastruktur fisik dan intelektual tersebut menjadi fondasi penting bagi lahirnya generasi unggul, yaitu anak-anak saleh yang senantiasa mendoakan orangtuanya. Wallahu’alam.

TA
Pojok Cipadung,
Ramadhan 1446 H

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent posts