Workshop Penguatan Literasi dan Sosialisasi Wakaf Uang untuk Kemaslahatan Umat: Kolaborasi BWI dan MUI

Dalam rangka meningkatkan literasi wakaf di kalangan masyarakat, Badan Wakaf Indonesia (BWI) bekerja sama dengan Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Workshop Penguatan Literasi dan Sosialisasi Wakaf Uang untuk Kemaslahatan Umat. Acara ini bertujuan untuk memperkenalkan konsep wakaf kontemporer, khususnya wakaf uang, kepada para dai agar mereka dapat menjadi penggerak literasi wakaf di masyarakat.

Acara dibuka secara resmi oleh KH. Cholil Nafis, MA, yang dalam sambutannya menekankan pentingnya wakaf sebagai instrumen untuk pemberdayaan ekonomi umat. Ia menyebut bahwa potensi wakaf uang di Indonesia sangat besar, mencapai Rp180 triliun, namun belum dimaksimalkan karena minimnya pemahaman masyarakat terkait wakaf kontemporer.

“Wakaf tidak hanya tentang tanah atau bangunan, tetapi juga bisa berupa uang yang dikelola secara profesional untuk kemaslahatan umat,” ungkap KH. Cholil Nafis saat membuka acara.

Beliau juga menjelaskan bahwa sistem wakaf di Indonesia berbeda dengan Timur Tengah. Di Indonesia, BWI bertindak sebagai regulator tata kelola wakaf nasional, sementara aset-aset wakaf dikelola oleh nazhir (pengelola wakaf). Oleh karena itu, pencerdasan nazhir sangat penting agar wakaf dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.

Peran Dai dalam Literasi Wakaf

Dalam kesempatan yang sama, KH. Ahmad Zubaidi menyoroti pentingnya peran dai dalam mensosialisasikan nilai-nilai wakaf kepada masyarakat. Menurutnya, para dai memiliki pengaruh besar dalam menyampaikan edukasi tentang wakaf sehingga dapat memberikan dampak positif bagi umat.

“Para dai harus menjadi garda terdepan dalam menyebarkan pemahaman tentang wakaf. Terutama wakaf uang yang masih jarang dipahami masyarakat,” tambah KH. Ahmad Zubaidi.

Pentingnya Legalitas dan Inovasi Wakaf

Cholil Nafis juga menekankan pentingnya legalitas wakaf melalui sertifikasi. Ia mengingatkan kembali kasus yang dialami Kyai Sukron Makmun di Senopati, yang tanah wakafnya digugat keluarga hingga akhirnya kalah di pengadilan. Kasus tersebut menjadi pelajaran penting bahwa kesadaran untuk mengurus sertifikasi wakaf harus ditingkatkan.

Selain itu, ia mendorong inovasi dalam pengembangan wakaf, seperti pembangunan pusat-pusat ekonomi berbasis wakaf. Misalnya, SPBU wakaf atau pusat perdagangan yang dikelola secara profesional. “Jika wakaf dikembangkan dengan orientasi ekonomi, kita tidak perlu repot mencari proposal dana. Semua bisa berjalan mandiri,” katanya.

Ia juga menyoroti data dari Kementerian Agama yang mencatat 57,2 ribu hektar lahan wakaf tersebar di 446.500 titik. Namun, banyak di antaranya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, ia mengusulkan program kolaborasi antara BWI dengan Kementerian ATR/BPN untuk memberikan insentif kepada para ustadz atau dai berupa tanah wakaf seluas 5 hektar. “Misalnya, 1 hektar untuk sekolah dan 4 hektar lainnya untuk pengembangan ekonomi,” usulnya.

Kolaborasi Strategis BWI dan MUI

Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk sinergi strategis antara BWI dan MUI dalam mendorong kesadaran masyarakat tentang pentingnya wakaf. Dengan melibatkan para dai sebagai agen perubahan, diharapkan wakaf tidak hanya dipahami sebagai ibadah sosial, tetapi juga sebagai instrumen ekonomi yang dapat memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan umat.

Sebagai penutup, KH. Cholil Nafis mengapresiasi kerja sama antara BWI dan MUI. Ia berharap ke depannya akan ada lebih banyak program serupa yang dapat membantu masyarakat memahami dan memanfaatkan wakaf secara maksimal.

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent posts