Sumbangan Wakaf pada Peradaban Islam (1)

logo badan wakaf Indonesia

 

“Seorang pakar sejarah kenamaan Khalil Syahin Azh-Zhahir mengemukakan bahwa ia pernah berkunjung ke salah satu rumah sakit di Damaskus tahun 831 H/1427 M. Ia belum pernah melihat rumah sakit wakaf semegah dan senyaman itu pada masanya. Kebetulan ia mendapati seseorang yang berpura-pura sakit di rumah sakit ini. Lalu sang dokter menuliskan resep kepadanya setelah hari ketiga sejak kedatangannya di rumah sakit tersebut, “Tamu tidak boleh bermukim lebih dari tiga hari.”

 

 

Ribuan alumnus Universitas Al Azhar Kairo itu sudah kembali ke daerahnya masing-masing. Di kampungnya, di sudut-sudut jalan, di masjid-masjid, di kampus-kampus, para ustaz muda ini menyebar. Tahukah kita bahwa Universitas Al Azhar menggratiskan biaya kuliah bagi sebagian besar mahasiswanya di sana?

 

Dari mana uangnya? Dari wakaf!

 

Wakaf, menurut pakar sejarah dan peradaban Islam ustaz Budi Ashari merupakan pilar penting dalam menopang ekonomi negara. Dalam sejarahnya, wakaf merupakan ‘panglima’ di antara pos-pos pemasukan negara yang dikelola oleh baitul mal.

 

“Membincang sejarah Islam, tidak bisa kita lepaskan dengan wakaf. Karena hampir 2/3 tanah kaum muslimin saat itu adalah wakaf. Baru saja penjajah memecah tanah-tanah wakaf dengan sistem kepemilikan,” kata ustaz Budi Ashari, Lc kepada Alhikmah medio September lalu di Bandung.

 

Alumnus Fakultas Hadits dan Studi Islam Universitas Islam Madinah ini menekankan bahwa wakaf bisa menjadi solusi ekonomi sebuah negara karena wakaf merupakan pondasi utama yang menjadi tumpuan berdirinya berbgai lembaga-lembaga sosial dalam sejarah peradaban Islam.

 

“Orang yang senang mengamati sejarah dan filsafat peradaban Islam akan mencermati eksistensi dan jatidiri lembaga wakaf Islam ini, yang tidak pernah sirna sejak mula kedatangan Islam ini pada masa Rasulullah hingga sekarang,” kata ustaz Budi Ashari.

 

Sistem wakaf, menurut ustaz Budi ini murni berasal dari agama Islam, disaat saat dunia belum mengenal arti asuransi dan jaminan sosial dalam peradaban modern ataupun yang datang sesudah Islam. Saking pentingnya wakaf, Rasulullah dan para sahabat mencontohkan wakaf dalam pelbagai kesempatan.

 

Wakaf Nabi dan Sahabat

Pakar Sejarah Islam Dr. Raghib As Sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia mengatakan bahwa Rasulullah mencanangkan kepada seluruh umat Islam, baik masyarakat umum maupun orang-orang terkemuka untuk menggiatkan wakaf.

 

Harta wakaf pertama dalam Islam, menurut Dr. Raghib adalah beberapa tanah dari Mukhayyariq an Nadhiri. Ibnu Saad menuturkan dalam Thabaqat-nya dari Muhammad bin Ka’ab al al Qurzhi bahwa ia menagatakan,”barang wakaf pada masa Rasulullah adalab tujuh tanah oerkebunan di Madinah, yaitu : Al – A’waf, Ash Shafiyah, Ad Dallal, Al Muyatstsib, Burqah, Husni dan Masyribah Ummu Ibrahim.”

 

Ibnu Ka’ab mengatakan, “Umat Islam menggiatkan wakaf sesudahnya, dan kemudian dilanjutkan dengan anak cucu mereka,”

 

Masih menurutnya, sebagian besar sahabat juga menyerahkan harta wakaf pada masa Rasulullah dan sesudahnya seperti wakaf yang dilakukan Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, dan Ali bin Abu Thalib. Harta-harta wakaf ini kemudian dimanfaatkan untuk kegiatan sosial dan kebaikan.

 

Umar bin Khattab yang disebutkan bahwa perwakafannya diidistribusikan kepada orang-orang fakir dan sanak kerabat, pemerdekaan hamba sahaya, perjuangan di jalan Alah, para tamu, pengembara, dll.

 

Masalah harta wakaf ini tetap berada dalam kekuasaan orang yang mewakafkan atau pengawas perwakafan sebagaimana disebutkan dalam syarat orang yang mewakafkan dan belum dicampuri pemerintah Islam secara langsung hingga Taubah bin Namr al hadrami yang menjadi hakim kekhalifahan Bani Umayyah al Qadhi menjabat sebagai hakim di Mesir.

 

Menjadi Perhatian Pemerintah

Peristiwa terlibatnya pemerintah dalam urusan wakaf ini terjadi pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, yang mencermati perputaran wakaf antara orang yang mewakafkan dan petugas yang mengawasinya.

 

Ia memandang perlu untuk menjaminkan dirinya sebagai pengawasnya karena khawatir jika harta tersebut disia-siakan atau disalahgunakan atau terjadi penyimpangan dari syarat-syarat perwakafanya.

 

Taubah tidak berhenti dari tugasnya ini hingga perwakafan memiliki dewan yang berdiri sendiri dan mengatur urusan sendiri dan berada di bawah pengawasan seseorang hakim.

 

Meskipun proses ini terjadi di Mesir, akan tetapi hal ini merupakan pijakan utama dalam sistem pemerintahan di seluruh wilayah-wilayah Islam, perwakafan terus eksis dan berada di bawah pengawasan hakim pengadilan, yang menjaga dan melaksanakan syarat-syarat yang dituangkan dalam perwakafan tersebut.

 

Adapun jika harta wakaf itu sudah memiliki pengawas sebagaimana yang dikehendaki orang yang mewakafkan, maka hakim pengadilan hanya memberikan perlindungan dan pengarahan.

 

Pejabat Penting

Pengawasan wakaf berlangsung hingga separuh abad pertama abad keeempat hijriyah hingga kemudian perwakafan memiliki pengurus sendiri yang mengawasi segala urusan dan pengaturannya. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mendorong terbentuknya dewan perwakafan yang independen. Meskipun dewan ini baru berdiri, akan tetapi pemimpinnya memiliki karir yang cepat dan menempati jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan. Bahkan mereka memapu menjabat sebagai hakim agung di Mesir.

 

Karena kedudukan mereka ini, dikisahkan ketika para pejabat dewan wakaf ini tiba di Hari Raya atau ucapra kebesaran di mana penguasa mendapat ucapan selamat, maka para hakim agung memerintahkan kepada utusannya berdiiri di depan pintu gerbang kesulatan hingga pejabat dewan perwakafan datang untuk memberikan ucapan selamat dan kemudian kembali.

 

Apabila pejabat dewan perwakafan tersebut telah pergi dari hadapan sang sultan, maka utusan hakim agung menghadap kepada sang hakim dan memberitahukan kepadanya tentang kepergian sang pejabat dewan perwakafan tersebut. Setelah dewan wakaf itu pergi, hakim agung menaiki kendaraanya untuk memberikan ucapan selamat kepada sultan.

 

An Nablisi, penulis buku Lam Al Qawanin A Madhiyyah fi Dawawin ad Diyar al Mashriyyah memberikan alasan bahwa karena khawatir kedua pejabat tersebut bertemu secara tiba-tiba di istana raja, maka pejabat dewan perwakafan duduk di sebeleh kiri raja. Hal ini dikarenakan jabatannya yang terhormat dan tinggi dalam pemerinahan.

 

Menurut Dr. Raghib, dalam sebuah sumber sejarah disebutkan bahwasannya Al Maqrizi mengemukakan bahwa dewan perwakafan merupakan dewan yang paling dibutuknan dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat, dan tidak seorang pun yang dipekerjakan dalam dewan tersebut kecuali para juru tulis terkemuka dari umat Islam dan dikenal sebagai orang-orang yang adil dalam persaksiannya, di mana ucapan dan keputusan hukumnya dapat diterima.

 

Sumber: Tabloid Alhikmah

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *