Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 31 januari 2018, ketika membuka rapat kerja kementerian perdagangan di Istana Negara, Presiden Jokowi marah karena ekspor Indonesia lebih rendah dari Vietnam. Diantaranya, Presiden mengatakan kenapa tidak mencari pasar baru, seperti negara-negara yang market share-nya besar. Presiden sempat menyebut Pakistan sebagai target ekspor yang baru. Penulis yang pernah tinggal dan belajar di Pakistan, langsung terhenyak. Sebab, di tahun 2009, penulis sudah menulis di harian The Jakarta Post, tentang potensi ekspor kita ke Pakistan. Judul artikelnya adalah: “Job Creation in the Global Recession: a challenge for Us and many others”. Di ujung tulisan itu, penulis berargumen dengan mengatakan:
Another way to create jobs is to engage in beneficial trade. This can be done through bilateral trade. We should cooperate with other countries with a spirit of “helping each other”. Indonesia for example, can export furniture made from wood, bamboo and rattan to Pakistan because Indonesia is rich in forest products and Pakistan cannot afford those products from its own resources.
Pesan dari artikel tersebut sederhana, yaitu, bagaimana agar Indonesia melihat apa yang tidak dimiliki negara lain, tetapi dibutuhkan oleh negara tersebut. Apa yang dikonsumsi negara lain, tapi tidak dapat mereka produksi sendiri. Misalnya saja, minyak goreng. Pakistan adalah Negara yang konsumsi minyak gorengnya sangat besar, karena hampir semua masakannya menggunakan minyak goreng. Bahkan karena besarnya konsumsi minyak goreng, ada kawan yang mengatakan mereka ‘minum’ minyak goreng. Artinya, peluang ekspor minyak kelapa sawit sangat besar. Peluang ini berimbas kepada pengusahaan kelapa sawit secara massif. Bentuknya, dapat lewat perusahaan perkebunan sawit milik swasta, BUMN, atau perkebunan sawit rakyat. Untuk perkebunan sawit milik swasta dan BUMN, tidak masalah karena mereka memiliki size yang besar, sehingga biaya produksi mereka dapat efisien.
Yang masalah adalah perkebunan sawit milik rakyat, karena luasnya yang kecil antara 2 hingga 10 hektar. Akibat kecilnya kebun sawit milik rakyat ini, maka biaya produksinya jadi besar dan tidak efisien. Bandingkan dengan perkebunan sawit swasta yang luasnya 7000-9000 hektar per unit kawasan. Hal ini dapat disiasati dengan membentuk koperasi agribisnis kelapa sawit. Jika saat ini terdapat 4,5 juta hektar perkebunan sawit rakyat , dan melalui koperasi primer dapat mengelola 1000 hektar per unit kawasan, maka akan terbentuk 4.500 koperasi primer seluruh Indonesia. Koperasi-koperasi ini akan menangani produksi 11,88 juta ton minyak sawit, suatu angka yang sangat fantantis. Melalui koperasi, biaya produksinya akan lebih efisien. Bila efisien, maka harga jualnya menjadi kompetitif, dan dapat menjadi produk andalan ekspor.
Tiga Pilar Ekonomi Islam
Ibn Khaldun dalam bukunya Muqaddimah berargumen bahwa Negara yang kaya bukanlah Negara yang memiliki uang berlimpah, tetapi Negara kaya adalah Negara yang memiliki produksi domestik melimpah. Artinya, jika produksi domestik berlimpah, sehingga melebihi demand masyarakatnya sendiri, maka produksi tersebut akan menjadi komoditi ekspor. Inilah pilar pertama dari ekonomi Islam, yaitu sector Riel. Sector yang memberikan pekerjaan kepada masyarakat. Sektor yang ada jika diusahakan. Sector yang tidak mungkin terjadi dengan berpangku tangan. Sector yang diupayakan dari kegiatan produksi, baik produksi alam seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, maupun produksi tangan/mesin seperti barang-barang kerajinan atau buatan pabrik. Al-Qur’an menandai sector riel ini dengan kata kata “Dan Allah halalkan jual beli” (Qs Al Baqarah ayat 275).
Pilar kedua adalah lembaga keuangan syariah (LKS) yang bebas riba. Berapa banyak Negara yang menjadi bangkrut karena makan riba. Dalam bukunya berjudul “The Shock Doctrine, the rise of disaster capitalism”, Naomi Klein mengatakan bahwa Negara seperti Argentina dan Chile, mengalami kebangkrutan karena riba. Modusnya adalah memberikan pinjaman hutang sampai diluar kemampuan negara-negara tersebut membayarnya. Al-Qur’an menandai keuangan yang bebas riba ini dengan kata kata “Dan Allah haramkan Riba” (Qs Al Baqarah ayat 275).
Pilar ketiga adalah zakat, infaq, sedekah dan wakaf (ZISWAF). Ini terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 276-277. Zakat adalah sedekah wajib yang diberikan sebesar 2,5% dari penghasilan kotor. Infaq adalah sedekah berupa materi kepada kaum kerabat dan mereka yang membutuhkan seperti fakir dan miskin. Sedekah, lebih luas dari infaq, dapat berbentuk materi dan juga immateri. Senyum kepada saudara adalah sedekah. Membuang duri di jalan adalah sedekah. Sedangkan wakaf adalah memberikan hak milik pribadi kepada Allah melalui lembaga berbadan hukum (nazir) untuk dikelola dan hasilnya dimanfaatkan oleh ummat. Ketika seseorang memberikan wakafnya berupa tanah, maka hak miliknya terhadap tanah itu berhenti, dan berganti dengan hak milik Allah yang dikelola oleh nazir. Jika dana Zakat, infaq dan sedekah harus habis, maka dana wakaf tidak boleh habis. Pokoknya harus tetap (abadi). Yang diambil dan dihabiskan adalah hasilnya, atau keuntungan dari benda/properti yang diwakafkan tersebut. Sehingga jika ZIS digunakan untk crash program, penanganan fakir dan miskin, maka WAF digunakan untuk pembangunan berkelanjutan jangka panjang. Oleh karena itu, pahala wakaf mengalir terus abadi, sampai hari kiamat.
Melihat pada tiga pilar ekonomi Islam tersebut, dimana fokus utama adalah sector riel, maka untuk menggerakkan ekspor minyak sawit, yang perlu dilakukan adalah pengelolaan sawit rakyat hingga mencapai skala ekonomi melalui pembentukan koperasi. Untuk mendukungnya, diperlukan lembaga keuangan bebas riba. Prinsip pengelolaan koperasi tidak boleh riba. Segala bentuk riba harus dihapuskan, dan diganti dengan bagi hasil. Disinilah urgensi Koperasi Syariah. Diantara ciri koperasi syariah itu adalah, dalam transaksinya tidak terdapat unsur-unsur: riba, gharar, maysir, haram dan batil. Terakhir, diperlukan ziswaf untuk mendorong ekonomi ummat. Khususnya menangani fakir miskin untuk berproduksi. ZISWAF ini dapat digunakan untuk memberi modal usaha kepada fakir miskin, agar mereka keluar dari kefakiran dan kemiskinannya.
Apa Kaitan ekspor dengan ZISWAF ini? Memang kalau diperhatikan secara sekilas, tidak ada hubungan. Ekspor adalah sektor perdagangan (komersial), sementara ZISWAF adalah sector philantrophy (social). Namun, keduanya akan bertemu dengan variable penengah yaitu pertumbuhan ekonomi. Dengan ZISWAF, konsumsi masyarakat miskin akan meningkat, investasi meningkat dan produktivitas meningkat, yang ujungnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi akan mendorong pertumbuhan ekspor. Dalam istilah ekonominya disebut Export-led growth (ELG). ELG ini merupakan teori ekonomi perdagangan internasional yang diajarkan di seluruh dunia. Sehingga, pada akhirnya, ZISWAF akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekspor.
Berkaca pada tiga pilar ekonomi tersebut, maka disamping mengevaluasi kinerja kementerian perdagangan, maka presiden juga harus mendukung koperasi bebas riba melalui kementerian koperasi dan UKM. Presiden juga harus mendorong kinerja otoritas yang mengurus zakat dan wakaf yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Semoga Ekspor Indonesia menjadi lebih baik.[]
Penulis: Hendri Tanjung, Ph.D. (Ketua Divisi Pembinaan Nazhir, Badan Wakaf Indonesia)