Belakangan ini banyak orang latah dengan wakaf, mulai dari masyarakat awam sampai dengan Bapak-bapak Dewan yang terhormat ikut memberikan komentar tentang upaya Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) untuk menginvestasikan dana abadi haji pada aset wakaf Aceh di Arab Saudi. Sayangnya, ada di antara mereka yang tidak paham akan akan sejarah dan tidak mau belajar dari spirit orang terdahulu. Saya mencoba menanggapi isu wakaf ini, mudah-mudahan menjadi suatu pemahaman baru bagi yang belum mengetahui dan sebagai pengingat bagi yang sudah mengetahui.

Dari segi bahasa, kata wakaf atau waqf berasal dari kata waqafa, yaqifu, waqfan, yang berarti “berhenti, berdiri, menahan sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Lisanul Arab oleh Ibn Manzhur. Secara terminologi fiqih, menurut at-Thabari dalam Fathul Mu’in, wakaf secara bahasa adalah “menahan”, sementara menurut terminologi syara’ adalah menahan harta benda dan jasa yang dimungkinkan untuk diambil manfaatnya dengan tetap menjaga fisik benda tersebut.

Seorang pakar ekonomi Islam, Monzer Kahf (2000) telah mentransformasikan wakaf dengan memindahkan harta dari upaya konsumtif menuju produksi dalam bentuk investasi sehingga mempunyai nilai tambah secara ekonomi,dari hasil tersebut dapat diperuntukkan untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok sesuai denegan aturan syara’ untuk kemaslahatan Agama.

Sementara itu, dalam peraturan perundang-udangan Indonesia, UU No.41 Tahun 2004 mendefinisikan wakaf sebagai perbuatan hukum waqif (pemberi wakaf) untuk memisahkan dan/ataumenyerahkan sebagaian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Spirit indatu

Satu semangat yang ditunjukkan oleh indatu kita adalah dengan bersedekah dan mewakafkan harta mereka sewaktu melaksanakan ibadah haji. Cerita Baitul Asyi telah lama penulis ketahui dari almarhum Abu Haji Ismail Ibrahim sebagai pimpinan Dayah Bustanul Ulum Langsa. Beliau adalah seorang alumni Mekkah, pulang ke Tanah Air pada 1940. Sewaktu penulis ingin melanjutkan studi S1 ke al-Azhar, Kairo, Mesir pada 1994, Abu Haji (panggilan akrab di dayah) sempat bercerita mengenai Baitul Asyi.

Semangat masyarakat Aceh yang melaksanakan ibadah haji ditunjukkan dengan menyumbang harta mereka di tanah suci, dari hasil tersebut dapat dibangun Baitul Asyi. Abu Haji menceritakan, kalau kita berada di lantai 4 Baitul Asyi akan terlihat jelas Kakbah. Begitulah gambaran dekatnya Baitul Asyi dengan Kakbah. Pada awalnya Baitul Asyi sangat dekat dengan Masjidil Haram di kawasan Qusyaisyiaah, aset waqaf tersebut dikelola oleh seorang ulama besar yang bernama Habib Bugak Al-Asyi.

Pada saat itu, Baitul Asyi menjadi tempat persinggahan bagi para jamaah haji yang berasal dari Aceh. Seiring perkembangan zaman aset wakaf yang dulunya hanya satu Baitul Asyi, sekarang berkembang menjadi lima, yaitu Hotel Ellaf Masya’er, Hotel Ramada, Baitul Ashy Aziziyah Syimaliyyah, dan Baitul Ashy Aziziyah Janubiyah. Total luas aset Baitul Asyi mencapai 6.300 meter persegi. Semua aset wakaf ini di bawah pengawasan langsung Mahkamah Syari’ah Saudi dengan menunjukkan nazir yang terpercaya.

Seharusnya, sebagai generasi penerus indatu bisa menyeimbangi spirit ibadah mereka. Jika mereka bisa menghasilkan Baitul Asyi, sudah selayaknya kita juga mempunyai Baitul Asyi generasi now baik di Makkah atau Madinah. Dengan menyumbangkan paling sedikit RS100 setiap jamaah yang melakukan perjalanan ibadah haji atau umrah, sebagaimana pernah disarankan oleh Tgk Jamaluddin al-Asyi. Dana tersebut dihimpun oleh lembaga resmi wakaf yang dibuat oleh pemerintah Aceh atau langsung ke Rekening Wakaf Baitul Asyi yang ada di Arab Saudi.

Tugas mulia Pemerintah Aceh untuk kasus Baitul Asyi adalah perlunya audiensi dengan pihak Arab Saudi, khususnya dengan nazir waqaf Baitul Ashy, agar ada pengakuan dari pihak kerajaan Arab Saudi dalam hal distribusi manfaat wakaf dari Baitul Asyi akan terus diberikan kepada masyarakat Aceh yang melaksanakan ibadah haji. Bukan dengan meminta pengelolaan wakaf kepada kita atau minta dikirimkan hasil wakaf untuk pembangunan Aceh, sebagaimana pernah dilakukan oleh salah satu pemerintahan Aceh yang mendatangi pihak nazir untuk pengelolaan wakaf Baitul Asyi oleh Pemerintah Aceh.

Langkah berikutnya, pemerintah perlu memperkuat Baitul Mal untuk mengembangkan dana wakaf, baik yang bersumber dari wakaf jamaah haji atau umrah atau dari pihak pemerintah. Satu upaya jitu yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Wakaf. Semua perusahaan yang ada di Aceh harus mengeluarkan dana CSR-nya dalam bentuk wakaf, dan disalurkan dalam bentuk ekonomi produktif.

Peluang wakaf produktif

Satu keunikan wakaf tidak terbatasi pada sumber harta tertentu seperti zakat, wakaf merupakan bentuk charity, hal yang paling polpuler di Negara-negara Timur Tengah. Adapun lembaga yang paling sukses dalam mengelola wakaf seperti al-Azhar di Mesir, yang mempunyai lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, mempunyai rumah sakit, kebun kurma, sehingga aset kekayaan al-Azhar 60 persen dari kekayaan Mesir.

Bagi Pemerintah Aceh peluang besar di depan mata adalah ekspor kambing dan rumput untuk keperluan musim haji. Dalam satu musim haji, pemerintah Arab Saudi memerlukan 4,7 juta ekor kambing. Selama ini pemasok kambing tersebut berasal dari Negara non mayoritas muslim seperti Australia dan New Zeland. Jika Pemerintah Aceh sanggup mengekspor 1 juta kambing saja, maka akan sangat terbantu perekonomian masyarakat. Tentu prosesnya harus mengikuti standarisasi kesehatan dan kelayakan dari pemerintah Arab Saudi.

Selain itu pemerintah Aceh juga perlu memikirkan instrumen pembiyaan pengganti dana Otsus, wakaf merupakan satu alternatif yang menjanjikan. Dalam hal ini, BPKH sudah lebih dulu membaca peluang, sebagai satu upaya untuk pengembangan dana abadi haji. Dari hasil penelitian kami, terjadinya kenaikan laba dana abadi haji yang sebelumnya hanya 3%, namun setelah dikelola dalam bentuk investasi riil terjadi peningkatan sebesar 6%.

Peluang investasi juga bisa direbut oleh pemerintah Aceh untuk mengembangkan beberapa Baitul Asyi yang masih dalam bentuk bangunan sederhana untuk dijadikan hotel seperti Hotel Ellaf Masyare dan Hotel Ramada, kedua hotel tersebut merupakan pengembangan dari Baitul Ashy. Masyarakat Aceh juga tidak perlu khawatir jika terjadi investasi terhadap Baitul Asyi, karena tender proyek tersebut menggunakan “mazhab hana fee”. Percayakan saja urusan Baitul Asyi kepada pihak kerajaan Arab Saudi, yang perlu kita pikirkan apa yang bisa kita wakafkan untuk generasi setelah kita, sebagaiman kita telah menikmatinya hari ini. Itulah spirit wakaf.[]

Penulis: Damanhur Abbas (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malikussaleh)

Editor: bakri

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Wakaf, Belajar dari Spirit Indatu, http://aceh.tribunnews.com/2018/03/22/wakaf-belajar-dari-spirit-indatu?page=all.

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent posts