Oleh: Dr. H. Fachrurroji, LC, MA

Praktik wakaf yang ada di tengah masyarakat jenisnya beragam, mulai dari yang sudah populer seperti wakaf tanah, bangunan, al-Quran sampai yang belum populer seperti wakaf saham. Meskipun jenis wakaf sudah beragam saat ini, namun masih terbuka munculnya jenis wakaf baru yang dapat mewujudkan kesejahteraan, pembangunan, dan kemajuan masyarakat.

Kemunculan jenis wakaf baru sangat terbuka mengingat wakaf tidak ada penjelasannya dalam al-Qur’an, hanya hadis yang menjelaskannya dalam bentuk hukum yang global dan umum yaitu menahan pokok harta wakaf dengan tidak menjualnya, menghibahkannya, atau mewariskannya, dan menyalurkan hasilnya sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis yang menerangkan wakaf Umar bin Khattab atas tanahnya di Khaibar.

Dengan terbatasnya penjelasan wakaf dalam hadis, maka hukum wakaf yang rinci menurut Mustafa Ahmad Az Zarqa ditetapkan berdasarkan ijtihad dan qiyas di mana akal fikiran memiliki peran penting di dalamnya.

Para fuqaha terdahulu mengkaji hukum-hukum wakaf atas berbagai jenis wakaf yang berkembang pada masa mereka dengan berijtihad dalam mengeluarkan hukum yang beragam sebagai hasil pemikiran mereka, seperti persoalan wakaf buku, wakaf sementara, dan wakaf uang.

Dalam menetapkan hukum atas berbagai persoalan wakaf tersebut mereka berbeda pendapat, sebagaian mereka membolehkan dan sebagiannya lagi melarang. Meskipun terdapat perbedaan hukum, namun jenis-jenis wakaf tersebut berperan dan berkontribusi dalam mewujudkan pembangunan masyarakat.

Oleh karena itu, sebagai bagian dari upaya menjadikan wakaf terus berperan dan berkontribusi dalam pembangunan masyarakat, maka perlu dimunculkan jenis-jenis wakaf baru yang ditetapkan berdasarkan ijtihad antara lain wakaf profesi.

Selama ini kita sudah mengenal zakat profesi yaitu zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab, misalnya profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, penceramah, dan sebagainya.

Zakat profesi ini digagas pada masa kontemporer oleh Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqh Az Zakah, ini artinya pada masa lalu belum ada zakat profesi. Gagasan zakat profesi ini dikaji oleh berbagai pihak dan lembaga, bahkan akhirnya Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2003 mengeluarkan Fatwa tentang Zakat Penghasilan.

Setelah fatwa ini dikeluarkan, zakat profesi atau zakat penghasilan ditunaikan oleh pegawai, karyawan, pejabat negara, profesi dokter, konsultan, dan lain-lain bahkan hasilnya mendominasi perolehan zakat yang dihimpun oleh Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Dana zakat yang dikumpulkan dari zakat profesi ini, banyak membantu program-program keumatan baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dakwah, dan sebagainya sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama fakir miskin.

Jika zakat profesi pada masa lalu tidak ada, kemudian pada masa kini diadakan dengan ditetapkan hukumnya dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka wakaf profesi perlu dikaji kebolehannya dalam rangka memperbanyak jenis wakaf untuk mewujudkan kesejahateraan masyarakat.

Dalam membahas wakaf profesi, perlu dijelaskan pengertian wakaf yang disampaikan oleh Munzir Qahf yaitu: menahan harta untuk selamanya atau sementara guna dimanfaatkan secara berulang atau dengan (mensedekahkan) hasilnya dalam berbagai jenis kebajikan yang umum dan yang khusus.

Selanjutnya Munzir Qahf memberikan penjelasan atas pengertian wakaf yang dibuatnya dengan menyebutkan beberapa hal, di antaranya: wakaf itu terjadi atas harta. Harta terkadang berupa harta tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, atau harta bergerak seperti buku dan senjata, dan terkadang berupa barang seperti alat-alat dan mobil, atau berupa uang seperti untuk mudharabah atau pinjaman, harta bisa berupa manfaat yang bernilai harta seperti manfaat mengangkut orang sakit dan jompo atau manfaat dasar yang tetap yang diwakafkan oleh penyewa seperti hak jalan.

Kemudian Munzir Qahf berpendapat bahwa wakaf terjadi atas barang, manfaat, atau hak yang bernilai harta karena semua itu adalah harta – menurut mayoritas ulama – terkadang wakaf selamanya atau sementara waktu sesuai kekekalan harta wakaf atau syarat wakif.

Dengan penjelasan ini maka Munzir Qahf menyebutkan jenis wakaf baru yang tidak dikenal pada masa lalu, seperti wakaf hak yang bernilai harta, wakaf manfaat dengan jenisnya yang bermacam-macam, baik hak yang bernilai harta seperti hak penerbitan, dan manfaat seperti manfaat harta yang disewa yang menurut mayoritas ulama dianggap sebagai harta.

Pengertian wakaf yang disampaikan oleh Munzir Qahf menyebutkan bahwa wakaf manfaat termasuk jenis wakaf, dan di antara wakaf manfaat salah satunya adalah manfaat pekerjaan dari para pekerja, para teknisi, dan para profesional dengan keahliannya yang beragam. Jadi, wakaf profesi sesungguhnya adalah wakaf pekerjaan yaitu mewakafkan pekerjaan yang meliputi pekerjaan fisik yang mengandalkan tenaga yang menghasilkan layanan atau jasa yang sesuai dengan syariah seperti tukang bangunan, montir atau mekanik kendaraan, dan pekerjaan non fisik yang mengandalkan akal yang menghasilkan layanan atau jasa yang sesuai syariah seperti dokter, guru atau dosen, baik dilakukan secara mandiri atau melalui lembaga dan perusahaan untuk tujuan kebajikan.

Wakaf profesi atau pekerjaan dapat dilakukan baik untuk jangka waktu selamanya (wakaf selamanya) maupun untuk jangka waktu tertentu (wakaf sementara) sebab wakaf menurut Munzir Qahf bisa selamanya atau sementara sebagaimana disebutkan dalam pengertian wakaf di atas. Untuk lebih jelasnya wakaf profesi atau pekerjaan selamanya adalah mewakafkan pekerjaan fisik (yang mengandlkan tenaga) atau pekerjaan non fisik (yang mengandalkan akal) yang menghasilkan manfaat yang sesuai syariah untuk selamanya atau tidak dibatasi waktu, baik dilakukan secara mandiri atau melalui lembaga untuk tujuan kebaikan. Adapun wakaf profesi atau pekerjaan untuk sementara adalah mewakafkan pekerjaan fisik (yang mengandlkan tenaga) atau pekerjaan non fisik (yang mengandalkan akal) yang menghasilkan manfaat yang sesuai syariah untuk sementara waktu, baik dilakukan secara mandiri atau melalui lembaga untuk tujuan kebaikan. Tujuan wakaf profesi atau pekerjaan adalah memberikan manfaat yang dihasilkan dari pekerjaan manusia bukan yang dihasilkan dari modal yang tetap seperti tanah dan rumah di mana manfaat tanah misalnya untuk pertanian, dan manfaat rumah misalnya untuk tempat tinggal. Wakaf jenis ini yang banyak dibahas oleh fuqaha terdahulu di mana mereka menegaskan untuk menahan pokok harta (misalnya tanah dan rumah) dan memberikan manfaatnya (misalnya tanah untuk pertanian dan rumah untuk tempat tinggal). Demikian juga manfaat yang dihasilkan dari pekerjaan manusia tidak sama dengan manfaat yang dihasilkan dari modal yang bergerak seperti manfaat mobil dan manfaat komputer. Manfaat inilah yang oleh sebagian fuqaha sah untuk diwakafkan, misalnya seseorang yang memiliki mobil atau komputer dapat mewakafkan manfaat dari barang tersebut yang dimilikinya.

Berdasarkan penjelasan di atas, sesuai kaidah fikih wakaf yang ditetapkan oleh fuqaha terdahulu seseorang dapat mewakafkan manfaat suatu barang yang dimilikinya. Dengan demikian manfaat yang dihasilkan dari wakaf pekerjaan tidak termasuk dalam pengertian wakaf menurut fuqaha terdahulu karena tidak dihasilkan dari barang yang dimiliki seseorang, tapi dihasilkan dari anggota badannya yang bukan sebagai objek untuk dimiliki sehingga tidak sah mewakafkan pekerjaan yang menghasilkan manfaat. Mengenai hal ini Imam Nawawi telah menyebutkan apa saja yang tidak boleh diwakafkan di antaranya adalah wakaf orang merdeka atas dirinya. Menurut As Syarbini al-Khotib tidak sahnya wakaf orang merdeka atas dirinya karena ia tidak memilikinya sebagaimana ia tidak memberi dirinya, dan tidak sah wakaf manfaat tanpa kepemilikan barangnya baik sementara seperti ijarah (sewa) atau selamanya seperti wasiat karena kepemilikan barang adalah pokok dan manfaat adalah cabang, cabang mengikuti pokok. Itulah pendapat fuqaha terdahulu, namun tentunya terbuka ijtihad baru dalam persoalan wakaf dengan mengkaji teori fikih tentang manfaat yang dihasilkan dari pekerjaan.

Dalam fikih dibahas pendapat fuqaha tentang manfaat apakah dianggap sebagai harta seperti menempati rumah, mengendarai kendaraan, dan pekerjaan seseorang. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa manfaat bukan sebagai harta karena tidak mungkin dimiliki sebab manfaat itu tidak ada, kalaupun ada akan lenyap sedikit demi sedikit. Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa manfaat sebagai harta karena dapat dimiliki dengan memiliki pokoknya dan manfaat itulah yang menjadi tujuan dari barang, jika tidak ada manfaatnya tidak akan diminta sebab manusia cenderung kepada manfaat. Pendapat ini lebih tepat daripada pendapat sebelumnya karena sesuai dengan kebiasaan yang umum dalam transaksi keuangan. Menurut Hasan Muhamad Rifai bahwa manfaat pekerjaan seseorang dianggap sebagai harta sesuai pendapat mayoritas ulama terdahulu, sehingga manusia memiliki hak menggunakan manfaat dengan cara yang sesuai dengan syariah.

Dalam fikih kontemporer disebutkan bahwa pekerjaan maknawi (non fisik) seperti karangan dan penemuan dianggap sebagai hak bagi pemiliknya yang berhak menggunakannya karena mempunyai manfaat, dan manfaat sebagai harta sebab bernilai materi yang diakui syara’. Hukum yang sama seharusnya ditetapkan juga pada pekerjaan fisik yang dilakukan oleh pekerja, ia mempunyai hak menggunakannya sesuai yang dikehendakinya sebagaimana ia dapat mengalihkannya dengan imbalan seperti akad ijarah (sewa), atau tanpa imbalan seperti wakaf. Manfaat pekerjaan seseorang dianggap syariah sebagai harta dengan dibolehkannya menjadi mahar dalam pernikahan sebagaimana disebutkan dalam ayat yang membahas tetang pernikahan putri Nabi Syuaib dengan Nabi Musa dengan mahar menggembala kambing selama delapan tahun (QS. al-Qashash: 27). Menurut Hasan Muhammad Rifai, jika manfaat pekerja seperti menggembala kambing boleh menjadi mahar karena sebagai harta, maka manfaat pekerjaan sebagai harta boleh diwakafkan.

Bagi siapa saja yang mewakafkan profesinya atau pekerjaannya berkewajiban melaksanakan pekerjaan itu, misalnya memperbaiki kendaraan yang rusak, memberikan layanan kesehatan, atau mengajar pelajaran tertentu. Kewajiban melaksanakan pekerjaan kadangkala dengan imbalan seperti pegawai yang dipekerjakan, terkadang tanpa imbalan seperi pegawai atau guru atau dokter yang mewakafkan manfaat pekerjaannya untuk waktu tertentu atau selamanya. Menurut Hasan Muhammad Rifai, seseorang yang akan mewakafkan profesinya atau pekerjaannya harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut: (1) manfaat pekerjaan yang diwakafkan harus dihasilkan oleh wakif. (2) Pekerjaan yang diwakafkan harus bernilai menurut syariah. (3) Pekerjaan yang diwakafkan harus mampu diserahterimakan atau dilaksanakan. (4) Pekerjaan yang diwakafkan harus jelas atau diketahui. (5) Pekerjaan yang diwakafkan ditentukan waktunya jika wakaf sementara. (6) Pekerjaan yang diwakafkan dibuatkan akta ikrar wakaf. (7) Pekerjaan yang diwakafkan adalah pekerjaan yang dibolehkan secara syariah. (8) Wakif tidak menerima imbalan dari pekerjaan yang diwakafkannya.

Pekerjaan yang diwakafkan dapat berbentuk pekerjaan yang dilakukan secara mandiri seperti montir atau mekanik, tukang, artis, guru, dosen, dan lain-lain. Wakaf yang dilakukan oleh mereka akan berkontribusi mewujudkan pembangunan masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan. Selain pekerjaan yang dilakukan secara mandiri, wakaf pekerjaan juga dapat dilakukan oleh lembaga atau perusahaan dengan cara pemilik lembaga atau perusahaan membuat perjanjian atau perikatan dengan lembaga wakaf misalnya untuk melakukan perbaikan mobil atau mesin foto kopi pada saat terjadi kerusakan dalam kurun waktu setahun atau lima tahun.

Bagaiman dengan praktik wakaf profesi? Di negara Kuwait melalui Kuwait Awqaf Public Foundation telah memiliki program wakaf profesi atau pekerjaan yang disebut dengan wakaf waktu yaitu mengalokasikan waktu tertentu yang dilakukan oleh individu, lembaga atau perusahaan untuk melakukan pekerjaan secara sukarela atau tanpa imbalan. Bagaimana praktik wakaf profesi di Indonesia? Secara legalitas formal, wakaf profesi atau pekerjaan belum ada aturannya sebab jenis harta benda wakaf yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf hanya harta benda wakaf tidak bergerak, harta benda wakaf bergerak selain uang, dan harta benda wakaf bergerak berupa uang. Namun, meskipun dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf belum diatur, wakaf profesi sudah dijalankan oleh beberapa lembaga wakaf seperti lembaga wakaf Tazakka yang memiliki program wakaf profesi dan sudah ada orang-orang yang mewakafkan profesinya, seperti profesi dokter yang mewakafkan pekerjaannya secara rutin 2 jam dalam seminggu untuk membantu melayani kesehatan santri, guru, dan masyarakat tanpa menerima imbalan, profesi notaris atau pejabat pembuat akta tanah yang mewakafkan pekerjaannya dengan membuatkan akta notaris dan mengurus sertipikat tanah secara cuma-cuma, ada juga arsitek atau insinyur yang mewakafkan keahliannya guna membantu mendesain dan mengawasi jalannya pembangunan fisik di Pondok Modern Tazakka tanpa mendapat imbalan materi.

Selain Tazakka, tentunya lembaga lain juga sudah ada yang mempraktikkan wakaf profesi dan beberapa orang juga sudah mewakafkan profesinya meskipun mereka tidak menyebutnya sebagai wakaf profesi. Olah karena praktiknya di tengah masyarakat sudah ada, ada arsitek yang mewakafkan profesinya untuk membuat desain gambar masjid atau pesantren, ada guru atau dosen yang mewakafkan pekerjaannya misalnya 2 jam dalam seminggu mengajar tanpa imbalan, ada dokter yang mewakafkan pekerjaannya misalnya 2 jam setiap minggu berparktik tanpa imbalan, ada notaris atau pejabat pembuat akta tanah yang mewakafkan profesinya dengan membuatkan akta yayasan sosial atau mengurus sertipikat pesantren dan masjid tanpa imbalan, ada artis yang mewakafkan pekerjaannya dengan tidak menerima imbalan pada acara atau kegiatan sosial atau untuk keperluan lembaga sosial, bahkan ada pejabat yang mewakafkan pekerjaanya dengan bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau mewujudkan keadilan tanpa menerima gaji selama masa jabatannya, dan profesi-profesi atau pekerjaan-pekerjaan lainnya. Meskipun praktiknya sudah ada, hanya terkadang penyebutannya tidak sebagai wakaf profesi atau pekerjaan, ada yang menyebutnya sebagai sebuah kebaikan saja, atau sebagai sedekah, atau ada yang menyebutnya dengan wakaf hanya tidak langsung disebutkan sebagai wakaf profesi. Oleh karena itu, perlu literasi dan sosialisasi adanya wakaf profesi dan akan lebih baik lagi kalau diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf. Dengan demikian, akan semakin banyak orang, lembaga, atau perusahaan yang berpartisipasi dalam wakaf profesi sehingga dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteran dan pembangunan masyarakat.

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

3 Responses

  1. assalamualaikum
    mohon maaf mau bertanya terkait wakaf profesi ini apakah sudah ada ketentuannya seperti peraturan bwi atau semisalnya??

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent posts