Oleh Dr. Uswatun Hasanah, MA,
Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) BWI
Beberapa kali penulis mendapat pertanyaan dari teman-teman, “Mengapa harus ada Badan Wakaf Indonesia? Dapatkah zakat dan wakaf diurus oleh satu badan saja? BAZNAS misalnya.” Memang betul, zakat dan wakaf merupakan lembaga ekonomi Islam yang sangat potensial untuk dikembangkan, namun kedua lembaga tersebut jika dilihat dari segi hukum dan substansinya jelas berbeda.
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentihgannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Dari segi pengelolanya, antara zakat dengan wakaf juga berbeda. Zakat ditangani amil zakat. Amil dapat mendistribusikan semua harta zakat yang terkumpul kepada mustahiq. Sedangkan pengelola wakaf (nazhir) harus menjaga harta yang diwakafkan tetap utuh, yang dapat didistribusikan kepada mauquf ‘alaih adalah manfaat atau hasil pengembangan dari harta yang diwakafkan itu. Dari hal-hal yang sudah disebutkan jelas bahwa antara zakat dan wakaf memang ada perbedaan. Karenanya, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 mengamanatkan perlunya pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah struktur BWI tersebut? Dalam Pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan. Pada ayat (2) Pasal yang sama disebutkan pula bahwa Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pelaksana Badan Wakaf Indonesia. Sedangkan ayat (3) menyebutkan bahwa Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia. Menurut Pasal 52 ayat (1), Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin 1 (satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan anggota.
Sedangkan Pasal 52 ayat (2) menyebutkan bahwa keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh para anggota. Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat (Pasal 53).
Dalam pasal 54 ayat (1) disebutkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia, setiap calon anggota harus memenuhi persyaratan: (a) warga negara Indonesia; (b) beragama Islam; (c) dewasa; (d) amanah; (e) mampu secara jasmani dan rohani; (f) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; (g) memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang perwakafan dan/atau ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syari’ah; dan (h) menpunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional. Pada ayat (2) Pasal yang sama disebutkan pula bahwa selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan mengenai persyaratan lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia ditetapkan oleh Badan Wakaf Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya, bagaimanakah cara pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia? Dalam Pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri. Ayat (2) Pasal yang sama menyebutkan bahwa pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. Sedangkan ayat (3) mengatur bahwa ketentuan tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Badan Wakaf Indonesia, yang pelaksanaannya terbuka untuk umum.
Sehubungan Badan Wakaf Indonesia merupakan badan yang sangat berperan dalam mengembangkan wakaf di Indonesia, mudah-mudahan orang-orang yang pertama kali duduk dalam Badan Wakaf Indonesia, benar-benar orang orang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang, sehingga harapan masyarakat untuk memberdayakan dan mengembangkan wakaf secara produktif di Indonesia segera terwujud.
Harta Benda Wakaf
Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, harta yang dapat diwakafkan di Indonesia meliputi: benda tidak bergerak dan benda bergerak. Dalam Pasal 16 ayat (2) disebutkan bahwa benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan meliputi: hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a; tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun pada ayat (3) Pasal yang sama disebutkan bahwa benda bergerak yang dapat diwakafkan meliputi: uang; logam mulia; surat berharga; kendaraan; hak atas kekayaan atas intelektual; hak sewa; dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan di atas, di satu sisi merupakan peluang untuk mengembangkan wakaf secara produktif, tetapi di sisi lain menuntut nazhir bekerja secara profesional. Yang menjadi masalah, mampukah nazhir wakaf mengelola benda-benda di atas secara produktif? Menurut penulis, mampu dan tidaknya nazhir dalam mengelola wakaf sangat tergantung antara lain pada peranan BWI dalam membina para nazhir, nazhir yang bersangkutan, dan komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Jika dilihat dari tugas BWI yang tercantum dalam Pasal 49 ayat (1), memang sangat berat. Salah satu tugas yang diemban oleh BWI nantinya adalah melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.
Begitu beragamnya benda yang dapat diwakafkan di Indonesia, maka semakin menuntut para nazhir untuk bekerja secara profesional. Dengan demikian, pembinaan nazhir yang harus dilakukan oleh BWI pun semakin berat. Padahal menurut Undang-undang Nomor41 tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 53 disebutkan bahwa jumlah Anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat. Dengan terbatasnya jumlah anggota BWI dan permasalahan yang akan dihadapi, tentu hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi anggota BWI.
Karena itu, menurut penulis, yang perlu menjadi perhatian utama bagi anggota BWI adalah merintis kerjasama dengan berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta, organisasi masyarakat, para ahli, perguruan tinggi, badan internasional dan lain-lain.
Untuk mengadakan pembinaan para nazhir, menurut penulis juga perlu diiakukan pelatihan. Mengingat terbatasnya anggota BWI, tampaknya dalam melaksanakan pelatihan juga harus melibatkan lembaga-lembaga pendidikan yang memungkinkan untuk diajak bekerjasama dalam meningkatkan kemampuan para nazhir. Tugas BWI memang cukup berat, namun apabila orang-orang yang menjadi anggota BWI adalah orang-orang yang profesional, punya komitmen, amanah, ikhlas, insya Allah berbagai kesulitan dan hambatan dapat dihadapi.
Mudah- mudahan struktur yang ada serta anggota-anggcta yany duduk di dalamnya dapat menghadapi permasalahan wakaf di Indonesia dan menjadikan wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Kehadiran BWI dan Badan Wakaf di Negara Lain
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, diharapkan perwakafan di Indonesia dapat berkembang dengan baik sehingga dapat berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agar perwakafan bisa maju dan berkembang, diperlukan suatu badan yang khusus bertugas dan berwenang untuk melakukan pembinaan terhadap para pengelola wakaf (nazhir). Sehubungan dengan hal itu, dalam Undang-undang Tentang Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia.
Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Tentang wakaf disebutkan bahwa dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan Wakaf Indonesia.
Badan Wakaf Indonesia tersebut berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan (Pasal 48). Dalam Pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Dalam Pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa untuk pertama kali pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri (Menteri Agama). Alhamdulillah, setelah melalui proses yang cukup panjang, Menteri Agama Republik Indonesia memilih calon anggota Badan Wakaf Indonesia untuk diusulkan kepada Presiden. Pada tanggal 13 Juli 2007, Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang pengangkatan anggota Badan Wakaf Indonesia tersebut ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Yang menjadi pertanyaan ummat Islam pada umumnya adalah tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia dalam masalah perwakafan.
Di berbagai negara yang perwakafannya telah berkembang dengan baik, pada umumnya mereka mempunyai Badan Wakaf atau lembaga yang setingkat dengan Badan Wakaf. Kita sebut saja misalnya Mesir, Saudi Arabia, Sudan, dan lain-lain. Di Mesir misalnya, Badan Wakaf sudah dibentuk sejak tahun 1971. Badan Wakaf di Mesir berada di bawah Departemen Perwakafan atau Wizaratul Auqaf. Tugas utama Badan Wakaf Mesir adalah menangani berbagai masalah wakaf dan mengembangkannya secara produktif sesuai dengan peraturari perundang-undangan yang berlaku.
Di samping itu Badan Wakaf Mesir juga berkewajiban mengusut wakaf yang bermasalah, mendistribusikan hasil wakaf dan melaksanakan segala kegiatan yang telah ditetapkan. Sebagai negara yang cukup berpengalaman dalam menangani masalah wakaf, orang-orang yang mereka tempatkan dalam Badan Wakaf adalah orang-orang yang profesional dalam bidang mereka masing-masing. Untuk memperlancar kegiatannya, Badan Wakaf Mesir juga mengundang para profesional di luar mereka yang sudah menjadi pengurus. Badan Wakaf Mesir mempunyai wewenang untuk mengelola dan mendistribusikan hasil pengelolaan kepada mereka yang berhak dengan sebaik-baiknya, sehingga wakaf tersebut dapat berfungsi untuk menyejahterakan ummat.
Kegiatan Badan Wakaf Mesir yang cukup penting adalah mengembangkan wakaf produktif. Dalam hal ini Badan Wakaf bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan, rumah sakit, bank-bank, atau para pengembang untuk mengelola aset wakaf. Di samping itu, Badan Wakaf juga membeli saham dan obligasi dari perusahaan-perusahaan besar. Semua kegiatan Badan Wakaf di Mesir diatur dengan peraturan perundang-undangan yang memadai.
Di samping Mesir, Saudi Arabia juga mempunyai semacam Badan Wakaf yang diberi nama Majelis Tinggi Wakaf. MajelisTinggiWakafada di bawah Kementerian Haji dan Wakaf. Adapun wewenang Majelis Tinggi Wakaf antara lain mengembangkan wakaf secara produktif dan mendistribusikan hasil pengembangan wakaf kepada mereka yang berhak. Sehubungan dengan hal itu, Majelis Tinggi Wakaf juga mempunyai wewenang untuk membuat program pengembangan wakaf, pendataan terhadap asset wakaf, serta memikirkan cara pengelolaannya, menentukan langkah-langkah penanaman modal, dan langkah-langkah pengembangun wakaf produktif lainnya, serta mempublikasikan hasil pengembangan wakaf kepada masyarakat.
Tugas dan Fungsi Badan Wakaf Indonesia
Pasal 47 ayat (1) menyebutkan, “Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional dibentuk Bandan Wakaf Indonesia”. Adapun dalam Pasal 48 dalam Undang-Undang yang sama disebutkan juga bahwa Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Namun demikian pembentukan perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah dilakukan setelah Badan Wakaf Indonesia berkonsultasi dengan pemerintah daerah setempat.
Adapun tugas dan wewenang Badan Wakaf Indonesia ini menurut menurut Pasal 49 ayat (1) adalah: melakukan pembinaan terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf; melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf; memberhentikan dan mengganti nazhir; memberikan persetujuan atas penu-karan harta benda wakaf; memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusun-an kebijakan di bidang perwakafan.
Sedangkan pada ayat (2) Pasal yang sama dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia dapat bekerjasama dengan instansi Pemenmah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.
Dari Pasal di atas jelas bahwa tugas utama Badan Wakaf Indonesia adalah membina para nazhir wakaf yang ada di Indonesia dengan melakukan berbagai upaya seperti pelatihan, advokasi, membuat percontohan dan lain-lain yang dapat menggairahkan nazhir dalam mengelola wakaf. Di samping itu Badan Wakal iuga bertugas membantu nazhir wakaf yang mempunyai kesulitan dalam mengelola wakaf.
Berdasarkan pengalaman di berbagai negara, tugas Badan Wakaf cukup berat. Oleh karena Badan Wakaf Indonesia (BWI) harus dipersiapkan betul-betul, baik dari segi sumber daya manusianya, program maupun peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
BWI sebagai lembaga wakaf yang bersifat nasional selain bertugas mengkoordinasikan para nazhir, sebaiknya juga memprakarsai kerja sama antar nazhir, dengan demikian mereka dapat saling tolong menolong dalam pengelolaan wakaf. Untuk meningkatkan profesionalisme dan menjalin kerjasama antar nazhir juga bukan hal yang gampang. Jumlah tanah wakaf di Indonesia cukup banyak bahkan pada saat ini berjumlah 359.462 lokasi. Hal ini berarti, jumlah nazhirnya pun kurang lebih sama dengan jumlah lokasi itu. Para nazhir tersebut pada umumnya masih perlu ditingkatkan kemampuannya, karena untuk mengelola wakaf secara produktif diperlukan kreatifitas yang tinggi.
Di negara lain seperti Mesir dan Yordania, untuk mengembangkan wakaf pada umumnya nazhir bekerja sama dengan dengan perusahapn-perusahaan seperti perusahaan besi, baja, gula dan lain-lain. Di samping itu ada juga nazhir yang mengembangkan wakaf dengan membeli saham dan obligasi dari perusahaan-perusahaan penting. Dengan cara demikian tanah-tanah wakaf yang semula telantar, dapat menghasilkan dana, dan dana tersebut dapat dipergunakan untuk memelihara wakaf-wakaf lain yang bersifat konsumtif seperti masjid, madrasah, membantu anak-anak yang tidak mempunyai biaya sekolah dan kepentingan sosial lainnya.
Di sinilah diperlukan peta perwakafan yang memadai dan perlunya jaringan antar nazhir sehingga dapat dilakukan komunikasi yang baik. Sebenarnya di Indonesia sudah ada beberapa nazhir yang mengelola wakaf secara profesior sebagai contoh misalnya Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Moderen (Gontor), dan lain-lain.
Untuk meningkatkan kemampuan nazhir, Badan Wakaf Indonesia dengan difasilitasi Departemen Agama Republik hendaknya menyelenggarakan pelatihan nazhir secara intensif, baik nazhir benda tidak bergerak maupun benda bergerak. Pembinaan nazhir nampaknya tidak bisa hanya bersifat teoritis, tetapi harus diiringi dengan pembinaan dan pendampingan. Sebagai contoh misalnya, seorang nazhir dapat konsultasi kepada BWI melalui internet atau surat mengenai cara mengembangkan tanah wakaf yang dikelolanya. Kemudian BWI membantu mengkajinya, sehingga pengembangannya sesuai dengan jenis tanah dan hasilnya dapat dipasarkan. Konsultasi dan pendampingan ini penting, karena masih ada sebagian nazhir yang belum paham benar mengenai tugas dan kewajibannya.
Persoalan yang dihadapi nazhir di Indonesia sebenarnya bukan hanya mengenai cara pengelolaan, akan tetapi juga menyangkut masalah dana yang diperlukan untuk mengembangkan benda wakaf, sengketa tanah wakaf dan lain-lain. Dalam masalah dana, sebaiknya BWI mengarahkan nazhir untuk mendapatkan dana pemeli haraan harta wakaf, sedangkan terhadap tanah wakaf yang bermasalah, BWI harus membantu menyelesaikannya.
Diharapkan dengan adanya BWI berbagai persoalan wakaf dapat teratasi. Di samping itu, BWI juga diharapkan dapat melakukan advokasi dan mengurus benda wakaf yang telantar, serta membantu pemerintah dalam bidang kebijakan regulasi wakaf. Dilihat dari tugas dan fungsinya, BWI mempunyai tanggung jawab yang cukup berat untuk memberdayakan wakaf di Indonesia. Semoga Allah memudahkan semuanya.
Sumber: Majalah Modal (4/2005; 12, 13/2003), Syariah Bussines (37,40/2006), dan Sharing (2007).