Bandung (26/6/08) | Dari jumlah 63.008 lokasi dengan luas lebih dari 643.655 hektar, ternyata baru 81,4 persen atau 51.303 lokasi (93.732 hektare) yang telah disertifikasi. Sisanya, 18,6 persen atau 11.705 lokasi dengan luas tanah 549.923 hektare belum disertifikasi sebagai tanah wakaf. "Lambannya proses sertifikasi tanah wakaf, ditengarai akan memicu pemindahtanganan tanah wakaf oleh pihak yang tidak bertanggung jawab," kata Kepala Seksi Pemberdayaan Zakat Wakaf Kanwil Depag Jabar, H. Cece Hidayat. Menurutnya, dari jumlah keseluruhan tanah wakaf yang ada di Jawa Barat, sekitar 70 persen digunakan untuk sarana pendidikan, yakni madrasah dan pondok pesantren. Sisanya, sekitar 10% untuk persawahan dan perkebunan, Kantor Urusan Agama (KUA) yang tersebar di 36 lokasi, kuburan, dan musala atau masjid.
Dikatakannya, belum adanya sertifikasi atas sejumlah tanah wakaf karena dana yang dikucurkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbatas. Untuk tahun anggaran 2008 saja, pihaknya hanya mendapatkan sebanyak Rp 300 juta.
Padahal, untuk proses sertifikasi, minimal harus mengeluarkan uang Rp 1,5 juta/lokasi. "Pembuatan sertifikasi memang tidak mahal, namun yang berat itu di operasional. Misalnya untuk transpor, materai atau patok. Apalagi, kalau lokasi tanah wakaf itu berada di daerah yang terpencil, tidak terjangkau oleh kendaraan umum," ungkapnya kepada Galamedia, (20/6).
Kesulitan lainnya, lanjut Cece, masih ada sejumlah data atau berkas tentang riwayat tanah yang tidak lengkap dan bahkan tidak jelas. Selain itu, ada juga keterangan mewakafkan hanya sebatas dengan lisan, tidak hitam di atas putih (tertulis).
"Mereka hanya punya surat keterangan yang setelah kita teliti tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terdapat kasus pengambilalihan tanah wakaf oleh ahli waris. Apalagi jika kemudian tanah wakaf itu bernilai tinggi jika dibandingkan dahulu," ucapnya.
Pindah tangan
Sebelumnya, Kepala Kanwil Depag Jabar, H. Muhaimin Luthfie mengatakan, tanah wakaf yang tidak bersertifikasi sangat rawan diselewengkan karena secara yuridis mempunyai kedudukan hukum yang lemah. Apalagi, jika tanah wakaf itu mempunyai nilai jual tinggi. Tidak hanya oleh ahli waris, namun ada juga oknum di Depag yang mengambil alih tanah wakaf menjadi milik pribadinya.
"Saya enggak habis pikir, kok ada yang tega-teganya melakukan hal seperti itu. Sampeyan (kamu) yang ngerti hukum, kok bisa melakukan hal itu. Padahal, sudah jelas tanah wakaf itu merupakan milik umat," tegas Muhaimin di acara seminar hukum "Penataan Sertifikasi Tanah Wakaf dalam Melindungi Aset Umat Muslim" di Hotel Kanira, belum lama ini.
Karena itu, ia meminta agar jajarannya melakukan tertib administrasi terhadap tanah wakaf yang ada. Terutama untuk melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak terkait, yakni Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Daerah. (gm)