Jombang – Keberadaan tanah wakaf di Jombang yang dijadikan tempat ibadah dan lembaga pendidikan keagamaan, ternyata berpotensi menimbulkan polemik. Saat ini, sedikitnya masih ada 10 persen tanah yang proses peralihan hak belum berujung. Bahkan beberapa diantaranya masuk ke ranah hukum. ”Ini salah satu masalah perdata yang sering muncul, padahal banyak faktor yang terkadang dipahami negatif,” kata Kepala Kantor Kementerian Agama di Jombang, Rochmat
Menurutnya, polemik tanah wakaf itu terjadi setelah berlangsung bertahun-tahun, atau setelah ada perkembangan baru yang diyakini berbeda oleh keluarga wakif. Sehingga proses peralihan hak menjadi barang milik negara (BMN) memakan waktu yang cukup lama. Atau terkadang Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai pihak yang mengeluarkan sertifikat BMN tersebut merasa keberatan karena sejumlah hal. Padahal polemik tanah wakaf itu muncul bukan semata-mata wakif dan anak keturunannya. Terkadang juga dipengaruhi pihak eksekutor yang memberikan disposisi.
Disampaikan Rochmat, hampir 60 persen keberadaan tanah Kantor Urusan Agama (KUA) dan lembaga pendidikan madrasah di Jombang merupakan hasil jariyah masyarakat. Hasil jariyah wakif itu pun kemudian dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan, sehingga untuk sementara bangunannya menjadi milik negara. Mengingat pembangunannya berasal dari uang negara.
”Permasalahan yang seperti ini terkadang ditanggapi negatif oleh sebagian masyarakat, sehingga selalu ada asumsi jelek,” jelas bapak dua anak ini. Karena itulah pihaknya melakukan kerjasama dengan pihak kejaksaan dalam upaya menyamakan persepsi, terutama dalam masalah perdata ini. Kerja sama sebagai tindak lanjut penyuluhan hukum tersebut untuk tujuan yang sama yaitu mencegah kemungkaran dan menegakkan kebenaran, agar tidak selalu mendapat asumsi yang salah.
Selain seputar polemik tanah wakaf, masalah perdata yang sering masuk ke ranah hukum itu tentang TUN dan isbat nikah (yang mengakui keabsahan nikah) di Pengadilan Agama. Padahal KUA yang dilaporkan sebagai tergugat II, menyusul pihak Pengadilan Agama sebagai tergugat I, pada permasalahan isbat nikah itu, mengacu pada putusan pengadilan. Putusan pengadilan itulah yang dijadikan landasan penerbitan surat nikah.
”Jika ini masuk juga ke ranah hukum, berarti harus dibela,” tegas Rohmat. Untuk melengkapi pengetahuan tentang hukum terutama masalah perdata ini pihaknya juga melakukan penyuluhan hukum yang diikuti sekitara 100 pejabat Kementerian Agama Jombang. Disamping pembekalan pengetahuan tentang hukum, penyuluhan itu sekaligus memberi solusi jika sewaktu-waktu muncul perkembangan kasus hokum dikemudian hari. (bin/yr/jawapos)