Oleh Prof. DR. KH. Tholhah Hasan
Table of Contents
TogglePrinsip Wakaf sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw ketika memberikan arahan kepada Umar bin Khathab ra. yang ingin menyerahkan sebidang tanahnya di Khaibar untuk kepentingan sabilillah. Beliau bersabda, “Tahanlah barang pokoknya dan sedekahkan hasilnya (Habbis ashlaha, wasabbil tsamrataha)“ 1). Dari pernyataan Nabi Muhammad saw tersebut, ada dua prinsip yang membingkai tasyri’ wakaf, yakni: prinsip keabadian (ta’bidul ashli) dan prinsip kemanfaatan (tasbilul manfaah).
Dalam perjalanan waktu, bersamaan dengan perkembangan dan penyebaran Islam ke berbagai tempat dan komunitas, serta lahirnya masyarakat Islam yang kosmopolitan, maka wakafpun mengalami perkembangan yang dinamis, dan mengundang pemahaman dan pendapat tentang wakaf dan pengelolaannya yang dinamis juga. Maka terjadi perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan ulama’ fiqih dalam menyikapi dinamika wakaf dan hukum-hukum yang terkait dengan wakaf dan pengelolaannya. Perbedaan-perbedaan tersebut ada yang sifatnya substansial dan ada pula yang praktikal.
Sebagai contoh dari masalah-masalah yang memicu perbedaan tersebut dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut :
1. Bagaimana jika ada barang wakaf berupa perkebunan yang sudah tidak produktif lagi, karena umurnya sudah tua atau lahannya menjadi rusak karena terkena banjir, dan hasil kebun tersebut sudah tidak lagi dapat memberi manfaat kepada mauquf ‘alaih, apakah wakaf tersebut dapat ditukar dengan lahan perkebunan lain yang lebih produktif, atau dijual dan dibelikan barang wakaf lain yang dapat memberikan manfaat kepada mauquf ‘alaih lebih banyak?
2. Bagaimana jika ada barang wakaf berupa tanah dan bangunan masjid , kemudian karena suatu sebab masjid tersebut rusak / roboh, atau masyarakat sekitarnya meninggalkan tempat tersebut karena tempat itu tidak layak lagi sebagai pemukiman dan tidak ada lagi orang yang melakukan sholat di situ. Apakah lahan dan bangunan masjid tersebut dapat ditukar dengan lahan lain ditempat lain yang berada di tengah-tengah komunitas muslim yang memanfaatkannya untuk jama’ah atau untuk sholat Jum’at ?.
3. Bagaimana jika ada wakaf berupa ternak, yang digunakan untuk keperluan jihad fi sabilillah atau di budidayakan untuk kesejahteraan masyarakat, kemudian ternak-ternak tersebut tidak produktif lagi karena umurnya sudah tua sehingga tidak lagi memberi manfaat kepada mauquf alaih. Apakah ternak-ternak tersebut boleh dijual, dan uang hasil penjualannya dibelikan ternak baru yang masih produktif dan dapat memberikan manfaat kepada mauquf ‘alaih.
Masalah tukar-menukar barang wakaf seperti yang digambarkan di atas dalam istilah fikih perwakafan di sebut “Istibdal“, atau “Ibdal“. Al-Istibdal, diartikan sebagai penjualan barang wakaf untuk dibelikan barang lain sebagai wakaf penggantinya. Ada yang mengartikan, bahwa al-Istibdal adalah mengeluarkan suatu barang dari status wakaf, dan menggantikannya dengan barang lain Al-Ibdal, diartikaan sebagai penggantian barang wakaf dengan barang wakaf lainnya, baik yang sama kegunaannya atau tidak, seperti menukar wakaf yang berupa tanah pertanian dengan barang lain yang berupa tanah untuk bangunan. Ada juga pendapat yang mengartikan sama antara Al-Istibdal dan Al-Ibdal. 2)
Ulama fikih berbeda pendapat dalam mensikapi boleh atau tidaknya istibdal atau Ibdal ini, ada yang mempersulit ada yang mempermudah, bahkan ada yang pada dasarnya melarang istibdal atau ibdal kecuali dalam situasi pengecualian (ahwal istitsnaiyah) yang jarang terjadi . Diantara mereka ada yang memperbolehkannya karena syarat si wakif, atau karena alasan hasilnya (dari istibdal ini) menjadi lebih banyak, atau karena ada situasi darurat.
Bagi mereka yang lebih menitikberatkan pada “prinsip keabadian” mengatakan, bahwa menjaga kelestarian atau keberadaan barang wakaf (mauquf) itu merupakan keniscayaan kapan dan dimana saja, tidak boleh dijual dengan alasan apapun dan tidak boleh ditukar dalam bentuk apapun, apalagi kalau barang wakaf tersebut berupa masjid, namun dalam madzhab Hanabilah (Hambaliyah) masjidpun dapat ditukar bahkan dijual untuk dibelikan wakaf yang baru sebagai penggantinya, dengan alasan darurat, seperti dibutuhkan untuk jalan lalu-lintas umum, untuk perluasan kuburan dan lain sebagainya.
Dan bagi mereka yang lebih berorientasi pada “prinsip kemanfaatan”, mengatakan bahwa penukaran barang wakaf itu mungkin dilakukan dengan alasan-alasan tertentu antara lain : apabila barang wakaf tersebut sudah tidak dapat memberikan manfaat sebagaimana yang dimaksud oleh si Waqif (orang yang memberi wakaf), atau kondisinya sudah menghawatirkan menjadi rusak, atau ada tujuan-tujuan lain yang lebih basar maslahahnya dan manfaatnya bagi masyarakat luas, seperti untuk perluasan masjid, atau untuk jalan yang sangat dibutuhkan masyarakat, atau untuk kuburan umum bagi umat Islam.
Apapila kita mencermati perbedaan-perbedaan pendapat diantara para ulama madzhab selama ini, terlihat tingkat penyikapannya yang berbeda juga, dari yang sangat ketat konservasinya terhadap barang wakaf dan terkesan mempersulit istibdal (tasydid) sampai yang sebaliknya terasa sangat longgar / mempermudah (tashil) membuka peluang istibdal. Masing-masing dengan dalil dan alasan ijtihadnya sendiri-sendiri, dan juga tidak sedikit dipengaruhi oleh realitas lingkungan sosial yang diamatinya pada zamannya atau pengalaman pribadinya sendiri.
Dalam prakteknya, akibat membuka pintu istibdal dengan seluas-seluasnya, atau menbolehkan menjual barang wakaf, termasuk menjual masjid dengan berbagai macam alasan, dapat menimbulkan akibat-akibat negatif dalam sejarah perwakafan. Sebaliknya akibat dari pendapat yang terlalu mempersulit Istibdal, meskipun barang wakaf itu sudah tidak dapat memberi manfaat apa-apa sebagaimana yang diharapkan, dapat menimbulkan keterlantaran dan hilangnya kedayagunaan barang wakaf, serta merugikan bagi si waqif (orang yang berwakaf) maupun mauquf ‘alaih (pihak yang menerima kemanfaatan wakaf). Jadi masing-masing sikap dan pendapat tersebut, ada sisi positifnya dan ada sisi negatifnya.
Abu Zahrah, 3) mengatakan : “Sejarah telah menceritakan kepada kita, tidak sedikit dari orang-orang yang memegang kekuasaan di atas bumi ini, melakukan pelanggaran dan penyerobotan terhadap barang wakaf, mereka memakannya dengan curang, mereka dibantu oleh para hakim yang zalim (qudlat dholimun) dan saksi-saksi bohong (syuhud juur ). Sejarah mencatat, seperti yang diterangkan oleh Al-Maqrizi : “Bahwa Amir Jamaluddin Yusuf (salah seorang di antara amir-amir di Mesir, pada era Mamalik) apabila menemukan barang wakaf yang banyak memberi hasil, dan dia bermaksud untuk memilikinya, maka dia mencari dua orang saksi melalui rekayasa, dan dihadapan majelis peradilan mereka mengatakan bahwa tanah wakaf tersebut mengganggu tetangga dan lalu lintas, maka seharusnya ditukar (istibdal) dengan barang lainnya.
Maka hakim agung Kamaluddin ‘Amru bin Adim, menetapkan bahwa barang wakaf tersebut harus ditukar dengan barang lain, demi kemaslahatan umum dan kemaslahatan wakaf itu sendiri. Kecurangan yang dilakukan oleh hakim agung Kamaluddin Amru ini juga dilakukan oleh hakim-hakim lainnya, sehingga banyak istana-istana yang megah dan rumah-rumah yang indah diperoleh melalui cara ini. Orang-orang selalu mengikuti cara-cara rajanya, sehingga apabila diantara mereka ada yang menginginkan membeli atau menjual barang wakaf, maka usaha seperti Itu akan dilakukan, yaitu merayu hakim atau menyuapnya dan hakim akhirnya dapat memenuhi tujuan orang-orang tersebut. Fenomena seperti itu menyebabkan beberapa ulama bersikap keras menolak istibdal, seperti At-Tharsusi yang dengan keras menolak Istibdal dan mengkritik tajam praktek para penguasa yang terlibat merekayasa Istibdal untuk kepentingan diri sendiri“.
Dilingkungan madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah dikenal sebagai golongan yang mempersempit atau mempersulit istibdal wakaf, bahkan cenderung melarang sama sekali terjadinya istibdal, meskipun barang wakaf tersebut sudah rusak atau sudah tidak dapat memberikan kemanfaatan apapun terhadap mauquf ‘alaih, seperti kebun yang sudah kering pohonnya, atau ternak yang sudah sakit-sakitan dan tidak produktif lagi atau bangunan yang sudah roboh tidak dapat ditempati. Tapi mauquf ‘alaih boleh memanfaatkan barang-barang wakaf yang tidak produktif dan tidak berfungsi tersebut dengan cara mengkomsumsinya, seperti untuk kayu bakar atau alat-alat rumah tangga.
Juga masjid wakaf yang roboh atau sudah ditinggalkan jama’ahnya karena pindah tempat bersama-sama, dan masjid tersebut tidak ada lagi yang memelihara, tetap saja dilarang melakukan istibdal dengan barang lain sebagai penggantinya. Terhadap sikap yang demikian itu, tanpa ada “hukum pengecualian“ (al-ahkam al-Istitsna’iyah), para ulama fikih modern seperti Muhammad Abu Zahrah ( Mesir ), dan Musthafa Ahmad Az-Zarqa’ ( Syiria ), atau yang lain-lain merasa kurang setuju, dan menganggapnya sebagai sikap yang berlebihan, yang dapat menyebabkan terbengkelaianya barang-barang wakaf dan jauh dari tujuan wakaf, akan banyak barang-barang wakaf yang rusak atau tidak memberi manfaat apa-apa, serta tanah-tanah wakaf yang mati tidak dapat diselamatkan, akan menimbulkan kerugian besar bagi umat dan kesejahteraan mereka.
Fikih wakaf, memang banyak memunculkan pendapat ulama yang berbeda-beda, antara lain karena sebagian besar dalil-dalil yang digunakan pijakan fatwa para ulama adalah bersifat “ijtihadiyah“, sehingga perbedaan dalil yang digunakan akan menghasilkan produk ijtihad yang berbeda pula. Musthafa Muhammad Az-Zarqa’, menyatakan “Bahwa rincian hukum-hukum wakaf yang terdapat dalam kitab-kitab fikih hampir semuanya didasarkan pada dalil-dalil ijtihadiyah dan qiyasiyah, maka dalam masalah ini nalar masih banyak dapat berperan”. 4)
Pandangan Madzhab Empat Tentang Istibdal
Madzhab Hanafiyah
Menurut Madzhab Hanafiyah, Istibdal barang wakaf itu hukumnya boleh, karena dua alasan :
(1) Karena ada syarat dari wakif, seperti ketika dia berikrar wakaf mengatakan : “saya mewakafkan tanah saya ini dengan syarat sewaktu-waktu saya atau orang yang mewakili saya dapat menukarnya dengan tanah lain sebagai penggantinya“. Syarat wakif ini sangat menentukan dalam penukaran wakafnya, baik jenis barang wakafnya, atau tempatnya. Sebagai contoh, jika wakif memberi syarat : “Saya ber-ikrar wakaf “tanah pertanian” ini, dengan syarat saya atau orang yang mewakili saya dapat menukar wakaf ini dengan “tanah pertanian “ lain, atau dengan bangunan di desa ini sebagai penggantinya“. Maka dalam pelaksanaan Istibdal, tidak boleh tanah pertanian wakaf tersebut diganti dengan “tanah bangunan”. Juga tidak boleh menukarnya dengan bangunan yang berada di desa lain, karena hal itu menyimpang dari syarat wakif.
(2) Karena keadaan dlarurah atau karena mashlahah, seperti tanah wakaf yang tidak dapat ditanami (sabkhah), dan tidak dapat memberi hasil dan manfaat apa-apa sehingga “mauquf ‘alaih” tidak menerima manfaat hasilnya, atau hasilnya menyusut tidak cukup untuk biaya perawatan dan pengelolaannya, maka pemerintah / hakim boleh menukarnya dengan tanah atau barang wakaf lain sebagai penggantinya, meskipun ada syarat atau tidak ada syarat dari si wakif.
Demikian pula halnya apabila wakaf itu berupa rumah atau toko yang dindingnya sudah rapuh, dan bangunan itu sudah doyong hampir roboh, atau sebagian bangunan tersebut sudah rusak sehingga tidak dapat lagi diambil manfaatnya, sedangkan wakaf itu tidak mempunyai dana lain untuk merenovasinya, dan tidak ada orang yang bersedia menyewa bangunan wakaf tersebut dalam waktu yang lama dengan membayar sewanya lebih dulu, sehingga dapat digunakan untuk merenovasinya, maka pemerintah/hakim boleh menukar dengan barang lain sebagai ganti barang wakaf tersebut. 5)
Ibnu Najim 6) meriwayatkan, bahwa Imam Muhammad mengatakan, bahwa apabila tanah wakaf sudah tidak mampu lagi menghasilkan keuntungan, sedangkan nazhir dapat memperoleh barang / tanah lain yang dapat memberikan hasil yang lebih besar daripada tanah wakaf tersebut, maka dia boleh menjualnya dan membeli tanah yang lebih besar hasilnya, dengan harga penjualan itu sebagai wakaf pengganti.
Madzhab Malikiyah
Madzhab Malikiyah melarang terjadinya Istibdal dalam dua hal :
Pertama : Apabila barang wakaf itu berupa masjid. Dalam hal melarang Istibdal masjid ini terjadi kesamaan antara imam-imam madzhab : Imam Abu Hanifah bin Nu’man, Imam Malik bin Anas, dan Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i, kecuali Imam Ahmad bin Hambal yang membolehkan menukar masjid dengan tanah lain yang dipakai untuk membangun masjid.
Kedua : Apabila barang wakaf itu berupa tanah yang menghasilkan, maka tidak boleh menjualnya atau menukarnya, kecuali karena ada dharurah (darurat), seperti untuk perluasan masjid, atau untuk jalan umum yang dibutuhkan masyarakat, atau untuk kuburan, sebab hal tersebut merupakan “kemaslahatan umum” (al-mashalih al-‘aammah). Karena apabila barang wakaf tersebut tidak dapat ditukar atau dijual untuk memenuhi kemaslahatan umum tadi, maka masyarakat akan mengalami kesulitan, padahal mempermudah ibadah bagi masyarakat, atau lalu lintas mereka, atau memudahkan mengubur mayat-mayat adalah suatu hal yang wajib.
Keterangan dari kitab At-Taaj wal Iklil, yang dikutip oleh Abu Zahroh, mengatakan “Tidak dilarang menjual rumah yang diwakafkan atau barang lainnya, dan pemerintah (as-Sulthan) boleh memaksa penduduk untuk menjualnya, apabila memang diperlukan untuk keperluan masjidnya (yang digunakan untuk sholat Jum’ah), demikian juga halnya jika dibutuhkan untuk perluasan jalan ….. “.
Ibnu Rusyd berpendapat, bahwa apabila tanah wakaf itu sudah tidak memberikan hasil, dan tidak mampu membangunnya kembali atau menyewakannya, maka tidak dilarang menukarkannya dengan tanah lain (yang menghasilkan) sebagai penggantinya. Namun penukaran tersebut harus mendapat persetujuan pemerintah (al-Qadli) setelah jelas alasannya, dan harus dicatat dan ada saksi.
Tetapi pendapat yang membolehkan penukaran (tukar guling) dari tanah wakaf ke tanah yang lain sebagai penggantinya ini hanyalah pendapat sebagian ulama Malikiyah bukan keseluruhannya. 7)
Al-Khorsyi, Abu Abdullah Muhammad, dalam Syarkh Al-Khorsyi ‘Ala Mukhtashar Kholil, mengatakan : “Sudah dikatakan, bahwa wakaf tanah tidak boleh ditukar atau dijual kecuali untuk tujuan perluasan masjid. Maksudnya apabila ada masjid yang sudah tidak dapat jama’ah, sedangkan di samping masjid tersebut terdapat tanah wakaf atau tanah milik, maka boleh menjual tanah wakaf itu untuk perluasan masjid Apabila orang yang berwakaf atau pemilik tanah menolak menjual tanahnya, maka pemerintah dapat memaksanya, dan menjadikan uang hasil penjualan itu dibelikan tanah lain sebagai wakaf pengganti. Seperti halnya untuk tujuan perluasan mesjid, juga untuk tujuan perluasan jalan yang digunakan lalulintas umum/ masyarakat dan untuk kuburan kaum muslimin……” 8)
Adapun Istibdal barang wakaf yang bergerak ( waqfu al-manqul ) menurut madzhab Malikiyah hukumnya boleh, sebab kalau Istibdal dalam hal ini (waqfu al-manqul) dilarang, dapat menimbulkan kerusakan. Karena itu mereka menetapkan bahwa apabila wakaf itu berupa hewan yang sudah tidak berdaya, lemah atau sakit-sakitan, atau pakaian yang lapuk, maka boleh dijual dan dari hasil penjualan itu dibelikan barang lain sebagai penggantinya. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa ia menga-takan : “Hewan wakaf untuk sabilillah yang sudah tidak berdaya / lemah, sehingga tidak kuat lagi untuk perang, maka di jual saja, dan dari hasil penjualannya itu dibelikan kuda yang bisa memberi manfaat”.
Madzhab Syafi’iyah
Madzhab Syafi’iyah tidak jauh berbeda pendapatnya dengan madzhab Malikiyah, yakni bersikap mempersempit / mempersulit terhadap bolehnya Istibdal, demi menjaga kelestarian barang wakaf, apalagi banyak kasus-kasus Istibdal di Mesir pada masa Imam As-Syafi’i berada di sana yang disalah gunakan oleh sementera penguasa (Amir) dan pejabat hukum ( Qadli ) seperti yang diceritakan Abu Zahrah di muka. 9)
Qadri Phasya 10) mengutip keterangan dati kitab “Asnal Mathalib“ tentang pendapat madzhab Syafi’iyah dalam Istibdal wakaf ini sebagai berikut : “Seandainya barang wakaf itu sudah tidak dapat memberi manfaat, seperti pohon yang daunnya sudah mengering, atau roboh tertiup angin dan sudah tidak dapat ditegakkan kembali, maka status wakafnya tetap berlaku karena barang tersebut masih ada wujudnya, jadi tetap tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan atau diwaris, karena alasan makna hadis ( tentang prinsip wakaf) …… Apabila barang wakaf tersebut sudah betul-betul tidak dapat memberi manfaat kecuali dikonsumsi, seperti dibakar untuk memasak, maka dapat diberikan kepada mauquf ‘alaih untuk dikonsumsi, tetapi tidak boleh dijual, atau dihibahkan atau diwaris.
Dikalangan ulama Syafi’iyah ada juga perbedaan pendapat tentang wakaf tanah / pekarangan yang sama sekali sudah tidak memberi manfaat, sebagian membolehkan dilakukan istibdal dan sebagian melarangnya. Dalam kitab “Al-Muhadzab“, dikatakan bahwa : ”Apabila seseorang mewakafkan kebun kurmanya kemudian kebun itu kering, atau mewakafkan ternak kemudian sakit-sakitan karena umurnya, atau batang korma untuk tiang masjid kemudian lapuk, maka ada dua pendapat :
Tidak boleh menjualnya, seperti yang sudah diterangkan masalah masjid. Boleh menjualnya, karena barang tersebut sudah tidak dapat diharapkan manfaatnya, maka menjualnya itu lebih baik daripada membiarkannya rusak tanpa ada gunanya, hal itu berbeda dengan masjid yang masih dapat digunakan melakukan sholat disitu meskipun dalam keadaan rusak. Apabila barang-barang wakaf tersebut dijual , maka hasil penjualnya dibelikan barang penggantinya. 11)
Masalah barang-barang yang dihibahkan (bukan diwakafkan) untuk masjid, seperti tikar dan alat-alat lainnya yang sudah hilang keindahannya atau kemanfaatannya, boleh dijual kalau ada keperluan.
Madzhab Syafi’iyah melarang menjual masjid secara mutlak, meskipun masjid itu sudah roboh, atau sudah tidak ditempati untuk ibadah, karena penduduk sekitarnya sudah pindah tempat semuanya atau meninggal semuanya (seperti yang terjadi waktu ada bencana tsunami di Aceh), demikian juga tanah masjid yang sudah tidak ada bangunannya tinggal puing-puing saja, tetap dilarang menjualnya atau menukarnya.
Madzhab Hanabilah
Madzhab Hanabilah (Hambali) dipandang sebagai madzhab yang banyak memberikan kelonggaran dan kemudahan terhadap Istibdal wakaf, meskipun pada dasarnya tidak berbeda jauh dari tiga madzhab yang lain (Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah), yaitu sedapat mungkin mempertahankan (istibqa’) keberadaan barang wakaf tetap seperti semula, mengikuti prinsip dasar wakaf yakni “habsul ashli “. Namun apabila terjadi perubahan kondisi barang wakaf itu seperti hilangnya kedayagunaan dan kemanfaatannya, atau ada situasi darurat yang menimpa barang wakaf, seperti diperlukan untuk perluasan masjid atau pelebaran jalan, maka sikap madzhab-madzhab tersebut berbeda satu sama lain, dan madzhab Hanabilah dipandang sebagai madzhab yang paling banyak memberi kemudahan, terutama dalam melakukan penukaran dan penjualan barang wakaf, dan pada khususnya masalah penukaran dan penjualan masjid serta barang-barang yang berkaitan dengan masjid.
Al-Murdawiy 12) dalam Al-Inshaf mengatakan : “Tidak boleh menjual barang wakaf kecuali apabila tidak ada lagi manfaatnya, maka boleh dijual dan harga penjualannya dibelikan gantinya. Demikian juga halnya kuda wakaf yang sudah tidak layak lagi untuk perang, maka boleh dijual dan dibelikan kuda lain yang layak digunakan jihad, Demikian juga masjid yang sudah tidak memberikan manfaat dapat dipindahkan ke tempat lain demi untuk kemaslahatan, atau menjualnya untuk digunakan membangun masjid baru. Tapi pada dasarnya, masjid itu tidak boleh dijual kecuali kalau ada darurat yang dihadapi, tetapi alat-alat masjid dapat dipindahkan ke masjid lain, sedangkan tanah halaman masjid (‘arshatul masjid) yang tidak ada bangunannya boleh dijual.
Abu Zahrah mengatakan, bahwa pendapat madzhab Hanabilah khususnya yang mengenai penjualan masjid ini sudah “tasaahul“ (terlalu mempermudah). Madzhab ini membolehkan menjual mesjid apabila sudah tidak dapat memenuhi maksud pewakafannya, seperti tidak dapat menampung jama’ahnya dan tidak dapat diperluas lagi, atau ada bagian masjid yang rusak yang menyebabkan masjid tidak dapat dimanfaatkan, atau ada kerusakan bangunan di kawasan dimana masjid tersebut berada, sehingga masjid tidak dapat digunakan dan tidak manfaat lagi. Maka dalam kondisi seperti itu masjid boleh dijual, dan hasil penjualannya digunakan untuk membangun masjid lagi 13)
Di antara empat madzhab tersebut, disamping ada perbedaan-perbedaannya, juga ada persamaan-persamaannya, antara lain :
(1) Sedapat mungkin barang wakaf harus dijaga kelestariannya dan dilindungi keberadaannya .
(2) Penukaran atau penjualan barang wakaf hanya dibolehkan apabila ada alasan darurat atau untuk mempertahankan manfaatnya .
(3) Penukaran (al-Istibdal) maupun penjualan ( al-bai’ ) barang wakaf harus dilakukan oleh pemerintah (qadli atau hakim), paling tidak seizin pemerintah.
(4) Hasil penukaran maupun penjualan barang wakaf harus diwujudkan menjadi barang wakaf penggantinya.
Istibdal Wakaf Dalam UU No. 41 Th. 2004 dan PP No.42 Th. 2006
Lahirnya UU Nomor 41 Tahun 2004, Tentang Wakaf, dan PP Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya, 14) di tengah-tengah semangat pemberdayaan wakaf secara global, semenjak datang abad ke XV Hijriyah. Di beberapa negara Islam diselenggarakan konferensi, seminar atau lokakarya tentang wakaf, seperti Konferensi Internasional Menteri-menteri Wakaf & Agama (1979) di Jakarta, Nadwah “Muassasah al-Aw-qaf fi al-‘Alam al-Arabi al-Islami“ (1983) di Rabat Maroko, Nadwah “ Idarah wa Tatsmir Mumtalakaat al-Auqaf“ (1984) di Jeddah Arab Saudi, Nadwah “ al-Atsar al-Ijtima’iyah wal Iqtishadiyah lil Waqfi fi al-‘Alam al-Islami al-Mua’shir “ (1992) di Istambul Turkey, Nadwah “ Nahwa Daur Tanmawiy lil Waqfi “ ( 1992 ) di Kuwait , Nadwah “ Ahammiyah al-Awqaf al-Islamiyah fi ‘Alam al-Yaum “ (1996) di Amman Yordan, dan lain-lain.
Pembahasan wakaf dalam forum-forum tersebut terasa sangat kuat kecenderungannya untuk membuka jalan Istibdal wakaf sebagai salah satu cara untuk melestarikan kemanfaatan wakaf, dan untuk menghindari terjadinya keterbengkalaian barang wakaf karena beberapa sebab. Munculnya paradigma yang lebih berkonsentrasi pada prinsip “ pelestarian dan peningkatan manfaat wakaf “ ( tasbil al-tsamrah ), menggeser paradigma yang selama ini lebih berkonsentrasi pada prinsip “penjagaan keabadian barang wakaf“ (habsu al-ashl). Yang menarik dari pembahasan forum-forum tersebut adalah adanya semangat “kompromi antar madzhab” yang selama ini dapat dikatakan belum pernah terjadi. Keputusan-keputusan yang ditetapkan melalui forum-forum tersebut dapat dikatakan sebagai gambaran terjadinya “pluralisme madzhab” dalam kajian fiqih seperti : waqaf mu’aqqat (wakaf temporal), wakaf uang, istibdal al-waqf (penukaran barang wakaf), istitsmar amwal al-waqf (investasi dana wakaf), profesionalisasi na-zhir . Issu-issu wakaf kontemporer tersebut mempengaruhi agenda pertemuan wakaf baik dalam skala nasional maupun internasional, juga dalam penulisan buku-buku per-undangan wakaf serta kajian-kajian ilmiah dan produk-produk akademis, seperti munculnya banyak tesis dan disertasi wakaf . Para narasumber dan perumus UU Nomor 41 Tahun 2004, serta PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang perwakafan di Indonesia juga sudah dipengaruhi oleh arus pemikiran seperti disebut di muka.
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini, masalah Istibdal dimasukkan dalam “hukum pengecualian“ (al-hukmu al-istitsna’i) seperti disebut dalam BAB IV Pasal 40 dan 41 ayat (1) . Dalam Pasal 40 dinyatakan, bahwa Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :
a. Dijadikan jaminan.
b. Disita .
c. Dihibahkan .
d. Dijual .
e. Diwariskan .
f. Ditukar , atau
g. Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya .
Dalam Pasal 41 dinyatakan :
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari’ah .
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia .
3. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula .
4. Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah .
Dari ketentuan-ketentuan yang tercantum mulai Pasal 40 dan 41 diatas, terlihat adanya sikap kehati-hatian dalam tukar-menukar barang wakaf, dan masih menekankan upaya menjaga keabadian barang wakaf selama keadaannya masih normal-normal saja. Tapi disisi lain juga sudah membuka pintu Istibdal meskipun tidak tasahul ( mempermudah masalah ) . Hal ini lebih jelas lagi dengan melihat aturan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 . Dalam BAB VI , Pasal 49 dinyatakan :
1. Perubahan status harta benda wakaf dengan bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI .
2. Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut ;
a. perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.
b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf , atau
c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.
3. Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) , izin pertukaran Harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika :
a. Harta benda penukar memiliki sertfikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan ; dan
b. Nilai dan manfaat harta penukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula .
4. Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur :
a. Pemerintah daerah kabupaten/kota .
b. Kantor pertanahan kabupaten / kota .
c. Majlis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten /kota .
d. Kantor Departemen Agama kabupaten / kota .
e. Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan .
Pasal 50 dan 51 PP Nomor 42 tersebut, selanjutnya di dinyatakan :
Pasal 50 : Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf b dihitung sebagai berikut :
a. harta benda penukar memiliki Nilai Jual Obyek Pajak (NOJP) sekurang-kurangnya sama dengan NPJP harta benda wakaf , dan
b. harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk dikembangkan .
Pasal 51 : Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut :
a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status / tukat menukar tersebut ;
b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen (Kementerian) Agama kabupaten / kota .
c. Kepala Kantor Departemen (Kementrian) Agama kabupaten / kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat 4 dan selanjutnya Bupati / Walikota setempat membu-at Surat Keputusan ;
d. Kepala Kantor Departemen (Kementerian) Agama kabupaten / kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian dari tim kepada Kantor Wilayah Departemen (Kementerian) Agama propinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri ;
e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan dan / atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut .
Memperhatikan isi aturan perundangan (UU No. 41 Th. 2004 , dan PP No. 42 Th. 2006) sepintas terasa sangat birokratis dan tidak mudah dilakukan oleh para Nazhir di daerah yang jauh dari akses pelayanan perkantoran, ditambah lagi dengan kemampuan mayoritas Nazhir yang ada di Indonesia sekarang, serta luasnya daerah lokasi harta benda wakaf terutama di daerah pedesaan di luar Jawa, juga mengingat kebutuhan biaya yang harus disediakan untuk tranportasi selama pengurusan surat permohonan tersebut, rasanya perlu dicarikan cara yang lebih mudah, yang lebih murah, dan yang lebih proporsional dengan nilai wakaf yang ditukar gantikan. Tapi semangat ke-hati-hatian seperti yang terasa dalam peraturan perundangan wakaf yang ada itu perlu tetap terjaga.
Masalah wakaf ini memang sejak dulu merupakan masalah yang banyak mengundang kontroversial diantara para ulama, mulai dari kedudukan substansialnya, hukumnya, macamnya barang yang boleh diwakafkan, cara pengelolaannya, peruntukannya, dan lain sebagainya. Perwakafan memang sangat dinamis, setiap waktu bisa terjadi perubahan persepsi dan penafsiran sejalan dengan dinamika sosial, serta perubahan dimensi waktu dan tempat, karena sebagian besar dalil-dalil yang digunakan dalam fikih wakaf adalah ijtihadiyah (bersifat ijtihad) bukan qath’iyah (bersifat pasti), oleh karenanya bisa terjadi banyak perbedaan diantara ulama mujtahid. Wakaf itu sendiri tidak termasuk perintah yang sifatnya “ta’abbudiy” yang tidak bisa dinalar maksudnya, tapi lebih bersifat “ta’aqquliy”, yang dapat dinalar maknanya, dan yang tujuan akhirnya adalah memberi kemaslahatan kepada umat . 15).
Catatan Kaki:
1) Hadis diriwayatkan Al-Bukhori dan Muslim , dari sumber sanad Abdullah bin Umar .
2) Abu Zahrah, Muhammad, 2005, Muhadlaraat Fi al-Waqf : 150. Al-Jamal, Ahmad Muhammad Abdul’azhim, 2007. Al-Waqfu al-Islamiy : 47 . Qadri Phasa, Muhammad , 2006 . Qanun al-‘ Adl wa al-Inshaf : 282 – 283. Asyub, Abduljalil Abdurrahman. 2009 , Kirab al-Waqf : 150 – 153.
3) Abu Zahrah, op. cit : 172.
4) Az-Zarqaa’, Musthafa Ahmad . 1418 H, Ahkam al-Awqaaf , I : 15 .
5) Qadri Phasa : 281 – 287 , At-Tharablisi , Al-Is’af : 27 . Ibnu ‘Abidin , Raddu al-Muhtar ala al-Durr al-Mukhtar : 535 .
6) Ibnu Najim , Al-Bakhr al-Ra’iq : V : 222 .
7) Abu Zahrah , op.cit . : 159 – 160 .
8) Al-Kharsyi, Abu Abdillah. Syarkh al-Khorsyi ala Mukhtashar Khalil , VII : 96-96.
9) Abu Zahrah, op. cit . : 172
10) Qadri Phasa : 282 .
11) Al-Syairazi, Abu Ishaq, Al-Muhadzab. Bab al-Waqf .
12) Al-Murdawi , Al-Inshaf . VII : 100-101
13) Abu Zahrah : op.cit. : 163
14) UU No. 41 Th. 2004 Tentang Wakaf dan PP No. 42 Th. 2006 Tentang Pelaksanaannya . Dirjen Bimas Islam Depag 2007 .
15) Jamal . op.cit. : 16 .
6 Responses
Assalamuàlaikum.
Kenapa Masjid Amal Silaturrahim yg terletak di Medan Area, mendapat rekomendasi dari BWI yg tidak sesuai alasan istibdal yg tercantum dalam UU no 41 thn 2004 dan PP no 42 thn 2006. Sehingga terjadi sekarang 2 Masjid yg berdekatan. Ormas2 Islam, tokoh Masyarakat dan sebahagian Warga masih mempertahankan agar Masjid lama tetap berjalan. Bahkan masjid lama jauh lebih makmur dari masjid baru yg jamaahnya sedikit. BWI mesti bertanggung jawab. Wassalamuàlaikum
Tertanda
AFFAN LUBIS
Ketua Aliansi Penyelamat Masjid Amal Silaturrahim
( Ketua APMAS)
081264526094
Setelah membaca artikel di atas, yang saya pahami adalah bahwa yang memberikan izin atau tidak memberikan izin istibdal atau penukaran harta wakaf adalah Menteri Agama, bukan Badan Wakaf Indonesia.
KEdua, yang mengajukan permohonan izin istibdal atau penukaran adalah nazhirnya sendiri. Kalau tidak ada yang mengajukan permohonan izin, Menteri Agama pasti tidak akan mengeluarkan izin, yang prosesnya sangat lama
Tapi BWI kota Medan memberikan rekomendasi, padahal nazhir yang memohon juga melanggar UU Wakaf. Tidak mungkin menteri memberikan rekomendasi kalau tidak ada pertimbangan BWI
yang mengajukan permohonan izin istibdal atau penukaran adalah nazhirnya sendiri. Kalau tidak ada yang mengajukan permohonan izin, Menteri Agama pasti tidak akan mengeluarkan izin, yang prosesnya sangat lama
Saya bisa pertanggung jawabkan tulisan saya. Jangan BWI dirusak oleh oknum2 yg tidak bertangung jawab. Coba cek internal BWI. Kalau data dibutuhkan saya siap
Benar Nazhir yg mengajukan izin, aturannya BWI juga melihat apakah pengajuan izin bertentangan dengan UU Wakaf atau tidak. Kalau bertentangan jangan diberi rekomendasi. Coba Lihat Rekomendasi BWI No. 013/BWI/A/RS/V/2018