Perkembangan wakaf di Singapura sangat dipengaruhi oleh para imigran yang berasal dari Tarim-Hadramaut (Yaman), mereka datang ke Singapura bertepatan dengan awal pendirian Negara Singapura tahun 1819. Mereka merupakan para saudagar kaya raya yang sukses mengembangkan bisnisnya di Palembang-Indonesia.
Diantarannya yang terkenal adalah keluarga Syed Omar Sharif Ali bin Al Junied, Alkaff dan Alsagoff yang telah berkontribusi dalam pembangunan sekolah, rumah dan fasilitas lainnya yang menunjang bagi komunitas mereka.
Pada tahun 1820 beliau mewakafkan tanahnya yang terletak di tepi selatan Sungai Singapura, tepatnya berada di Keng Cheow jalan off Havelock Road dan kemudian beliau mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Omar Kampong Melaka.
Masjid ini merupakan masjid pertama sekaligus tempat ibadah pertama yang dibangun di Singapura. Masjid yang berada ditengahtengah pemukiman Cina ini sekarang memiliki kapasitas 1.000 orang jamaah, yang kebanyakan adalah pekerja kantor dari pusat kota terdekat.
Sebagai filantropis, kontribusi beliau tidak hanya tercatat sebagai orang yang membangun Masjid Kampong Malaka saja, beliau juga berkontribusi besar dalam pembangunan masjid di Bencoolen Street. Pembuatan sumur dekat Fort Canning untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat sekitar.
Beliau juga mewakafkan sebidang tanah untuk tempat pemakaman di daerah Victoria Street.
Selanjutnya, pada tahun 1857 beliau mewakafkan tanah dan ikut membangun Rumah Sakit Tan Tock Seng yang berada di Victoria Street dan Arab Street. Begitu juga dengan tanah dimana Katedral St Andrew berdiri merupakan tanah wakaf yang juga disumbangkan oleh-nya.
Keberlanjutan praktek wakaf dan perkembangan wakaf di Singapura menjadi penting ketika memasuki abad ke-19, banyak lahan-lahan wakaf baru yang berasal dari wakaf para pedagang yang datang dari Yaman dengan membawa tradisi wakaf mereka dari tanah kelahirannya.
Selain dari yaman, wakaf juga dipraktikan oleh para pedagang dan penukar uang yang datang dari India. Mereka mulai dengan pembangunan Masjid Jamae di tahun 1820-an, diikuti oleh masjid-masjid lain dan mereka mendirikan sejumlah wakaf, seperti wakaf dari Ahna Ally Mohammad Kassim, sehingga Singapura sekarang memiliki total 14 wakaf yang berasal dari masyarakat India.
Perdagangan telah memainkan peran penting dalam menciptakan kekayaan dalam komunitas Muslim. Selain dari para pedagang Arab dan India, perkembangan wakaf pun ikut diramaikan oleh keturunan suku Bugis dari Indonesia. Di antaranya wakaf yang disumbangkan oleh Hajjah Daeng Tahira binti Daeng Tadaleh.
Beliau mewakafkan hartanya untuk disalurkan kepada masjid-masjid, madrasah, fakir miskin, pengobatan bagi yang sakit, biaya pemakaman bagi Muslim miskin dan bagi umat Islam yang menderita bencana. Hal ini membuktikan bahwa peran dari wakif perempuan juga sangat dominan karena hampir sepertiga dari wakif dalam sejarah wakaf Singapura merupakan Perempuan.
Memasuki tahun 1970-an perkembangan wakaf di Singapura berjalan lambat hal ini di dasari pada tidak adanya penciptaan wakaf baru. Menurut Shamsiyah Abdul Karim tidak adanya wakaf baru dikarenakan:
- Kurangnya informasi masyarakat akan pentingnya berwakaf, karena ketika itu Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) kurang mempromosikan dan mempublikasikan wakaf secara agresif;
- Harga properti meningkat di luar kemampuan banyak Muslim Singapura untuk mewariskan properti sebagai Wakaf;
- Ada banyak bentuk lain dari sumbangan yang dibebankan kepada Muslim di Singapura seperti sumbangan untuk madrasah, masjid, dan organisasi-organisasi amal lainnya;
- Karena semua Wakaf dikelola oleh Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) kecenderungan untuk wakif mengelola sendiri Wakaf tanpa campur tangan dari otoritas sangat terbatas;
Atas dasar tersebut, perkembangan wakaf selanjutnya di isi oleh pembangunan dan revitalisasi terhadap asset wakaf yang telah ada untuk dikembangkan menjadi aset wakaf produktif. Dalam merealisasikan hal tersebut pada tahun 2001 MUIS membentuk anak perusahaan yaitu Warees Investment Pte Lt dalam mengelola asset wakaf.
Penulis : Zaki Halim Mubarok