Oleh: Prof. Nurul Huda (Anggota Badan Wakaf Indonesia)
Pengertian wakaf secara bahasa (lughowi) adalah menahan. Secara istilah, wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum tanpa mengurangi nilai harta.
Harta yang telah diwakafkan memerlukan orang atau pihak yang mengurus dan mengelolanya.
Dalam Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disebutkan bahwa yang bertugas dan berhak mengelola wakaf adalah Nazhir. Dalam Undang-undang yang sama, definisi nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari muwakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
https://www.youtube.com/watch?v=FZUVpxi8xKE
Tugas nazhir adalah melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Dalam melaksanakan tugas, nazhir boleh menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%.
Jika dikaitkan dengan karakteristik profesi, maka pekerjaan nazhir merupakan profesi atau bidang pekerjaan yang butuh kompetensi tertentu. Nah, perlukah ada sertifikasi? Tentu jawabannya sama dengan profesi lainnya.
Dari sisi nazhir itu sendiri, sertifikasi bisa meyakinkan organisas atau lembaga atau industri bahwa dirinya kompeten. Selain itu, bisa membantu nazhir merencanakan karir dan mengukur tingkat pencapaian kompetensi dalam proses belajar di lembaga formal maupun secara mandiri.
Sertifikasi akan membantu nazhir dalam memenuhi prasyarat regulasi. Juga membantu pengakuan kompetensi lintas sektor dan negara, serta membantu tenaga profesi dalam promosi profesinya di bursa tenaga kerja.
Sedangkan dari sisi kelembagaan, sertifikasi nazhir akan membantu industri meyakinkan kepada muwakif, bahwa produk atau jasanya telah dibuat oleh nazhir yang kompeten. Juga membantu industri dalam rekrutmen dan mengembangkan nazhir berbasis kompetensi guna meningkatkan efisiensi SDM.
Selain itu, juga membantu industri dalam sistem pengembangan karir dan renumerasi tenaga berbasis kompetensi dan meningkatkan produktivitas.
Pertanyaannya sekarang, apa Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bagi nazhir?
Hal ini dapat diturunkan dari tugas nazhir itu sendiri. Kompetensi yang harus dimiliki nazhir atau dalam SKKNI dikenal dengan istilah fungsi kunci nazhir antara lain: menerima, menjaga, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, menyalurkan manfaat dan hasil pengelolaannya, serta melaporkan pelaksanaan tugas kepada BWI.
Masing-masing fungsi kunci diuraikan lebih detail kompetensinya dalam fungsi utama dan fungsi dasar. Misalnya untuk kompetensi kunci menerima harta benda wakaf, mencakup tiga fungsi utama kompetensi, yaitu:
- Merencanakan penerimaan harta benda wakaf;
- Melaksanakan penerimaan harta benda wakaf;
- Memantau penerimaan harta benda wakaf.
Demikian pula untuk fungsi kunci nazhir lainnya. Sertifikasi kompetensi bagi nazhir akan meningkatkan profesionalisme pengelolaan wakaf. Dengan demikian, muwakif akan semakin percaya menyerahkan harta benda wakaf, baik bergerak maupun tidak bergerak.
Hasil penelitian penulis pada tahun 2017, ada tiga persoalan utama nazhir, yaitu rendahnya kompetensi dalam pengelolaan, bukan sebagai profesi utama, dan pengelolaan wakaf belum optimal.
Sertifikasi kompetensi nazhir insyaAllah akan menghilangkan tiga persoalan utama di atas. Bahkan penulis melakukan survei pada beberapa nazhir secara random, hampir semua nazhir menyetujui jika ada sertifikasi.
Jadi, sertifikasi nazhir menjadi suatu kebutuhan dan keharusan.
Sumber : Hidayatullah
Editor : Humas Badan Wakaf Indonesia
2 Responses
Sangat bagus apabila dilakukan sertifikasi nadzir, keprofesionalan pengelolaan suatu objek menjadi kebutuhan pada saat ini, wakaf hanya terdengar kejayaannya pada masal lampau, tapi sekarang tidak. Ini tugas kita dan BWI. Maju terus BWI.