Menggerakkan Kesadaran Berwakaf Uang di Musim Pandemi

Menggerakkan Kesadaran Berwakaf Uang di Musim Pandemi

Pandemi virus Corona (Covid-19) telah melanda dunia, menyebar di 216 negara, pada upade tanggal 14 Juli 2020 telah mengakibatkan lebih dari 13,2 juta orang terkonfirmasi positif, dan korban meninggal dunia melebihi setengah juta orang. Di Indonesia dilaporkan sebanyak lebih dari 78 ribu orang terkonfirmasi: 37,6 ribu di antaranya sembuh, dan 3,71 ribu orang meninggal dunia.

Pandemi ini mengakibatkan pemerintah Indonesia pada 2 Juni 2020 lalu menetapkan kebijakan membatalkan pemberangkatan calon Jemaah haji tahun 2020. Kerajaan Arab Saudi (KSA) pun mengambil kebijakan sangat khusus: membuka ibadah haji tahun 2020 dengan sangat terbatas dan ketat, hanya untuk warga Arab dan para ekspatriat yang tinggal di KSA ini, dengan mendapatkan izin dari pemerintah dan memenuhi protokol kesehatan. Kebijakan tersebut beralasan untuk keamanan dan keselamatan manusia.

Pandemi Covid-19 ini menjadi momentum untuk bekerja sama, bergotong royong dan solidaritas sosial, seperti melalui pranata sedekah dan wakaf. Dalam konteks ini, Islam adalah agama yang komprehensif (syumul), tidak hanya mengatur ibadah yang lebih berdimensi individual, seperti salat, puasa dan haji, tetapi lebih dari itu mengatur ibadah yang lebih berdimensi sosial, yaitu filantropi, berupa zakat, sedekah, infak, bahkan wakaf. Ibadah  sosial ini dimaksudkan tentu untuk kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia.

Ajaran wakaf telah diisyaratkan secara garis besar dalam Al-Qur’an, antara lain QS al-Baqarah ayat 44 dan 224, dan Ali ‘Imran ayat 92, berikut:

”Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidaklah kamu mengerti?” (QS. al-Baqarah [2]:44).

”Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan menciptakan kedamaian di antara manusia. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 224).       

”Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 92).    

Dua ayat pertama di atas menggunakan kata akar kata birr (kebajikan) atau kata kerja ”tabarru” (berbuat kebajikan), dan ayat terakhir menggunakan akar kata infaq (”tunfiqu”, menginfakkan), semuanya merupakan padanan dari filantropi, mencakup arti infaq dan wakaf. Terdapat hadits khusus mengenai anjuran wakaf ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

”Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga macam: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakan kepadanya.” (HR al-Bukhârî dan Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anh)    

Hadits ini berisi tentang tiga amal manusia yang tidak akan terputus, yaitu sedekah jariah, dimaknai sebagai wakaf; ilmu yang bermanfaat, yakni mengajar (ta‘lim) dan mengarang tulisan (tashnif), yang kedua ini lebih kuat karena lebih langgeng dan anak saleh yang mendoakan ampunan (maghfirah). (Muhammad bin ‘Allan ash-Shadiqi [w. 1057 H], Kitab Dalilul Falihin li-Thuruqi Riyadhish Shalihin, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 1971, Juz IV, hlm. 161-162).

Jelas Islam mensyariatkan lembaga wakaf untuk kemaslahatan umat manusia. Akan tetapi, di tanah air, wakaf masih dipandang sebagai ibadah yang identik dengan 3 M (makam, masjid dan madrasah). Padahal potensi wakaf di Indonesia sangat besar untuk pemerataan ekonomi. Pandangan di atas tiada lain akibat minimnya literasi atau bacaan kita terkait wakaf, termasuk pula materi-materi khutbah Jumat. Untuk itu, tema-tema wakaf, khususnya wakaf uang dalam tinjauan hukum agama dan peraturan perundang-undangan, perlu disampaikan dalam kegiatan keagamaan, seperti dalam khutbah Jumat.     Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada September 2019, telah  merilis data bahwa potensi aset wakaf per tahun mencapai 2.000 triliun rupiah dengan luas tanah wakaf mencapai 420.000 hektare. Sementara potensi wakaf uang bisa menembus kisaran 188 triliun rupiah per tahun. Dari jumlah potensi wakaf tersebut yang terealisasi baru mencapai 400 miliar rupiah. Oleh karena itu, di era revolusi industri 4.0, semestinya wakaf produktif menjadi gerakan yang mampu membuat masyarakat lebih sadar mengenai pentingnya wakaf untuk percepatan pertumbuhan ekonomi.

Hukum Wakaf Uang   

Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum wakaf uang. Pertama, mayoritas ulama (Malikiyyah, Syafi‘iyyah, Hanabilah, dan sebagian Hanafiyah) menyatakan wakaf uang tidak sah, karena tidak memenuhi syarat-syarat wakaf, berupa bendanya utuh (tidak rusak ketika dimanfaatkan).

Kedua, sebagian pengikut mazhab Syafiiyah, sebagian mazhab Hanafiyah, dan Imam al-Zuhri (w. 124 H) membolehkan wakaf uang, dengan cara menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf).

Ketiga, Imam Abu Hanifah memerinci hukum wakaf uang: boleh untuk masjid, tetapi tidak boleh untuk bangunan selain masjid, seperti perbaikan jalan, irigasi, dan membeli kafan bagi orang Islam yang miskin. Keterangan lebih rinci perbedaan mazhab mengenai hukum wakaf uang tersebut dapat dilihat dalam kitab karya Nizhamuddin al-Balki dkk., al-Fatawa al-Hindiyyah (Mesir: al-Amiriyyah, 1314, juz II, h. 362-263); Muhyiddin an-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, t.t., juz VI, h. 378-380), dan Ibnu Qudamah, al-Mughni (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994, juz V, h. 382).

Pada tahun 2002, Nahdlatul Ulama (NU), ormas keagamaan terbesar di Indonesia dan dunia, dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, juga membolehkan wakaf uang, dengan tata cara pemanfaatannya. Demikian juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai “representasi” dari ormas-ormas keislaman di Tanah Air juga membolehkan wakaf uang, dengan tata cara pemanfaatannya. Tata cara pemanfaatan wakaf uang dilakukan dengan menjaga dan melestarikan nilainya, seperti investasi melalui mudharabah (sistem bagi hasil) dan semisalnya. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. Dan wakaf uang ini hanya boleh disalurkan serta digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syara’.

Landasan hukum yang digunakan oleh NU dan MUI tersebut di antaranya keterangan dalam beberapa kitab yang telah disebutkan di atas. Keterangan lebih lanjut dapat dibaca dalam Tim Penyelaras Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PBNU, Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Kobes Nahdlatul Ulama (1926-2010 M) (Surabaya: Khalista, 2011, h. 600-693), dan Tim Penyusun, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta: Penerbit Arilangga, 2011, h. 419-424).

Kita patut bersyukur, telah mempunyai peraturan perundang-undangan khusus mengenai wakaf, yaitu UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah (PP), yaitu PP No. 42 Tahun 2006. Undang-undang ini memerinci wakaf ada dua macam: wakaf benda bergerak dan wakaf benda tidak bergerak. Wakaf benda bergerak mencakup wakaf uang (wakaf tunai), logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang ini juga mengatur pengelolaan wakaf secara produktif untuk memajukan kesejahteraan umum. Sungguhpun demikian, pengelolaan wakaf uang tidak mudah, risikonya cukup tinggi. Maka, pengelolaan dan pengembangan wakaf uang harus dilakukan oleh nazhir (pengelola) yang profesional.

Jadi, marilah kita gerakkan Berwakaf Uang untuk kesejahteraan bangsa, terutama di saat pandemi Covid-19 ini. Semoga kita sehat walafiyat, dan kesejahteraan meningkat, selamat dari Covid-19, dan pandemi ini segera berakhir. Amîn yâ Rabb.

Penulis: Ahmad Ali MD, Sekretaris Pergerakan Kiai dan Mubalig Nusantara (PKMNu)

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *