Sinergi Wakaf dengan Instrumen Asuransi Syariah

Oleh Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS., Pakar Asuransi Syariah  dan Humas BWI.

 

 

Wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya untuk kepentingan umum. Ajaran wakaf disandarkan pada Sabda Rasulullah saw. “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakannya” (HR. Muslim). (Shahih Muslim, No. 3084, jz. 8, h. 405). Para ulama fikih sepakat, yang dimaksud dengan “shadaqah jariyah” dalam hadis di atas adalah wakaf. Ulama-ulama ahli hadis pun sepakat mengamini pandangan tersebut. (Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, 2000: 328).

Lebih rigid lagi, dalam literatur fikih, wakaf dibedakan dengan jenis filantropi Islam yang lain, semisal zakat, infak, dan shadaqah.  Wakaf adalah memberikan harta untuk dikelola oleh nazhir (pengelola), lalu hasil pengelolaan digunakan untuk kesejahteraan umum. Jadi, harta asal yang diwakafkan tersebut tetap utuh, hanya hasil investasi saja yang boleh dibagi-bagikan untuk kemaslahatan. Pendapat para fuqaha ini berdasarkan atas Hadis Nabi yang mengatakan, ahbis ashlaha wa sabbil tsamrataha, tahanlah asalnya (harta pokok yang diwakafkan) dan bagikan hasilnya (hasil pengelolaan atau investasi). (HR. Bukhari Muslim).

Ketika berwakaf, ada empat rukun yang harus dipenuhi. Pertama, orang yang berwakaf (waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah). (Shahih Muslim bi Syarkh al-Nawawi, 1983, jz. 5, h. 324).  Benda yang dapat diwakafkan terdiri dari dua macam: benda tak bergerak misalnya tanah; dan benda bergerak contohnya uang. Selain rukun wakaf yang empat, ada satu lagi elemen penting dalam wakaf, yaitu nazhir atau pengelola harta wakaf. Nazhir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Dalam buku-buku fiqh tidak disebutkan bahwa Nazhir termasuk salah satu rukun wakaf. Namun karena peran penting Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, maka Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf menentukan Nazhir sebagai salah satu unsur wakaf.

Dalam Undang-undang tersebut juga dijelaskan jenis Nazhir dan syarat-syaratnya sehingga pengelolaan dan pemberdayaan harta wakaf di Indonesia bisa lebih profesional sehingga memberi manfaat dan faedah yang maksimum. Untuk meningkatkan kinerja Nazhir, undang-undang juga telah mengatur tugas dan wewenang Nazhir. Meskipun Nazhir memiliki tugas dan wewenang yang besar dalam perwakafan, ini tidak berarti Nazhir memiliki kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanatkan kepadanya. Pada umumnya ulama sepakat bahwa kekuasaan Nazhir hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki Wakif.

Dalam menjalankan tugasnya, Nazhir berhak menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 % (sepuluh persen). (Pasal 12, UU No. 41 tahun 2004, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).”). Hal ini juga bisa dirujuk dasar hukumnya pada hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin Khaththab ketika mendapatkan tanah di Khaibar, lalu ia mewakafkan tanah tersebut. Pada akhir hadis disebutkan; “Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.” (Imam Muslim, Shahih Muslim, Bab Waqf, Jz. 8, No. 3085, h. 407).

Dilihat dari sisi peruntukan, wakaf terbagi menjadi dua: wakaf keluarga (ahli, ada juga yang menyebut wakaf khusus) dan wakaf kebajikan (khairi, ada yang menyebut wakaf umum). (Wahbah al-Zuhaili, 1987, juz.8, h. 161). Wakaf keluarga adalah wakaf yang diperuntukkan bagi anak-cucu atau kerabat. Sedangkan wakaf kebajikan adalah wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum. Pada prinsipnya, wakaf keluarga tidak berbeda dengan wakaf kebajikan. Keduanya sama-sama bertujuan membantu pihak-pihak yang memerlukan. Ini sebagai realisasi perintah Allah kepada manusia untuk membelanjakan sebagian dari hartanya untuk orang lain, sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran ayat 92. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92).

Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada pemanfaatannya. Pada wakaf ahli, pemanfaatannya hanya sebatas keluarga wakif. Yakni, anak-anak mereka pada tingkatan pertama dan seluruh keturunannya secara turun temurun sampai seluruh anggota keluarga itu meninggal dunia. Baru setelah itu hasil wakaf dapat dimanfaatkan orang lain, seperti anak yatim piatu, fakir-miskin dan pihak lain yang memerlukan. Sedangkan yang dimaksud wakaf khairi adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum. (Wahbah al-Zuhaili, 8/161). Wakaf jenis ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber investasi untuk pembangunan ekonomi umat, baik di bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan lainnya.

Karena itulah, wakaf merupakan ibadah yang berdimensi ganda. Selain untuk menggapai keridhaan dan pahala dari Allah di hari kelak, wakaf merupakan ibadah yang juga berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia dengan lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan sosial. Dalam sejarah peradaban Islam, wakaf banyak digunakan untuk amal sosial untuk kepentingan umum. Wujud kepentingan umum itu bisa berupa jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal tersebut merupakan salah satu segi dari bentuk-bentuk penggunaan wakaf membelanjakan atau memanfaatkan harta di jalan Allah swt melalui pintu wakaf. Dengan demikian, dilihat dari segi manfaat pengelolaannya, sejak dahulu kala, wakaf sangat berjasa besar dalam membangun berbagai sarana sebagai bentuk jaminan sosial untuk kepentingan umum demi kesejahteraan umat manusia. Prinsip ini hingga kini terus dilestarikan.

Dalam manajemen kekinian, wakaf diintegrasikan dengan berbagai sistem modern yang telah ada, terutama menyangkut wakaf uang yang belakangan kian gencar dikembangkan di Indonesia. Berdasarkan UU No. 41 tahun 2004, penerimaan dan pengelolaan wakaf uang dapat diintegrasikan dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS). (Pasal 28, UU No. 41 tahun 2004).  Dalam wakaf uang, wakif tidak boleh langsung menyerahkan mauquf yang berupa uang kepada nazhir, tapi harus melalui LKS, yang disebut sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (PWU).

Dalam sistem pengelolaan wakaf uang, tak banyak berbeda dengan wakaf tanah, nazhir bertugas untuk menginvestasikan sesuai dengan syariah, dengan satu syarat: nilai nominal uang yang diinvestasikan itu tak boleh berkurang. Sedangkan hasil investasi dialokasikan untuk upah nazhir (maksimal 10 %) dan kesejahteraan masyarakat (minimal 90 %). (Pasal 12, UU No. 41 tahun 2004).   

Saat ini, yang sedang berjalan adalah kerjasama nazhir dengan perbankan syariah. Ini tercermin dengan keputusan Menteri Agama yang menunjuk 5 bank syariah untuk bermitra dengan nazhir dalam soal wakaf uang. (Lima Bank tersebut adalah Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, DKI Syariah, dan Mega Syariah. Lihat, Keputusan Menteri Agama RI, No. 92-26 Tahun 2008). Karenanya, tidak menutup kemungkinan, ke depan pengembangan wakaf uang juga bisa dipadukan dengan instrumen asuransi syariah, yang merupakan bagian dari jenis LKS dari sektor non perbankan. Sebelum melangkah pada pengintegrasian sistem wakaf dalam instrumen asuransi syariah, penulis akan menjelaskan, prinsip dasar asuransi syariah.   

Konsep Asuransi Syariah

Asuransi syariah disebut juga dengan istilah takaful, artinya tolong menolong atau saling membantu. Dalam konteks bermuamalah, takaful berarti saling memikul resiko di antara sesama manusia, antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang lain. (Muhammad Syakir Sula, 1996: 1). Pijakan utamanya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta. Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2, “Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2).

Secara definitif, asuransi syariah adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko atau bahaya tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah. (Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001). Dari definisi di atas tampak bahwa asuransi syariah bersifat saling menilndungi dan tolong-menolong, yang disebut dengan ta’awun. Yaitu, prinsip hidup saling menlindungi dan saling menolong atas dasar ukhuwah islamiyah antara sesame anggota peserta asuransi syariah dalam menghadapi malapetaka atau resiko. (Huzaemah T. Yanggo, 2003: 23).

Atas dasar itu, premi pada suransi syariah berbeda dengan premi konvensional. Premi yang dibayarkan oleh peserta asuransi syariah terdiri atas Dana Tabungan dan Tabarru. Dana tabungan adalah dana titipan dari peserta asuransi syariah (life insurance) dan akan mendapat alokasi bagi hasil (al-mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada peserta apabila peserta yang bersangkutan menagjukan klaim, baik berupa klain nilai tunai maupun klaim manfaat asuransi. Sedangkan dana tabarru’ adalah derma atau dana kebajikan yang diikhlaskan oleh peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi (life atau general insurance). (Fatwa DSN MUI, No. 21/DSN-MUI/X/2001).

Dalam pengelolaannya, dana nasabah atau premi dalam asuransi syariah dikelola dengan dua sistem, sistem yang mengandung unsur tabungan (saving) dan sistem yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving). (Muhammad Syakir Sula, 2004: 177-179).

1. Sistem yang Mengandung Unsur Tabungan (Saving)

Setiap peserta wajib membayar sejumlah uang secara teratur kepada perusahaan. Besar premi yang akan dibayarkan tergantung kepada kemampuan peserta. Akan tetapi perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang dapat dibayarkan. Setiap peserta dapat membayar premi tersebut, melalui rekening koran, giro atau membayar langsung. Peserta dapat memilih cara pembayaran, baik tiap bulan, kuartal, semester maupuntahunan.

Setiap premi yang dibayar oleh peserta akan dipisah oleh perusahaan asuransi dalam dua rekening yang berbeda. Pertama, rekening tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan milik peserta, yang dibayarkan bila perjanjian berakhir, atau peserta mengundurkan diri, atau meninggal dunia Kedua, rekening tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, yang dibayarkan bila peserta meninggal dunia, atau perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana).

Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Tiap keuntungan dari hasil investasi, setelah dikurangi denagn beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi menurut prinsip Al-Mudharabah. Prosentase pembagian mudharabah (bagi hasil) dibuat dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan peserta.

2. Sistem yang Tidak Mengandung Unsur Tabungan (Non Saving)

Setiap premi yang dibayar oleh peserta, akan dimasukkan dalam rekening tabarru’, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong dan saling membantu, dan dibayarkan bila peserta meninggal dunia, atau perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana). Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah Islam. Keuntungan dari hasil investasi setelah dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi antara peserta dan perusahaan menurut prinsip Mudharabah dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama antara perusahaan dengan peserta. Lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar berikut.

Berdasarkan sistem pengelolaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa akad yang dapat dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah (sama dengan mudharabah) dan atau akad tabarru’ (sama dengan hibah). Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan berntindak sebagai pengelola (mudharib), dan peserta berperan sebagai pemegang polis (shohibul mal). Sementara dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan berperan sebagai pengelola dana hibah. Dalam pelaksanaannya akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikankewajibannya. Sementara akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah. (Fatwa DSN MUI, No. 21/DSN-MUI/X/2001).

Asuransi Syariah Berbasis Wakaf

Secara umum, jenis asuransi ada dua: asuransi keluarga (ada juga yang menyebut asuransi jiwa) dan asuransi umum. Begitupula dalam asuransi syariah. Dilihat dari sisi pembagian jenis asuransi ini, ada kemiripan dengan jenis wakaf, yang terdiri dari wakaf kelurga dan wakaf umum, seperti dijelaskan di atas. Begitupula dengan tujuan keduanya, baik asuransi syariah maupun wakaf adalah untuk tolong-menolong atau saling membantu untuk meringankan beban dan kesejahteraan bersama. Meski begitu, sudah mafhum bahwa keduanya jelas berbeda, mulai dari rukun, akad, hingga pengelolaan.

Tapi setidaknya kemiripan itu, dapat dijadikan pintu masuk sistem wakaf dalam instrumen asuransi. Sebab, asuransi syariah tidak menutup kemungkinan bisa perberan sebagai penerima dan pengelola wakaf uang. Kalau bank syariah saja bisa, asuransi syariah pun juga terbuka kemingkinan. Sebab, keduanya adalah bagian dari jenis Lembaga Keuangan Syariah, yang diamanatkan undang-undang untuk bisa bekerjasama dengan nazhir dalam penerimaan wakaf uang. Ada beberapa pola yang dapat dimanfaatkan perusahaan asuransi syariah dalam mensinergikan dan mengintegrasikan sistem wakaf dalam instrumen asuransi.

Dalam konteks ini, perusahaan asuransi syariah berperan sebagai penerima dan pengelola wakaf uang, sekaligus penyalur hasil investasi. Jadi, asuransi syariah punya peran yang sangat strategis. Ini adalah peran penuh perusahaan asuransi syariah sebagai nazhir wakaf uang. Perlu digaris bawahi, dana wakaf yang masuk sedikitpun tidak boleh berkurang, apalagi diguanakan untuk biaya operasioal, biaya klaim, atau apapun terkait dengan operasional perusahaan asuransi syariah. Dana wakaf harus menjadi “aset tetap” yang keberadaannya abadi. Karena konsep wakaf, sebagaimana disinggung di atas, adalah harta yang diwakafkan tidak boleh berkurang, tidak boleh habis, tapi bersifat produktif dan menghasilkan manfaat. Jadi, kewajiban utama perusahaan asuransi syariah pada peran ini adalah sama dengan tugas nazhir, mengelola dan mengembangkan harta wakaf.

Pada pengelolaan model saving (tabungan), yang biasa diberlakukan pada jenis asuransi syariah keluarga atau juga disebut takaful keluarga, dana wakaf dibagi pada dua rekening: tabungan dan tabarru’. Bedanya dengan sistem asuransi adalah: (1) dana wakaf pada rekening tabungan tidak boleh dikembalikan kepada peserta (wakif), sebab dana tersebut sudah diwakafkan. Begitupula dengan hasil investasinya, tidak boleh diberikan kepada peserta, tapi harus disalurkan atau digunakan kepada yang berhak (mauquf alaih) sesuai dengan keinginan peserta, “bebas”.  

(2) dana wakaf pada rekening tabarru’ konsepnya agak sedikit berbeda. Jika biasanya dana di rekening tabarru’ dapat langsung digunakan untuk klaim, maka ini tidak bisa diterapkan pada dana wakaf yang masuk pada rekening ini. Dana wakaf tersebut harus dikelola dan diinvestasikan terlebih dahulu, baru hasil investasinya dapat digunakan sebagai dana klaim untuk tolong menolong antarsesama peserta asuransi. Jadi, pada aras ini, saat ikrar wakaf peserta (wakif) harus menunjuk “peserta asuransi” perusahaan tersebut sebagai “mauquf alaih”. Berarti, hasil investasinya digunakan sebagai dana tolong-menolong antar sesama peserta asuransi.

Baik  “dana wakaf” yang masuk dalam rekening tabungan maupun tabarru’, keduanya harus utuh, tidak boleh digunakan untuk opersional ataupun klaim. Dana operasional akan diambilkan dari dana hasil investasi baik yang bersumber dari rekening tabungan maupun rekening tabarru’. Sedangkan dana klaim dapat diambilkan dari hasil investasi yang bersumber dari rekening tabarru’. Setelah itu, pihak perusahaan memperoleh maksimal 10 persen dari hasil bersih pengelolaan atau investasi.  

Pengelolaan asuransi syariah berbasis wakaf ini, perusahaan asuransi sebagai nazhir, akan sangat strategis bila diterapkan dalam jenis asuransi syariah keluarga (takaful keluarga). Konsep ini mirip dengan wakaf ahli. Dalam wakaf ahli, wakif mewakafkan hartanya untuk dikelola nazhir dengan produktif. Hasil investasinya dialokasikan untuk kesejahteraan keluarga (mauquf alaih).  Konsep ini sangat cocok jika dikawinkan dengan instrumen dalam takaful keluarga. Kalau dalam takaful keluarga, perolehan manfaat atau klaim dibatasi oleh jangka waktu tertentu. Berbeda halnya dengan takaful keluarga berbasis wakaf, manfaat yang diperoleh oleh pihak keluarga akan berlangsung selamanya, sampai turun-temurun dari generasi ke generasi.

Secara operasional, premi takaful keluarga yang bersumber dari dana wakaf akan disatukan dalam “kumpulan dana wakaf peserta”. Lalu diinvestasikan dalam pembiayaan-pembiayaan proyek yang tidak bertentangan dengan syariah. Keuntungan bersih (setelah dipotong operasional) yang diperoleh dari hasil investasi akan dibagikan sesuai dengan perjanjian mudharabah yang disepakati bersama, dengan ketentuan: maksimal 10% dari keuntungan untuk perusahaan asuransi, dan persentase sisanya adalah untuk “mauquf alaih”. Bila takaful biasa keuntungan dialokasikan untuk perusahaan asuransi dan peserta, lain halnya dengan takaful wakaf, keuntungan dialokasikan untuk perusahaan dan “mauquf alaih” yang ditunjuk peserta (wakif).

Lain halnya dengan model pengelolaan dana wakaf pada model asuransi syariah non saving, tidak ada unsur tabungan. Ini biasa dipraktikkan dalam jenis asuransi syariah umum atau takaful umum. Dana dikelola dalam satu kantong yaitu rekening tabarru’ atau juga disebut rekening khusus. Konsepnya sama dengan pengelolaan dana wakaf pada rekening tabarru’ pada model saving. Dana wakaf yang terkumpul pada rekening ini tidak boleh langsung digunakan untuk operasional atau klaim. Lalau dari mana? Operasional dan premi diambilkan dari hasil atau keuntungan investasi. Sedangkan dana premi yang berupa wakaf keberadaannya tetap utuh, abadi selamanya.

Jadi, setiap premi (dana wakaf) yang diterima perusahaan asuransi syariah akan dimasukkan dalam rekening tabarru’. Premi tersebut akan dikumpulkan ke dalam “kumpulan dana peserta” untuk diinvestasikan dalam proyek-proyek produktif yang sesuai dengan syariah. Keuntungan bersih hasil investasi yang diperoleh akan dialokasikan untuk keuntungan perusahaan asuransi (maksimal 10%), dan sisanya untuk klaim atau dana tolong menolong antarsesama peserta asuransi. Pengelolaan dana wakaf pada takaful umum (model non saving) dapat dilihat pada gambar berikut.

Setelah mengetahui bagaimana konsep dan operasional asuransi syariah berbasis wakaf, kini kita bernjak pada kesimpulan akhir. Ternyata, dari perpaduan sistem tersebut, ada banyak manfaat yang bisa dipetik.
Pertama, dana wakaf yang terkumpul di perusahaan asuransi syariah tidak akan berkurang sedikitpun. Ini merupakan karakter dari wakaf, yaitu abadi. Karenanya,  dana wakaf bak bola salju yang kian meningkat seiring bertambahnya jumlah peserta asuransi dan perjalanan waktu. Dengan demikian, perusahaan asuransi akan memperoleh profit besar, sebab keberadaan dana abadi yang dimilikinya sebagai penopang peningkatan produktifitas perusahaan. Dana abadi tersebut dengan bebas dapat diinvestasikan dalam berbagai sektor, riil atau finansial, asal tak melanggar ketentuan syariah.

Kedua, ketika membayar premi, peserta asuransi sudah otomatis berwakaf. Ada dua keuntungan yang melekat satu sama lain, keuntungan dunyawi dan ukhrawi. Keuntungan dunyawi diperoleh sebab dana yang diwakafkan itu digunakan untuk dana tolong-menolong dan kemaslahatan secara umum, sehingga tercipta kesejahteraan hidup di dunia. Sisi ukhrawi diperoleh karena ia mendapatkan pahala sebagai wakif berbentuk shadaqah jariah, yang pahalanya mengalir meski telah tutup usia.

Ketiga, peserta juga akan mendapat keuntungan berlipat ganda melalui takaful keluarga berbasis wakaf. Bahkan layak dikatakan, “Takaful keluarga berbasis wakaf, lebih dari sekedar asuransi berjangka.” Perpaduan pada instrumen ini akan memberikan manfaat jangka panjang sekali, bahkan abadi selamanya. Manfaat asuransi ini bisa dinikmati oleh keluarga atau ahli waris peserta asuransi (wakif), dari generasi ke generasi. []
Daftar Pustaka

Abu Daud, Sunan Abi Daud, Kairo: Dar Sya’b, 1952.
Al-Jurjani, Ali Ibn Muhammad, Kitab al-Ta‘rifat, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
Al-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf, Shahih Muslim bi Syarkh al-Nawawi, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.   
Depag RI, Fikih Wakaf, Jakarta: Direktorat Wakaf Depag RI, 2003.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
Keputusan Menteri Agama RI, No. 92-26 Tahun 2008.
Muslim, Shahih Muslim, Kairo: Dar Sya’b. tt.
Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah; Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani, 2004.  
Sula, Muhammad Syakir, Konsep Asuransi dalam Islam, Bandung: PPM Fi Dzilal, 1996.  
UU No. 41 tahun 2004.
Yanggo, Huzaemah T., Asuransi; Hukum dan Permasalahannya, Jurnal AAMAI, Tahun VII, No. 12, 2003.
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1987.

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *