“Ngapain ngurusin makam, masjid, dan mushala?” Pertanyaan bernada mengolok ini mau tak mau didengar Guru Besar Hukum Islam dari Universitas Indonesia, Uswatun Hasanah, dari teman-temannya saat ia mengungkapkan niat untuk menggali lebih dalam soal wakaf produktif. Beruntung, ia tak mengkerut. Ia meneguhkan diri dan menyampaikan jawaban kepada teman-temannya. Tak mungkinlah, kata dia, wakaf hanya sebatas pada makam, masjid, dan mushala. Maka, ia menulis disertasinya tentang wakaf produktif. Keinginan mendalami bidang itu bermula dari aktivitasnya sebagai dosen di UI pada 1985.
Saat itu, ia mengajar zakat dan wakaf. Ia mengaku, ada faktor lainnya yang juga menentukan, yaitu dorongan Prof Dr Daud Ali. Ketika itu, Uswatun menjadi asistennya. Semula, ia mengutarakan keinginan untuk menguraikan tentang politik Islam. Namun, sang profesor mengarahkannya agar mendalami wakaf.
Melalui pengetahuan di bidang ini, Daud Ali menyampaikan manfaat yang bisa dipetik oleh Uswatun. Tak hanya memperkuat kemampuan Uswatun dalam mengajar, namun pengetahuan wafaf produktif memungkinkannya untuk mengembangkan wakaf di Indonesia. Ia pun kian mantap.
Lalu, ia melahap beragam literatur tentang wakaf, terutama dari negara-negara yang telah menjalankan wakaf dengan baik, seperti Mesir, Yordania, Turki, Arab Saudi, dan Kuwait. Ia mengamati, di wilayah itu wakaf yang dikembangkan adalah jenis wakaf produktif dalam bentuk apartemen, mal, dan rumah sakit yang berkembang sangat pesat.
Uswatun mengungkapkan, tadinya mempelajari hanya untuk mengembangkan mata kuliah, tetapi setelah ia melakukan penelitian. Ia bertanya, mengapa wakaf produktif tak dikembangkan di Indonesia? Maka itu, ia bertekad untuk memopulerkan wakaf produktif di negerinya sendiri.
Ketika itu, memang ada beberapa wakaf yang sudah dikembangkan secara produktif, tetapi belum membudaya. Paling tidak ada tiga wakaf produktif, yaitu Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII), Badan Wakaf Pondok Modern Gontor, dan Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung (Unissula) Semarang. Waktu itu sudah punya rumah sakit.
Bekal pengetahuan soal wakaf produktif membuatnya memiliki kesadaran dan ia menyatakan, mestinya kesadaran itu dimiliki orang-orang yang berwakaf. “Jangan sampai orang yang berwakaf itu tak peduli dengan barang yang diwakafkannya,” katanya di Pamulang, Tangerang Selatan, Ahad (20/3).
Ia mengatakan, jika ia berwakaf, nazir atau pengelola wakafnya mestinya dicecar dengan banyak pertanyaan. Maksudnya, akan bagaimana nantinya wakaf yang ia berikan itu. Dengan demikian, seharusnya mereka tak cukup hanya berwakaf, kemudian membiarkannya begitu saja.
Kini, bersama Badan Wakaf Indonesia (BWI), Uswatun juga mendorong kesadaran orang-orang yang memberikan wakaf untuk berbuat demikian. Agar wakaf bisa produktif, seperti yang berlaku di negara-negara lain. BWI juga kini terus mengupayakan agar para nazir semakin profesional dalam mengelola wakaf.
Di sisi lain, Uswatun juga berusaha memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai wakaf, juga yang produktif melalui seminar dan berbagai tulisan yang buat. Ia yakin, wakaf akan mampu melahirkan kesejahteraan bagi umat Islam di Indonesia
bila dikelola dengan baik.
Sebab, ia telah melihat pengembangan wakaf di dunia modern sudah sangat berkembang begitu pesat. Ia menuturkan, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, berkembang karena wakaf produktifnya. Bahkan, dari wakaf produktif itu mereka mampu memberikan beasiswa kepada ratusan ribu mahasiswa dari berbagai negara. (ferry/republika)