Jakarta – Harta wakaf merupakan pemberian yang dipergunakan untuk kepentingan kesejahteraan sosial. Agar pengelolaannya bisa berkembang dengan baik, maka dibutuhkan nazhir yang bermutu, yaitu amanah dan profesional dalam mengembangkan harta tersebut. Inilah yang menjadi salah satu titik tekan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam pengembangan wakaf ke arah produktif, yaitu pemberdayaan para nazhir (pengelola).

 

“Sebab, problem mendasar dalam stagnasi perkembangan wakaf di Indonesia adalah aset wakaf yang tidak diproduktifkan gara-gara kapasitas nazhir yang tidak profesional,” tandas Wakil Ketua BWI Hafidz Ustman saat membuka Workshop Nazhir Wakaf Produktif di Jakarta, (14/3). Menurutnya, saat ini masih ada sekitar 49 persen dari 2,7 milyar meter persegi tanah wakaf di Indonesia yang masih belum diproduktifkan. Kondisi ini jauh lebih baik daripada 5 tahun lalu, di mana tanah wakaf yang belum diproduktifkan mencapai 77 persen.

 

Jika perwakafan di Indonesia ingin bangkit, tentu kondisi nazhir tak boleh dibiarkan, harus terus dibenahi dan mutunya ditingkatkan. Pada titik inilah peran (BWI) sangatlah penting. Sebagai lembaga independen yang dibentuk pemerintah, BWI memegang peran besar dalam memajukan dan mengembangkan perwakafan nasioal, sebagaimana termaktub dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf.

Atas dasar itulah, BWI gencar mengadakan pelatihan atau workshop nazhir dalam rangka peningkatan kualitas nazhir. Kali ini, BWI mengundang perwakilan nazhir dari seluruh propinsi di Indonesia. Perwakilan nazhir ini terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda, baik dari segi aset yang ditangani maupun sisi manajemen pengelolaan. “Karena itu, kesempatan workshop ini diharapkan sebagai ajang belajar antara nazhir berdasarkan pengalamannya masing-masing,” tandas Hafidz.

 

Ini penting, karena posisi nazhir merupakan unsur wakaf yang sangat fital. Pasalnya kondisi nazhir ini berjalan lurus dengan kulitas aset wakaf. Jika nazhirnya lemah dan tidak profesional, otomatis aset wakaf yang dikelolanya pun tak akan produktif. Jadi, di sini diperlukan nazhir yang memiliki kemampuan untuk mengelola, mengembangkan harta wakaf, serta mampu mentasarufkan hasil harta wakaf secara adil. 

Di era wakaf produktif ini, menurut Hafidz, sudah saatnya para nazhir mengubah paradigma dalam pengelolaan aset wakaf: dari menunggu bola menjadi menjemput bola, dari meminta-minta menjadi menjalin mitra. Kini, juga terbuka lebar bagi para nazhir untuk bekerjasama dengan para pelaku ekonomi untuk penyediaan permodalan dan jaringan kerja untuk meningkatkan produktifitas aset wakaf. Dengan begitu, tanbah Hafidz, diharapkan tak ada lagi aset wakaf yang tidak produktif, apalagi terlantar dan tak jelas statusnya. [aum]

 

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *