Oleh: Sukron Kamil, Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta.
Keadilan sosial adalah realitas sosial dimana setiap anggotanya memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya[1]. Dalam masyarakat yang berkeadilan sosial, tidak terdapat kesenjangan yang sangat mencolok dalam pendidikan, ekonomi, akses politik, dan lain-lain yang sepatutnya memang tidak boleh terlalu jauh berbeda dan juga terdapat kemandirian. Dalam bahasa yang sangat sederhana, masyarakat yang berkeadilan sosial adalah masyarakat yang, paling tidak, di dalamnya tidak terdapat ketimpangan ekonomi, pendidikan, hukum, pengobatan (kesehatan), dan akses politik.
Dalam pengertian seperti itu, keadilan sosial sangat ditekankan oleh al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, keadilan yang terkait dengan makna keadilan sosial seperti di atas, paling tidak, ada tiga: dalam pengertian persamaan sosial seperti persamaan di depan hukum (QS. 4: 58); keseimbangan atau tidak adanya ketimpangan sebagai asas alam dan sosial seperti QS. 16: 3 dan 82: 6-7 serta QS. 67: 3; dan tidak adanya kezaliman sosial (proporsional dan memberikan hak kepada pemiliknya) seperti QS. 4: 135 dan QS. 60: 8. Dalam al-Qur’an dijelaskan pula bahwa keadilan, termasuk di dalamnya keadilan sosial, akan membawa pada ketaqwaan (QS 5:8) sementara ketaqwaan akan membawa pada kemakmuran (QS 7:96). Sebaliknya, ketidakadilan, termasuk di dalamnya ketidakadilan sosial, akan membawa pada kesesatan (QS 28: 50, 46: 10, 61: 7, 62: 5) dan akan menjauhkan dari rahmat Tuhan.[2]
Siring dengan penekanan al-Qur’an pada keadilan sosial di atas, secara teoritis, dalam konteks filantropi Islam (ZISWa [Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf]), kelembagaan ini, meskipun bagian dari ibadah (ritual kegamaan yang langsung berhubungan dengan Tuhan), tetapi juga memiliki fungsi sosial atau bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial, minimal keadilan distribusi ekonomi. Hal itu terlihat dari pernyataan Al-Quran, antara lain bahwa diberlakukannya zakat atau sedekah lainnya adalah untuk tujuan, “Agar harta kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya”, (QS Al-Hasyr [59]:7). Zakat, berdasarkan ayat tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya proses konsentrasi kekayaan dan menciptakan sirkulasi kekayaan, tujuan utama ekonomi yang sehat.[3] QS Al-Hasyr [59]:7 itu diperinci oleh QS Al-Tawbah [9]:60 bahwa sumbangan sosial wajib keagamaan Islam (zakat) dan sedekah umumnya adalah untuk orang-orang fakir dan miskin, panitia atau orang-orang yang mengelolanya, orang-orang yang hatinya musti dibujuk, para budak, orang-orang yang bangkrut, sabîlillâh (kepentingan umum), dan orang-orang yang dalam perjalanan. Dalam ayat yang disebut terakhir yang diperkuat juga QS. 70: 24-25, jelas sekali bahwa filantropi Islam, termasuk di dalamnya wakaf, dimaksudkan untuk mengeleiminir kemiskinan dan mereka yang mengalami ketidakadilan struktural (mahrum: terhalang rizkinya/bernasib buruk) yang sebagiannya disebut setelah kelompok (ashnaf) miskin.
Namun demikian, harus diakui, salah satu isu sosial yang seringkali kontroversial, bahkan ditolak, jika dikaitkan dengan Islam adalah isu keadilan sosial. Pertanyaan yang seringkali muncul adalah apakah Islam menjunjung tinggi keadilan politik, pendidikan, ekonomi, dan kesehatan? Jika ya, apakah dalam keadilan sosial Islam benar-benar tidak ada yang dikecualikan, termasuk di dalamnya Non Muslim dan perempuan. Pertanyaan itu muncul ketika dikaitkan dengan realitas negara-negara Muslim yang tidak atau kurang merealisirnya, termasuk Indonesia. Lebih dari itu, pertanyaan tersebut menjadi lebih problematik lagi, ketika dikaitkan dengan lembaga filantropi Islam yang sangat kental dimensi ibadahnya. Menghubungkan filantropi Islam semisal wakaf untuk Non Muslim bagi masyarakat umumnya, berdasarkan pengalaman penulis, sebagai suatu keanehan, karena tidak terbiasanya hal itu dan adanya larangan Syafi’iyah memberikan zakat kepada Non Muslim, sebagaimana nanti akan dijelaskan.
Dalam soal keadilan politik, laporan Freedom House tahun 2001 menyebut bahwa negara-negara yang menerapkan syari’ah tradisional adalah negara-negara yang tidak bebas. Nilainya pun antara 5 hinga 7, dimana skor 1 berarti sangat bebas, dan skor 7 sangat tidak bebas. Afganistan dan Sudan misalnya nilai kebabasannya pada tahun 2000 adalah 7, sedangkan Iran nilainya 6, dan Pakistan nilainya 5. Demikian juga dengan perempuan yang bekerja. Berdasarkan laporan United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 2001, persentase perempuan yang bekerja pada tahun 1995-2000 di negara-negara yang menerapkan syari’ah sangat kecil. Di Arab Saudi, perempuan yang bekerja hanya 26%, Iran 36%, Pakistan 41%, dan Sudan 40%, dibanding kaum laki-lakinya. Hal yang sama terjadi untuk non Muslim, dimana di Sudan dan Iran misalnya, mereka terpinggirkan, bahkan dikenai hukum pidana Islam (jinâyah).[4]
Dalam soal keadilan ekonomi, problem ini di dunia Islam bisa dilihat dari sedikitnya negara-negara Muslim yang secara eknomi dimasukan kategori maju. Yang relatif ekonominya maju antara lain adalah negara-negara petro dolar di Timur Tengah. Itupun mereka kaya lebih karena anugerh minyak. Problem keadilan ekonomi juga bisa dilihat dari angka kemiskinan di Indonesia. Menurut versi Pemerintah, berdasarkan ukuran garis kemiskinan Rp. 175.324 perkapita perbulan di perkotan dan Rp.131.256 di pedesaan, angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2006 memang 17,7%. Namun, menurut Bustanul Arifin, berdasarkan ukuran kemiskinan Bank Dunia, yaitu di bawah 2 dolar (Rp. 18.000) perhari per orang dan melihat keterkaitan kemiskinan dengan kenaikan harga beras dan kesejahteraan petani, jumlah orang miskin di Indonesia akhir tahun 2006 tersebut adalah 49% atau 109 juta orang dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 220 juta.[5]
Perspektif Teoritik Wakaf untuk Keadilan Sosial dalam Islam
Keadilan sosial dalam konteks wakaf atau sedekah lainya dalam literatur Barat disebut dengan filantropi (kedermawanan). Kata filantropi memang kata yang maknanya ada dua. pertama, dimaknai sama dengan dengan kata karitas/charity (sumbangan). “Kamus Inggris Indonesia” John M. Echols dan Hassan Shadily mengartikan philanthropy (filantropi) dengan kedermawanan, kemurahhatian, atau sumbangan sosial, sesuatu yang menunjukan cinta kepada sesama manusia. “The Oxpord English Dictionary” juga mengartikan filantropi dengan cinta kepada sesama manusia secara umum, berbuat baik kepadanya dengan tulus, dan upaya atau kecenderungan untuk meningkatkan kehidupan kemanusiaan yang baik dan kebahagiaannya seperti lewat kemurahatian, derma atau sumbangan.[6] Karena itu, wajar jika “Kamus Besar Bahasa Indonesia” Cetakan 2002 pun menganut hal yang sama. Filantropi dalam kamus yang disebut terakhir ini diartikan sebagai cinta kasih (kedermawanan dan sebagainya) kepada sesama manusia, dan karitas sebagai sumbangan untuk keperluan kemanusiaan[7].
Namun, Aileen Shaw membedakan antara karitas sebagai filantropi tradisional dengan filantropi untuk keadilan sosial. Karitas adalah sumbangan yang difungsikan untuk pelayanan (services), sedangkan filantropi untuk keadilan sosial difungsikan untuk advokasi. Karena itu, kedua term itu sering dikontraskan menjadi servis versus advokasi. Sasaran distribusi atau penggunaan yang membedakan karitas dengan filantropi juga dianut oleh http://www.osjspm.org/charjust.htm. Menurut sumber terakhir ini, karitas (charity) adalah sumbangan sosial yang penggunaannya bersifat individual, untuk kepentingan konsumtif yang berjangka pendek (sekali habis), penyediaan kebutuhan langsung, dan tidak untuk pemecahan ketidakadilan struktural. Sedangkan filantropi adalah kedermawanan sebagai bentuk cinta kasih kepada sesama yang diarahkan dan penggunaanya didistribusikan untuk kepentingan publik (aksi-aksi kolektif), merespon kepentingan jangka panjang, mempromosikan transformasi sosial, dan berupaya memecahkan ketidakadilan struktural. Dalam bahasa lain, jika karitas hanya mengatasi gejala atau efek dari suatu permasalahan sosial, sementara filantropi lebih menekankan pada upaya untuk mengatasi akar persoalan atau akar penyebab ketidakadilan sosial.[8]
Di Indonesia, lembaga seperti PIRAC yang dikomandoi oleh Zaim Saidi membedakan karitas dengan filantropi. Menurutnya, filantropi atau ZIS dan Wakaf yang berdimensi filantropik adalah ZIS dan wakaf untuk tujuan investasi sosial atau kemandirian masyarakat seperti pendidikan, peningkatan peluang ekonomi bagi mereka yang kalah dalam persaingan, atau peningkatan kapasitas organisasi masyarakat.[9]
Secara teoritik, dalam Islam, tujuan diberlakukannya wakaf bisa dipastikan adalah untuk merealisir keadilan sosial. Paling tidak keadilan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Hal ini karena institusi wakaf dalam Islam, sebagaimana zakat dan sedekah lainnya, kecuali sebagai ukuran keimanan seseorang dan juga untuk kepentingan keakhiratan, tetapi juga merupakan institusi distribusi kekayaan agar terjadi keadilan ekonomi dan juga merupakan simbol dari sistem ekonomi yang dikehendaki Islam, yaitu hak-hak proferti diakui tetapi hak-hak sosial diperhatikan. Dalam Islam, hak-hak individual untuk memiliki kekayaan diakui, tetapi lewat wakaf dan ZIS (Zakat, Infaq/Sedekah) diharapkan proses konsentrasi kekayaan tidak terjadi, tetapi justru tercipta sirkulasi atau peredaran surplus kekayaan di kalangan semua masyarakat, tujuan utama ekonomi yang sehat.[10] Dalam Alqur’an, tujuan distribusi ekonomi itu antara lain terlihat dalam QS. Adz-Dzariyat: 19 dan QS. Al-Ma’arij/70: 24-25: “Dalam kekayaan mereka (orang-orang kaya) terdapat hak bagi para peminta-minta dan yang terhalang (ekonominya)”. Tujuannya, seperti telah disingung di atas, adalah agar terjadi perputaran kekayaan (QS Al-Hasyr [59]:7), dimana ayat ini diperkuat oleh QS Al-Taubah [9]:60. Dalam ayat yang disebut terakhir, filantropi Islam, baik yang wajib maupun yang sunnah seperti wakaf, ditujukan untuk menangani kemiskinan, karena penerima prioritasnya adalah kelompok fakir dan miskin.
Dalam hal ini, Islam agaknya memandang, pertama, akumulasi kekayaan seseorang dibangun di atas keringat orang-orang miskin, karena di dunia ini tidak ada seorang kaya pun, baik pedagang, petani, pengusaha konglomerat, dan pejabat sekalipun yang bisa beraktifitas tanpa orang-orang yang ekonominya lemah. Dalam kenyataannya, orang-orang miskin memang sudah diberi upah atas kerjanya. Namun, jumlah keuntungan yang didapat para majikan jauh lebih banyak ketimbang para buruhnya yang paling-paling hanya didasarkan pada UMP (Upah Minimun Povinsi) misalnya. Karena itu, wakaf dan filantropi Islam lainnya adalah bentuk ucapan terima kasih dan kerjasama kalangan kaya dan miskin. Kedua, kesenjangan ekonomi akan mengakibatkan hancurnya sendi-sendi tatanan sosial dan peradaban. Karena itu, menurut Nurcholish Madjid, berdasarkan surat al-Humazah, Islam memandang kejahatan terbesar setelah syirik adalah penumpukan kekayaan beserta penggunaannya yang tidak benar[11].
Bedasarkan surat attaubah di atas, dana sedekah, baik yang wajib maupun yang sunnah semisal wakaf di samping harus didistribusikan kepada orang-orang miskin dan papa, juga musafir, orang-orang bangkrut, muallaf yang fakir, tawanan, panitia penghimpun, dan di jalan Allah. Menurut Ismail al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, golongan yang disebut terakhir bermakna ganda untuk membolehkan dana sedekah seperti hasil wakaf, khususnya zakat untuk kesejahteraan umat Islam. Karenanya, ZIS pun boleh digunakan untuk pendidikan, proyek masyarakat, dan pembelaan Islam dan Umat Islam. Selain itu, menurutnya zakat dan sedekah lainnya seperti wakaf harus mendorong investasi pendapatan dalam usaha produktif yang akan menambah kekayaan masyarakat dan dan menciptakan pekerjaan[12].
Secara teoritik, wakaf untuk keadilan sosial juga bisa dilhat dari peraturan perundangan yang ada di Indonesia yang diambil dari ajaran Islam. Pasal 5 UU Wakaf No. 41 tahun 2004 menjelaskan: “Wakaf berfungsi mewujudkan fotensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum”[13] Dalam peraturan perundangan sebelumnya, yaitu Pasal 216 Buku III Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dibuat tahun 1985-1991 dan Pasal 2 PP. No. 28/1977, juga dijelaskan hal yang hampir sama, meskipun tujuan keadilan sosial terutama ekonominya kurang tampak: “Fungsi wakaf adalah untuk mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf”. Penjelasan fungsi wakaf seperti itu dalam UU wakaf 2004 tersebut bisa dipahami, karena sebagaimana tercantum dalam penjelasannya, bahwa salah satu yang melatari kemunculan UU itu adalah realitas bahwa wakaf tidak menjadi kekuatan ekonomi Ummat Islam.[14]
Fungsi wakaf untuk keadilan sosial Islam sebagai mauqûf ‘alaih (peruntukan wakaf) itu diperjelas lagi peruntukanya dalam UU Wakaf No. 41 2004 itu dalam Pasal 22. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa mauqûf ‘alaih (peruntukan) wakaf selain sarana kegiatan ibadah, juga pendidikan, kesehatan, bantuan untuk fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi Ummat, dan kemajuan kesejahteraan umum lainnya[15]. Selain untuk kepentingan keadilan ekonomi, jika wakaf sebagai lembaga keadilan sosial, maka wakaf pun bisa difungsikan sebagai lembaga keadilan politik, karena keadilan politik adalah sesuatu yang dianjurkan Islam. Misalnya untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terabaikan, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, mensosialisasikan hak-hak warga, melakukan pendampingan masyarakat yang terpinggirkan, pendidikan untuk keadilan bagi perempuan, dan mengembangkan kerukunan antar umat beragama. Hal ini karena, menurut Kuntowijoyo, peopel power menjelang Revolusi Islam Iran 1979 yang dipimpin para ulama terjadi, antara lain karena para ulama memiliki sumber-sumber finasial yang indefenden dan kuat dari zakat[16] dan terutama dari wakaf yang terkait dengan masjid dan lembaga pendidikan.
Di samping penjelasan di atas, wakaf untuk keadilan sosial Islam bisa dilihat dari definisi wakaf dalam fikih dan asal usulnya. Wakaf secara ringkas didefinisikan dengan: “Menahan kapital dan membelanjakan hasilnya”. Definisi ini berasal dari hadis Nabi Riwayat Bukhari dan Muslim bahwa ketika Umar bin Khattab bercerita kepada Nabi Muhammad mengenai sebidang tanah miliknya di Khaibar, lalu Nabi bersabda: “Jika engkau mau, tahan pokok (kapital)-nya dan sedekahkan hasilnya”. Anjuran Nabi ini meskipun lebih sebagai penjelasan atas pernyataan Alqur’an yang mendorong sangat kuat untuk melakukan sedekah sebagai amal shaleh, tetapi juga terkait dengan lembaga yang pernah berlaku pada suku pra Islam yang disebut himâ. Yaitu sebidang lahan yang disisihkan oleh suatu suku sebagai harta masyarakat untuk menggembalakan ternak dan sebagainya, yang tidak bisa diklaim baik oleh individu maupun keluarga manapun. Dalam hal ini, wakaf berawal dari praktik hima sebagai faktor produksi bersama yang tujuannya adalah untuk perwujudan keadilan ekonomi. Praktik wakaf juga didasarkan pada hadis Riwayat Muslim, dimana wakaf merupakan sebuah upaya pengabadian amal –tentu saja bersifat relatif– kendati pelakunya sudah meninggal, lewat pemanfaatan benda yang diwakafkan oleh publik untuk kemaslahatannya. Dengan begitu, diharapkan pahalanya tetap mengalir kepada para pewakaf. Dalam hadis tersebut, sebagai tindakan yang tidak teputus pahalanya, walaupun pelakunya sudah meninggal dunia, sedekah jariah (wakaf) sebanding dengan ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendo’akan.[17]
Mengingat wakaf sebagai institusi keadilan sosial Islam, maka itu berarti mengandaikan tidak adanya orang yang dikecualikan dalam pemanfaatannya, termasuk Non Muslim. Soal ini, meskipun Syafi’iyah dalam permasalahan zakat berpendapat tidak sahnya zakat, jika diserahkan kepada fakir miskin yang non-Muslim, sekalipun diperintahkan penguasa,[18] tetapi berbeda sekali dalam soal wakaf. Fikih Syafi’iyah sekalipun membolehkanya. an-Nawawi dalam bukunya ar-Raudhah, sebuah buku yang terkenal tetapi kurang dijadikan rujukan di pesantren tradisional, menjelaskan mengenai sahnya wakaf kepada non Muslim satu kewarganegaraan (dzimmî), baik dari seorang Muslim maupun dari sesama non Muslim dzimmî. Namun, menurutnya, syaratnya adalah: (1) benda yang diwakafkannya tidak mengandung dan tidak diperuntukan untuk kemaksiatan seperti tikar untuk gereja dan lain-lain. (2). Benda wakafnya boleh dimiliki non Muslim tidak seperti Qur’an dan budak Islam, walaupun alasan kedua ini bisa diperdebatkan[19]. Demikian juga dengan buku fikih modern seperti Fiqh as-Sunnah Sayyid Sabiq yang juga membolehkan pemberian wakaf kepada Non Muslim dzimmî seperti kepada kaum Kristiani. Alasan yang dikemukan Sabiq adalah karena telah dipraktikan Shafiyyah, istri Nabi, yang mewakafkan hartanya kepada saudaranya yang Yahudi.[20]
Jika wakaf dianalogkan dengan zakat sebagai sedekah wajib dalam soal bolehnya memberikan zakat kepada dzimmî (non-Muslim yang berada dalam lindungan negara Muslim), maka menurut Yûsuf Qaradhawi alasan lainnya adalah karena: (1) keumuman kata fakir-miskin dalam QS Al-Tawbah [9]: 60 sebagai penerima sedekah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunnah seperti wakaf, dan (2) berdasarkan QS Al-Mumtahanah [60]:8, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu”. Ia berpendapat demikian dengan mengikuti pendapat Ibn Sirin, Al-Zuhri, Zufar (sahabat Abû Hanîfah), Ikrimah, Jabir ibn Zaid yang membolehkannya.[21]
Argumen lain dimunculkan oleh Abdul Mannan, ekonom Islam. Dalam pandangannya, istilah masâkin (orang-orang miskin) sebagai penerima sedekah apa saja termasuk hasil wakaf, berdasarkan filologi Semith yang dilaksanakan Umar bin Khattab, sesungguhnya menunjuk pada orang-orang miskin di kalangan penduduk non Muslim di suatu negara Islam. Selain itu, kata mu’allaf (mereka yang hatinya direbut) dan sabîlilah (di jalan Allah) pun bisa dijadikan argumen. Baginya, kata mu’allaf memiliki empat makna: mereka yang direbut hatinya agar turut membantu kaum Muslimin; tidak berbuat hal-hal yang merugikan kaum Muslimin; agar memeluk Islam; dan agar membujuk rakyat dan sukunya bersama-sama memeluk Islam. Kata sabîlillah (di jalan Allah) juga pengertiannya luas. Diantaranya adalah meringankan penderitaan kalangan non Muslim[22].
Kecuali untuk kepentingan di atas, hasil pengelolaan wakaf, dalam literatur fikih, juga dijelaskan selain boleh digunakan untuk kepentingan ibadah (pembangunan masjid), lembaga pendidikan dan para gurunya, pembangunan hotel atau pemondokan untuk para musafir, juga kebutuhan minum, pengurusan mayat seperti pembelian kain kafan, pembangunan dan rehabilitas jembatan, untuk para penghuni penjara, rumah sakit, perpustakan, dan lainnya. Bahkan, berbeda dengan sedekah lainnya, sebagian wakaf atau manfaatnya pun, seperti buku dan al-Qur’an, boleh didistribusikan atau dimanfaatkan oleh orang kaya yang tidak berhak menerima zakat.[23]
Berdasarkan penjelasan di atas, dasar dari pendistribusian hasil wakaf adalah istihsân (hal-hal yang dipandang baik) atau alasan kemaslahatan (istishlah) yang dibenarkan oleh hadis riwayat Abdullah bin Mas’ud. Dalam hadis itu dijelaskan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum Muslimin, maka menurut Allah pun baik. Karena itu, dalam pendistribusian hasil wakaf, seorang nâzhir wakaf bisa merujuk pada alasan untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Kemaslahatan yang disebut oleh as-Syathibi (730-790 H) sebagai dharuriyyat (mendesak), baik untuk menjaga agama (hifzh al-dîn), nyawa (hifzh al-nafs), kebebasan berpikir (hifzh al-‘aql), reproduksi (hifzh al-nasl) dan hal-hak ekonomi (hifzh al-mâl). Menurut as-Syathibi, kemasalahatan merupakan inti syari’ah Islam, dalil universal, dan perenial hukum Islam. Bahkan, menurut al-’Iz bin ‘Abd as-Salam, seluruh hukum Islam sesungguhnya adalah untuk kemaslahatan manusia. as-Syathibi pun berpendapat juga bahwa jika terjadi perbedaan antara dalil naqli (al-Qur’an dan hadis) dengan kemaslahatan, maka keduanya harus harus dikompromikan. Lebih jauh, at-Thufi (657-716 H) dan Ibn Rusyd (1127-1198) berpendapat bahwa ketika keduanya sulit dikompromikan, maka kemaslahatan atau temuan akal harus didahulukan. Caranya menurut Ibn Rusyd, lewat proses takwil (memahami teks dari makna zahirnya menuju makna batin yang juga dikandung teks).[24]
Jadi, batasan sejauh mana hasil wakaf khairî boleh didistribusikan adalah sejauh kemaslahatan menghendakinya. Tentu saja, catatannya adalah diktum ini akan ditolak oleh kalangan yang memang teguh kaidah fikih: “Syarth al-waqif kanash as-syar’i” (syarat yang diajukan pewakaf sama dengan agama). Diktum ini juga tampaknya akan ditolak oleh mereka yang terlalu terbelenggu oleh fikih klasik dan pertengahan.
Selain argumen di atas, wakaf untuk keadilan sosial juga sejalan dengan ajaran monotheisme murni (tauhid), sebagai ajaran Islam yang paling prinsipil, karena tauhid meniscayakan adanya egaliterianisme (persamaan) dan emansipatorisme (pembebasan manusia). Dalam perspektif tauhid, seluruh orang harus tunduk kepada Allah, bukan kepada manusia. Manusia bukanlah sumber kebenaran melainkan tidak lebih dari hamba-Nya semata yang semuanya sama di mata Allah. Karena itu, tauhid melahirkan perlawanan terhadap ketidakadilan sosial. Bagi elite-elite Mekah, ajaran Nabi yang egaliter dan menjunjung tinggi keadilan sosial tersebut dianggap mengancam kekuasaan dan ekonomi yang telah mereka bangun. Mereka pun dalam hal ini tidak bisa membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Bagi mereka, Islamisasi lebih merupakan gerakan rakyat dalam menuntut haknya demi keadilan sosial. Sebab itu, mereka tidak tertarik untuk mengikuti Nabi dengan masuk Islam.[25]
Meskipun secara teoritik wakaf dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan sosial, namun cara yang dibenarkan Islam adalah bukan cara yang ditempuh sosialisme komunisme yang represif yang meniscayakan adanya dikatator proletariat yang totaliter, yaitu kediktatoran atas nama tujuan menciptakan suasana ekonomi sama rata sama rasa bagi kaum proletar (tertindas). Model ini di dunia Arab ditempuh Jamal Abd an-Nashir di Mesir pada tahun 1950-1960-an, meski tidak persis, dengan menasionalisasi seluruh harta kekayaan wakaf. Dalam mewujudkan wakaf untuk keadilan sosial, dalam perspektif Islam, harus dimbangi dengan prinsip sosial yang lebih sesuai dengan cara-cara demokratis. Cara yang dikehendaki ini mirip dengan model sosialisme revisionis Eduard Bernstein (1850-1932) dan kaum Fabianisme di Inggris (1884) yang percaya pada upaya mewujudkan keadilan sosial secara rasional dan empiris serta pembaruan yang perlahan-lahan, tanpa kekerasan yang menyertainya.[26] Dalam bahasa politik Islam, keadilan sosial yang dikehendaki adalah keadilan sosial yang diwujudkan dengan mempertimbangkan prinsip syûra (pelibatan masyarakat/publik lewat dialog/damai, bukan dengan kekerasan), ijmâ’ (konsensus, paling tidak bersama elite), amânah (akuntabilitas, tidak adanya penyelewengan jabatan), musâwah (persamaan antar manusia), ‘adalah (keadilan, termasuk di dalamnya keadilan politik [kekuasaan yang tidak terkonsentrasi]), bai’at (persetujuan perwakilan elit dan/atau rakyat), dan amar ma’ruf nahyi munkar (konsep check and balance/kontrol teradap pemerintah). Tentu saja, prinsip-prinsip di atas, juga tidak boleh bertentangan dengan prinsip penegakkan hukum.
Selain caranya yang tidak represif, yang dikehedaki Islam juga tampaknya adalah bukan persamaan absolut seperti sosialisme komunisme, yaitu masyarakat sama rata sama rasa dengan tidak mengakui kepemilikan individual dan tidak mengakui human interest untuk memperoleh keuntungan. Yang lebih dekat dengan Islam adalah konsep keadilan sosial yang digagas John Rawl, yaitu keadilan sosial yang mementingkan distribusi kekuasaan dan kekayaan yang sama, tetapi juga mentoleransi distribusi yang berbeda bagi yang berbakat.[27] Persamaan atau keadilan sosial yang diakui al-Qur’an adalah persamaan/keadilan sosial yang mengakui prinsip meritokrasi (pemberian penghargaan kepada seseorang karena prestasinya (QS. 49: 13, 16: 71, 43: 32, 39: 9, 58: 11, dan 55: 60).[28] Dalam hal ini, Islam tampaknya memandang keadilan sosial yang sempurna paling-paling hanya dapat didekati, tetapi tidak pernah tercapai secara sempurna. Hal ini karena, meskipun menekankan keadilan sosial, Islam memandang kelebihan seseorang atas yang lainnya juga merupakan sunnatullâh/realitas alam yang harus diterima(QS 16: 71, 43: 32, dan 39: 9). Selain itu, keadilan sosial yang sempurna, jika dipaksakan, seperti yang terjadi di negara-negara sosialis komunis, yang terjadi adalah ketidakadilan. Keadilan sosial bisa disebut ada, ketika apa yang dinilai oleh masyarakat pada setiap saat dan zaman sebagai tidak adil (ketidakadilan mutlak) telah terhapuskan.
Yang juga penting untuk dijelaskan juga adalah, jika wakaf menjadi bagian dari lembaga keadilan sosial, maka lembaga wakaf harus berfungsi juga sebagai civil society, yaitu masyarakat yang menjadi prisai dalam berhadapan dengan negara yang cenderung hegomonik, dan jika tidak hegomonik, mereka sebagai mitra dan berperan melengkapi kebutuhan sosial.[29] Hal ini mengingat sumber ketidakadilan sosial seringkali adalah hal-hal struktural. Karenanya, ketidakadilan sosial acapkali disebut sebagai ketidakadilan struktural. Keadilan sosial, sebagaimana dikatakan Taparelli pada abad ke-18, adalah keadilan yang pelaksanaanya tergantung pada struktur proses-proses ekonomis, politis, sosial, budaya, dan idiologi dalam masayarakat. Mengusakan keadilan sosial berarti mengubah atau membongkar seperlunya struktur-struktur ekonomis, politis, sosial, bidaya, dan idiologi yang menyebabkan segolongan orang tidak dapat memperoleh apa yang menjadi hak mereka atau tidak mendapat bagian yang wajar dari harta kekayaan atau hasil pekerjaan masyarakat sebagai keseluruhan. Jika para buruh suatu industri kasar menderita ketidakadilan, maka sebabnya tidak pertama-tama terletak pada sikap pemiliknya yang acuh tak acuh terhadap hak-hak buruhnya, tetapi pada struktur-struktur yang menguasai lalu lintas ekonomi Nasional, bahkan internasional. Jika para nelayan hidup miskin terus, maka sebabnya dalah struktur proses ekonomi perikanan yang merugikanya. Mengingat membongkar struktur yang tidak adil akan mengubah struktur atas yang ada dan mengancam kepentingan orang-orang yang berkuasa, maka keadilan sosial tidak akan terwujud tanpa usaha sendiri golongan-golongan yang menderita ketidakadilan sosial, atau orang-orang tertentu yang mewakilinya atau yang berpihak seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), pers dan juga para nazhir (pengelola) wakaf, terutama wakaf dalam bentuk organisasi atau badan hukum yang bisa berfungsi sebagai pilar/organisasi civil society.[30]
Guna melahirkan keadilan sosial lewat wakaf, maka dalam fikih, baik klasik maupun modern, nazhir wakaf dibolehkan melakukan penukaran benda wakaf seperti dijual lalu hasilnya disatukan dengan harta wakaf lainnya sebagaimana yang terjadi di Libya dan Mesir. Tindakan ini dibenarkan dalam fikih kalangan Hanabilah (Madzhab Hanbali), Hanafiah, dan sebagian Syafi’iyah. Sebagian besar Syafi’iyah dan Malikiyah memang melarang penggantian benda wakaf seperti masjid oleh benda lain dengan dijual terlebih dahulu, sekalipun masjidnya menjadi roboh. Alasannya karena larangan Nabi untuk menjualnya dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Sebagaimana diungkap oleh ad-Dimyathi dalam bukunya I’ânah at-Thâlibîn Jilid III, sebuah buku terkenal di kalangan pesantren di Indonesia, bahwa Imam Hanafi memang membolehkan menjual barang-barang wakaf yang ada di masjid yang hendak roboh lalu digunakan lagi untuk masjid. Namun, mayoritas Syafi’iyyah tidak membolehkanya, sekalipun hendak roboh. Kendati begitu, tulis ad-Dimyathi, Imam Subki dari kalangan Syafi’iyah membolehkan, selama bendanya akan tetap bertahan, ditukar dengan benda yang sama, dan digunakan untuk kemaslahatan.[31]
Namun, menurut Muhammad Amin, sesungguhnya harus dibedakan antara penjualan sebagai salah satu bentuk penukaran benda wakaf dalam bentuk masjid dengan di luar masjid. Dalam benda berbentuk masjid, kecuali Hanabilah yang membolehkannya, para ulama sepakat melarangnya. Sedangkan di luar benda wakaf masjid, para ulama di luar Hanabilah pun pada dasarnya memandang boleh, selama keadaan memang benar-benar menghendakinya. Bahkan, sebagian ulama Syafi’iyah juga ada yang membolehkan penjualan tikar masjid untuk diganti dengan tikar yang lebih baik atau untuk kemaslahatan masjid lainnya yang tahan lama.[32] Sementara itu, Hanabilah membolehkan penjualan masjid atau barang masjid jika dibutuhkan, seperti karena sudah sempit yang tidak mungkin lagi bisa dimanfatkan. Demikian juga boleh dijual, jika penduduk kampung berpindah tempat dan meninggalkan masjid yang mereka bangun, padahal di tempat pemukiman baru, mereka tidak mampu membangun masjid yang baru. Argumennya adalah perbuatan Umar bin Khattab yang telah mengganti masjid Kufah yang lama dengan masjid yang baru, dan tempatnya pun beliau pindahkan, sehingga tempat masjid yang lama menjadi pasar. Bahkan, Ibn Taimiyah justru menganjurkannya, jika dipandang lebih maslahat. Hal itu sama dengan seorang yang mewakafkan kuda pada saat peperangan. Jika perang telah usai, kuda wakaf tersebut boleh dijual dan hasilnya dibelikan harta benda wakaf lain.
Dalam hal ini, proses penggantian dinilai para fuqaha terutama Ibn Timiyah dan juga Muhammad Abu Zahrah sebagai cara mengabadikan benda wakaf, dan Ibn Taimiyah memandang prinsip “Nushûsh al-Wâqif ka Nushûsh as-Syari’i (pernyataan atau ikrar wakif seperti pernyataan syari’at) yang sering dijadikan hujjah (argumen) oleh banyak ulama, tidak dipegang teguh secara harfiah olehnya. Ia agaknya menyadari kemungkinan harta wakaf berkurang atau habis manfaatnya. Sebab itu, menurutnya yang terpenting adalah mempertahankan tujuan hakiki pensyariatan wakaf, sehingga tidak melakukan penyia-nyiaan harta wakaf. Sebab itu pula, larangan menukar atau menjual harta wakaf dari wakif boleh dikesampingkan.
Bahkan, Ibn Taimiyyah juga membenarkan mengubah persyaratan tertentu yang ditetapkan wakif karena situasi dan kondisi menghendakinya. Katanya: ”Sesungguhnya yang menjadi pokok adalah menjaga kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan. Allah telah mengutus utusan-Nya guna menyempurnakan kemaslahatan dan melenyapkan segala kerusakan.[33]
Agar lembaga wakaf bisa menjadi bagian dari gerakan merealisir keadilan sosial, maka akuntabilitas pengelolaan wakaf dalam Islam dipentingkan. Dalam sebagian buku fikih modern dijelaskan bahwa para nazhir wakaf hendaknya dalam bertransaksi, mengembangkan atau mendistribusikan harta wakaf mengikuti aturan akuntasi yang benar, dimana semua transaksi ada bukti tertulisnya. Dengan mengutip QS. 4: 283, Muhammad Abu Zahrah menilai bahwa bukti tertulis lebih meyakinkan, tidak meragukan. Ia dan juga ‘Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyub mengharuskan pelaksanaan audit (pemeriksaan keuangan) kepada para nazhir wakaf agar diketahui tingkat akuntabilitasnya. Meskipun begitu, keduanya sepakat bahwa nazhir yang dinilai akuntabel cukup diaudit secara global saja demi membuatnya lebih bersemangat dalam mengelola,[34] karena dengan begitu mereka tidak merasa dicurigai. Menurut Fauzi Kamal Ahmad –ahli manajemen dalam pespektif Islam yang pikirannya layak digunakan bagi pengembangan fikih wakaf– keharusan audit juga sejalan dengan: QS. 4: 58 yang memerintahakan ditegaknnya keadilan dan amânah; QS. 17: 13-14 yang menjelaskan bahwa Tuhan akan memeriksa semua tindakan hamban-Nya di akhirat kelak yang harus diteladani hamba-Nya sesuai dengan anjuran hadis;[35] dan QS 3: 104 yang menganjurkan amar ma’rûf dan nahyi munkar, karena audit akan menjauhkan seorang nazhir dari penyelewengan. Jika audit tidak dilaksanakan, maka sesuai QS. 5: 78-79, itu berarti kaum Muslimin melakukan tindakan sebagaimana kebiasaan orang-orang Yahudi yang enggan melakukan nahyi munkar yang dikecam Qur’an.[36]
Selait audit, agar lembaga wakaf bisa menjadi bagian dari gerakan merealisir keadilan sosial, para nazhir wakaf juga disarankan agar bersikap transparan. Meskipun dalam fikih keharusan transparansi ini tidak dibahas secara harfiah, tetapi dalam hadis Nabi riwayat Turmudzi, Ahmad, dan ad-Darimi dijelaskan bahwa dosa adalah sesuatu yang membuat hati pelakunya merasa gundah dan ketika melakukannya takut dilihat orang.[37] Jadi, berdasarkan hadis ini bisa dikatakan ciri perbuatan dosa adalah perbuatan yang takut jika dilakukan secara transparan. Sementara perbuatan baik adalah perbuatan yang salah satu cirinya tidak takut jika dilakukan secara transparan oleh pelakunya. Transparansi juga sejalan dengan logika bahwa mengingat harta wakaf adalah harta publik, maka dalam memanajnya juga harus transaparan dimana publik dilibatkan dalam pengelolaan dan pengawasan. Alasannya, karena dalam Islam keharusan melibatkan publik dalam persoalan publik diwajibkan sebagaimana perintah QS. 3: 159 atau 42: 38 yang menganjurkan dilakukanya musyawarah.
Praktik Wakaf untuk Keadilan Sosial
Dalam sejarah Islam, penggunaan ZIS dan wakaf yang menjadi sumber keuangan negara hingga masa abad ke-10-an[38] untuk mewujudkan keadilan ekonomi bisa diduga kuat terjadi khususnya pada periode Umar bin Khattab dan Abasyiah I, terutama Harun al-Rasyid. Keduanya telah menerapkan konsep welafare state dalam masa pemerintahannya. Hal ini mengingat di satu sisi ZIS dan wakaf menjadi salah satu sumber keuangan negara, walaupun bukan yang terbesar,[39] dan pada sisi lain pada masa Umar, penduduk Madinah diberi tunjangan 3000 hingga 5000 dirham, sedang penduduk Mekah 2000 hingga 12.000 dirham. Kriteria yang digunakan berdasarkan perannya untuk kemajuan Islam, periode masuk Islam, dan agaknya juga tingkat kemampuan ekonomi.[40] Bahkan, Umar bin Khattab pun melihat ZIS dan wakaf sebagai cara untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Karenanya, ia pun banyak melakukan perubahan dalam sistem zakat dan wakaf, antara lain mengenakan kewajiban zakat pada kuda[41]. Menurut Fazlurrahman, Umar ibn Khaththab, khalifah kedua (w. 644), adalah seorang khalifah pertama yang banyak mengembangkan wakaf. Ia tidak hanya membangun himâ (sebidang lahan yang disisihkan sebagai harta milik publik) untuk mengembangbiakkan kuda perang, tetapi juga menjadikan tanah yang ditinggalkan pemiliknya pada waktu penaklukan di Irak tidak dibagikan kepada prajurit sebagai harta rampasan perang, tetapi sebagai wakaf untuk masyarakat Muslim yang hasilnya dibagi-bagikan kepada seluruh masyarakat. Langkah ini berdampak langsung pada berkembangnya lembaga wakaf secara pesat dalam Islam[42].
Demikian juga dengan periode Harun al-Rasyid. Pada masanya, kehidupan seperti yang digambarkan dalam cerita Seribu Satu malam sudah memasuki masyarakat Bagdad yang saat itu berjumlah 300.000-500.000. Kekayaan yang melimpah, yang salah satu sumbernya dari ZIS dan wakaf, dipergunakan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit didirikan, pendidikan dokter dipentingkan, dan farmasi dibangun. Semuanya diberikan kepada rakyat dengan gratis.[43] Sekalipun mungkin saja bukan diambil dari sumber ZIS dan wakaf meskipun keduanya merupakan salah sumber pendapatan negara, tetapi yang pasti lembaga-lembaga ini disokong dan dibiayai sepenuhnya oleh negara. Ini merupakan religious endowment dari penguasa.
Hal yang sama yang dilakukan para penguasa setelahnya. Madrasah Nizhamiyah yang didirikan pada abad ke-10 dan 11 dan juga madrasah lainnya seperti al-Azhar di Mesir dan Qarawiyyin di Maroko sebagaimana telah disebutkan di atas mrupakan religious endowment dari penguasa. Demikian juga dengan penguasa pasca Fathimiyah seperti Nurudin as-Syahid dan Salahuddin al-Ayyubi dimana keduanya telah mewakafkan tanah negara kepada yayasan keagamaan dan sosial dan memberikan uang hasil bea cukai yang dikenakan kepada para pedagang kaum Kristiani untuk para fuqaha dan keturunannya. Lebih mantap lagi yang dilakukan para penguasa Turki Usmani sehingga di seluruh wilayah Kekaisaran Turki Usmani, lahan wakafnya adalah tiga perempat dari keseluruhan lahan yang dapat ditanami. Selain itu, Pemerintah Turki Usmani pun menunjukan religious endowment-nya antara lain dalam bentuk scholarly endowment. Pemerintah Turki Usmani menyisihkan jumlah tertentu dari anggaran belanjanya untuk kepentingan beasiswa bagi para penuntut ilmu di kota-kota pusat keilmuan, seperti Kairo, Mekah, dan Madinah.[44]
Dua kerajaan yang berdiri semasanya pun melakukan kebijakan yang mendukung berkembangnya wakaf. Kerajaan Mughal memberi dukungan kepada thariqat (organisasi sufi), bukan saja dukungan politik dengan memberikan keleluasaan untuk berkembang bagi tarekat karena antara lain tarekat dapat membantu kebijakan politik toleransi universal, seperti Thariqat Chistiyah yang mentolelir beberapa bentuk sintesa Hinduisme dan Islam. Akan tetapi, juga dukungan dukungan ekonomi, dimana Pemerintah Mughal telah menyediakan sejumlah subsidi kepada ulama, termasuk syeikh tarikat dan mewakafkan sejumlah tanah untuk menambah pendapatan tempat-tempat keramat, makam, dan madrasah[45]. Akibatnya, di Delhi misalnya, menurut catatan al-Qalqasyandi (w. 1418) terdapat lebih darti 700 rumah sakit dan 2000 padepokan sufi (ribâth atau khân) yang semuanya didanai oleh harta wakaf..
Sebab itulah, Fazlur Rahman berkesimpulan bahwa pelayanan kesehatan yang diperuntukan bagi semua pasien dengan tidak melihat keyakian, ras, dan kelaminnya, pelayanan sukarela lainnya semisal tempat peristirahatan, padepokan sufi, masjid, dan lembaga pendidikan, didirikan dan dibiayai dari wakaf, hasil wakaf, dan sumbangan lain. W. Heffening dalam Encyclopedia of Islam yang dikutip Rahman juga mengatakan hal serupa. Baginya, sistem wakaf di Timur sangat berperan dalam memberantas kemiskinan, memajukan pendidikan, dan memajukan kesehatan.[46]
Kecuali itu, lembaga wakaf pun, khususnya ribâth atau pedepokan sufi telah berperan sebagai lembaga civil society yang menjadi kekuatan pengimbang dinasti-dinasti Islam. Di Kerajaan Turki Usmani, para pemimpin sufi sering berpartisispasi aktif di hampir semua pemberontakan. Karena itu, para sufi yang juga pimpinan tarekat yang populer di mata rakyat didekati oleh para penguasa untuk mendapatkan dukunganya, tetapi juga diawasi karena potensi kekuatan mereka yang besar. Sebab itulah, pada waktu Mahmud II melakukan modernaisasi, yang pertama dilakukannya adalah pmbubaran Tarekat Bektasyi, tarekat yang banyak dianut anggota Yenisseri, dan pengambilalihan auqaf (perwakafan) yang sebelumnya dikuasai secara penuh oleh para ulama yang membuatnya secara keuangan independen.[47]
Lembaga wakaf kaitannya dengan posisinya sebagai pilar civil society, paling tidak potensinya sesungguhnya sangat kuat, juga terdapat dalam praktik sejarah di Indonesia, meskipun hal ini belum terrealisir. Data sejarah masjid pada masa Kolonial Hindia Belanda menunjukkan hal itu. Sebagai lembaga wakaf di Indonesia, masjid secara efektif telah melakukan penggalangan dana. Misalnya, kas masjid Pekalongan tidak hanya diperoleh dari biaya pernikahan, perceraian, tapi juga dari zakat, wakaf, dan sedekah. Pada tahun 1926, dana kas masjid tersebut yang disimpan di bank telah mencapai f.26.000. Besarnya dana yang terkumpul mengundang kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda. Karenanya, atas usulan Snouck Hugronje, pihak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur penggunaan dana kas masjid. Salah satu isi kebijakan tersebut adalah saldo masjid tidak boleh melebihi keperluan. Kebijakan pembatasan tersebut dilatari oleh kekhawatirannya, jika dana kas dapat berakibat pada meningkatnya intensitas kegiatan dan perlawanan keagamaan terhadap pemerintah.[48]
Hingga saat ini, hasil wakaf di Mesir dalam batas-batas tertentu masih didistribusikan untuk keadilan sosial, meski sangat belum maksimal, sebagaimana teori di atas. Hasil wakaf di Mesir diberikan untuk bidang:
(1) dakwah Islam; antara lain untuk para khatib, takmir mesjid, pemeliharaannnya, para penghafal Alqur’an, dan penerjemahan al-Qur’an.
(2) bidang pendidikan dan pelatihan; antara lain untuk lembaga pendidikan yatim piatu dan beasiswa bagi sebagian mahassiwa al-Azhar pengkaji Islam, baik dari dalam mupun luar negeri. Jumlahnya sebanyak 700 orang kali 4 angkatan. Setiap orangnya memperoleh 160 Found Mesir (sekitar Rp. 240.000).
(3) Bidang penyebaran kebudayaan Islam seperti penerbitan buletin Islam, pencetakan buku-buku dan ensiklopedi Islam, penelitian filologis naskah kuno Islam, dan penyelenggaraan pameran kebudayaan Islam.
(4) Bidang sosial, seperti bantuan eknomi bagi yang tidak mampu dan bantuan kesehatan.[49]
Berdasarkan data di atas, bisa dikatakan, hasil wakaf di Mesir dalam batas-batas kecil didistribusikan untuk keadilan sosial, paling tidak dalam arti kepentingan publik. Misalnya untuk bantuan kesehatan, mewujudkan keadilan pendidikan dan akses terhadap informasi terbaru lewat penelitian, walaupun penelitian pustaka. Hal ini dimungkinkan karena pengembangan harta wakaf di Mesir yang dilakukan Hai’ah al-Auqaf lewat invetasi di bidang pertanian, peternakan, dan dengan bekerjasama dengan perusahaan di bidang industri seperti gula, permadani, kimia, besi, susu, makanan, kertas, tenun, dan bidang konstruksi rumah serta gedung.
Namun, pendistribusian wakaf di Mesir belum mengarah betul pada upaya mencari dan menyelesaikan akar masalah ketidakadilan sosial, merespon kepentingan jangka panjang, dam mempromosikan transformasi sosial. Pendistribusian hasil wakaf di Mesir belum diarahkan pada semisal keadilan politik dan lingkungan hidup. Agaknya, hal ini terkait dengan prinsip bahwa syarat atau peruntukan yang ditentukan wakif adalah teks agama yang masih dipegang teguh oleh Kementerian Wakaf, walaupun tidak harfiah betul, dan terkait dengan realitas wakaf di Mesir yang didominasi negara, dimana wakaf sebagai organisasi civil society tidak ada sama sekali.
Hal yang sama terjadi di Turki saat ini. Pengembangan harta wakaf di Turki dilakukan lewat investasi di bidang industri minyak, hotel, bank, tekstil, dan konstruksi. Karena itu, di Turki, hasil wakaf bukan saja digunakan untuk masjid dan pendidikan seperti untuk asrama mahasiswa, melainkan juga layanan kesehatan. Rumah sakit yang dipersembahkan oleh Ibunda Sultan Abdul Mecit sejak 1843 kini masih berdiri megah dan merupakan salah satu rumah sakit modern di Istanbul. Di luar hal yang telah dijelaskan, pendistribusian wakaf di Turki belum dilakukan.[50]
Namun, praktik wakaf di Indonesia, harus diakui masih jauh, ketimbang dua negara Muslim di atas, apalagi untuk idealitas keadilan sosial yang telah dijelaskan dalam teori di atas. Berdasarkan hasil riset Imam Suhadi, 68 % atau mayoritas tanah wakaf di Indonesia pada tahun 1989 diperuntukan untuk kepentingan ibadah. Yaitu untuk masjid 30,94 % dan untuk mushalla 37, 15 %. Sedangkan sisanya terbagi ke dalam tiga bagian: 8,51 % untuk pendidikan, 8,40 % untuk kuburan, dan 14,60 % untuk lain-lian. Lebih parah lagi di tempat yang ditelitinya, Bantul, Yogyakarta. Tanah wakaf untuk tempat ibadah berjumlah 97 % sedangkan sisanya, 3 %, digunakan untuk kepentingan lain. Hal ini terjadi karena ikrar wakaf yang dilakukan wakif untuk tempat ibadah. Jika ikrar wakaf yang dilakukan wakif dari awal untuk kepentingan umum, seperti yang dilakukan oleh Dr. Djojodarmo yang mewakafkan tanah seluas 4.218 m2, tentu dalam praktinya, tanah wakafnya pun digunakan untuk kepentingan umum seperti pendidikan dan kesehatan. Salah satu faktor yang mengakibatkan pengikraran wakaf untuk ibadah, selain faktor kepemilikan tanah yang umumnya sempit dan faktor rendahnya ekonomi, adalah faktor faham keagamaan tradisional yang turun temurun, bahwa wakaf dilakukan untuk pemenuhan sarana ibadah. Jika wakaf untuk kepentingan umum, dianggap menyimpang.[51] Artinya, baik wakif atau calon wakif sebagai stakeholder maupun nazhir sebagai manajer melihat wakaf dengan visi yang tidak dikaitkan dengan keadilan sosial.
Realitas yang sama terjadi dalam dunia usaha sebagai calon wakif badan hukum, karena menurut penelitian PIRAC, sumbangan yang diberikan 226 perusahaan yang ditelitinya belum berdimensi filantropi, yakni sumbangan yang ditujukan untuk investasi sosial atau kemandirian masyarakat seperti pendidikan, peningkatan peluang ekonomi bagi mereka yang kalah dalam persaingan, atau peningkatan kapasitas organisasi masyarakat dalam upaya mengatasi krisis. Hal ini karena sumbangan yang dilakukan mayoritas perusahaan (62 %) bersifat insidental, sangat sedikitnya perusahaan yang mempunyai kebijakan sumbangan (18 %) dan 70 %-nya tidak pernah melakukan evaluasi terhadap sumbanganya. Bahkan, temuan penelitian itu pun menyebut bahwa sebagian besar pelaku dunia usaha terkesan masih memegang prinsip bahwa aktifitas yang mereka lakukan terutama untuk bisnis (business of the business is business). Akibatnya, tanggungjawab sosial yang harus diemban dunia usaha belum cukup populer di kalangan mereka. Bahkan, ada 26 % perusahaan yang mengaku sumbangan sosialnya diambil dari dana promosi.[52] Dalam hal ini, ada dua hal yang harus dilihat. Pertama, perusahan yang melakukan wakaf berarti sangat sedikit, dan kedua, akan lebih menjadi masalah lagi jika perusahaan dikaitkan dengan perspektif wakaf untuk keadilan sosial, karena perspektifnya yang tidak filantropik itu.
Hasil riset yang tidak jauh beda yang dilakukan penulis bersama kawan-kawan di CSRC (Center for the Study of Religion and Culturte) UIN Jakarta pada tahun 2004-2005-an. Riset ini menunjukkan bahwa pengelola (nâzhir) wakaf, mayoritas bersifat perseorangan (66 persen), sedangkan pengelola yang berbadan hukum berjumlah 18 persen dan organisasi 16 persen. Selain itu, dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa jenis wakaf yang paling sering dilakukan kaum Muslimin di Indonesia adalah wakaf tanah dan bangunan. Sementara asset wakaf bergerak berupa kendaraan dimiliki hanya oleh 2 persen lembaga wakaf dan surat berharga dimiliki 1 persennya saja. Mayoritas penggunaan wakaf pun diperuntukkan bagi masjid atau mushalla (79%, selebihnya tidak) dan lembaga pendidikan (55%, selebihnya tidak), dan peruntukan wakaf untuk pekuburan 9%. Sedangkan wakaf untuk sarana umum hanya 3% dan untuk sarana kesehatan serta olahraga hanya 1% saja. Hampir seluruh lembaga wakaf tidak untuk hal itu. Hasil riset ini juga mengungkapkan bahwa sekitar 90-98% lembaga wakaf juga tidak mendistribusikan hasil wakafnya untuk kepentingan membantu masyarakat miskin hidup lebih baik, meningktakan penyadaran hak masyarakat, pengawasan kebijakan Pemerintah, meningkatkan akses terhadap Sumber Daya Alam (SDA), meningkatkan peluang kepemimpinan masyarakat, dan memperjuangkan peraturan yang adil.[53]
Berdasarkan penjelasan di atas, secara umum, aktivitas wakaf sebagai bentuk kedermawanan (filantropi) Islam di Indonesia dapat diasumsikan baru berorientasi pada tujuan-tujuan karitatif (relief). Misalnya digunakan untuk kepentingan ibadah, sebagaiman telah dijelaskan. Aktivitas tersebut belum mengarah pada tujuan-tujuan filantropik (kedermawanan) dalam pengertian Barat. Belakangan ini, beberapa Lembaga Pengelola Zakat (selanjutnya disebut LPZ) yang jumlahnya masih sangat sedikit, seperti Yayasan Dompet Dhu’afa (YDD) yang juga menerima wakaf memang telah memanfaatkan dana ZIS dan wakafnya untuk tujuan-tujuan keadilan ekonomi, kesehatan (layanan kesehatan Cuma-Cuma [LKC]), dan layanan pendidikan lewat beasiswa dan penyelengaraan pendidikan gratis, tetapi belum mengarah pada keadilan politik seperti pemberdayaan partisipasi politik dan investasi sosial lainnya.
Ketidakmampuan lembaga wakaf dan juga lembaga ZIS secara umum dalam memobilisasi dan mendistribusikan dana ZIS dan wakafnya untuk tujuan keadilan sosial itu disebabkan oleh berbagai kendala. Selain dogmatisme fikih tradisional, lemahanya tingkat ekonomi, dan bentuk aset wakaf yang tidak produktif, juga kebijakan struktural negara yang tidak adil, khususnya bagi pengembangan kemandirian ekonomi masyarakat miskin, dan lemahnya manajemen, terutama aspek penggalangan dana dan transparansi/akuntabilitas. Artinya manajemen nazhir yang tidak profesional merupakan penghambat bagi terwujudnya wakaf untuk keadilan sosial,[54] karena umumnya para nazhir wakaf, tidak memiliki keahlian dan keterampilan yang tinggi serta komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya. Atau dalam bahasa lain, nazhir yang ada umumnya tidak memiliki konsep dan kemampuan manajemen modern yang baik, paling tidak berdasarkan ukuran: visi organisasi, kelembagaaanya yang memiliki sarana terutama modal yang memadai, langkah-langkah manajemen dari mulai perencanaan hingga pengawasan yang efisien dan efektif, dan menerapkan reward and funishment.[55]
Soal dogmatisme fikih tradisional, mislanya dalam riset CSRC di atas dijelaskan bahwa sebanyak 70% Muslim tidak setuju perubahan peruntukan harta wakaf, 53% tidak setuju penukaran harta wakaf, 48% tidak setuju wakaf uang, dan 64% Muslim tidak setuju hasil wakaf untuk santuni non Muslim.[56]
Sementara itu, secara akademik, wacana filantropi Islam di Indonesia juga tertinggal dibandingkan dengan negara lain, seperti Mesir dan Turki yang mengembangkan sejak dulu. Menurut Azyumardi Azra, kajian dan penelitian mengenai bidang filantropi Islam di Indonesia masih terlantar. Bidang ini baru digarap oleh sedikit scholars. Antara lain Rahmat Djatnika, Uswatun Hasanah dan Imam Suhadi. Itu pun, catatannya adalah bahwa diskursus yang dikembangkan mereka belum banyak mengeksplorasi dimensi filantropi dalam pengertian keadilan sosial. Sejauh ini, kajian tersebut baru terbatas pada filantropi Islam untuk kesejahteraan sosial tertentu saja. Lebih dari itu, persoalan keadilan sosial sendiri baru menjadi perhatian sarjana Muslim sejak periode modern saja.
Karena itu, filantropi Islam khususnya wakaf untuk keadilan sosial di Indonesia bisa disebut sebagai sebuah wacana yang relatif baru yang memerlukan pewacanaan, diseminasi, dan upaya pengaplikasiannya. Dalam tahap awal, paling tidak mendesak dilakukan upaya penyadaran seperti sosialisasi, pewacanaan, dan diseminasi wakaf untuk keadilan sosial kepada perusahaan, stakeholder lainnya (calon wakif perorangan) dan tentu saja juga bagi nazhir (pengelola). Selain upaya penyadaran, yang juga perlu dilakukan adalah pemberdayaan atau pembinaan lembaga wakaf seperti bantuan teknis lewat pelatihan manajemen wakaf untuk keadilan sosial kepada para nazhir, bantuan finansial, dan lainnya. []
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Ian, Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depanya, Terjemahan dari Political Ideology Today, Yogyakarta: Qalam, 2004.
Ad-Dimyathi, I’ânah at-Thâlibin, Jilid III, Bandung: al-Ma’arif, Tth.,
Adham, Fauzi Kamal, al-Idârah a-Islâmiyyah, Dirâsah Muqâranah Baina an-Nizhâm al-Islâmiyyah wa al-Wadh’iyyah al-Hadîtsah, Beirut: Dar an-Nafa’is, 2001.
Ahmad, Abu Bakar bin ‘Umar as-Syaibani, Kitâb Ahkâm al-Auqâf, Kairo: Maktabah as-Tsaqafah ad-Diniyyah, Tth.
Al-Faruqi , Ismail Raj’i dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Menjelajah Peradaban Gemilang, Bandung: Mizan, 1998.
Al-‘Asqalani, Ibn Hajar, Bulûgh al-Marâm, Bandung: al-Ma’arif, Tth.
Al-Malibari, Syaikh Zainuddin Abd Al-Aziz, Fath al-Mu’în bi Syarh Qurrah al-‘Ain, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tth.
Ali, Fachry, Islam Keprihatinan Universal dan Politik Indonesia, Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1984.
Ali, Mukti, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern, Jakarta: Djambatan, h. 1994.
Al-jalil ‘Abd ‘asyub ar-rahman ‘Abd Kitâb al-Waqf, Kairo: al-Afaq al-Arabiyyah, 2000.
Al-Mughni, Syafiq, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Jakarta: Logos, 1997.
Al-Nawawi, al-Raudhah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth., Jilid IV.
Al-Qardhawi , Yusuf, , Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami, Kairo: Maktabah Wahbah, 2001,
Al-Walid Abu Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl fimâ Baina al- Hikmah wa as-Syarî’ah min al-Ittishâl, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1999.
Al-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwâfaqât fî ushûl al-Syarî‘ah, Beirut, Dâr al-Hadîts al-Kutub al-‘Ilmiyyah, vol. I, bagian 2.
as-Sa’ad Ahmad Muhammad dan al-’Umri, Muhammad Ali, Al-Ittijâhât Al-Mu’âshirah Fi Tathwîr Al-Istitsmâr Al-Waqfi, Kuwait: Al-Amanah Al’amah Li Al-Auqaf, 2000.
Azra, Azyumardi, “Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society”, dalam Idris Thaha (Ed), Berderma Untuk Semua, Wacana dan Praktik Filantropi Islam, Jakarta: PBB UIN Jakarta dan Ford Foundation, h. xxiv, dan Fazlur Rahman, Etika Pengobatan Islam.
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1995.
Burhanuddin (Ed.), Syari’at Islam, Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL dan The Asia Foundation, 2003, h. 19-51 dan Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi, Telaah Konseptual dan Historis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Departemen Agama RI, UU Wakaf No. 41 2004, Jakarta: Depag RI, 2004.
Dirjen Bimas Islam dan Haji Depag RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Haji Depag RI, 2003.
Drucker, Peter F, “Tugas Seorang Manajer”, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 6, Vol. II, 1990/1411, Jakarta: LSAF, 1990
Echols, John M. dan Shadily, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1995, cet. XXI, The Oxpord English Dictionary Vol VII, Oxpord: The Clerendum Press, tth.,
Fauzia, Amelia dan Hermawan, Ary, “Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi dalam Sejarah Islam Indoensia” dalam Idris Thaha (Ed.), Berderma untuk Semua, Wacana dan Praktik Filantropi Islam, Jakarta: Ford Foundation, PBB UIN Jakarta dan Teraju, 2003.
Irmansyah, Mamat R., Ilmu administrasi dan Manajemen, Jakarta: Armico 1986, Bukhari Zainun, TTh., Organisasi dan Manajemen, TTp: Balai AksaraIrmansyah, 1986.
Ibrahim, Anwar, “Wakaf dalam Syari’at Islam”, Makalah Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Ummat melalui Pengelalolaan Wakaf Produktif, Batam: Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002.
Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag RI, Fiqh Wakaf, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag RI, 2003.
Hitti K, Philp, Dunia Arab, Sejarah Ringkas, Terjemahan oleh Usuludin Hutagulung dan ODP Sihombing dari The Arab, A Short History, Bandung: Sumur Bandung , tth.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I, Terjemahan oleh Robert MZL dari Sosiological Theory Clasical Founder and Contemporery Perspectives (1981), Jakarta: Gramedia, 1994.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
Kamil, Sukron, Islam dan Demokrasi, Telaah Konseptual dan Historis, Jakarta Gaya Media Pratama, 2002.
Lapidus M, Ira, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian Kesatu dan Dua, Terjemahan Gufran A. Masadi, Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Kuper, Adam dan Kuper, Jessica, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta Rajawali Pers, 2000.
Madjid, Nurcholish, “Nilai Identitas Kader” dalam Pedoman LK I, Ciputat: HMI Ciputat, 1993
Mannan, Abdul dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pres, 2002, h. 395 “Buku III Kompilasi Hukum Islam Indonesia”,dalam Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.
Mannan, M. Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terjemahan dari Islamic Economics, Theory and Practice oleh M. Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,1997.
Nadjib, Tuti A. dan Al-Makassary, Ridwan (Ed), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanuisaan, Jakarta: CSRC UIN Jakarta dan The Ford Foundation, 2006.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta; Bulan Bintang, 1996.
Nasution E, Musthafa, “Wakaf Tunai: Strategi untuk Mensejahterahkan dan Melepasakan Ketergantungan Ekonomi”, Makalah Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Ummat melalui Pengelalolaan Wakaf Produktif, Batam: Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002
Prasetyo, Hendro, Munhanif, Ali, dkk., Islam dan Civil Society Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta: Gramedia dan PPIM.
Qardhawi, Yûsuf, Hukum Zakat, Studi Komparatif mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis, terjemahan Harun, Salman, dkk., dari Fiqh al-Zakâh, Jakarta/Bandung: Litera Antar Nusa dan Mizan, 1996, cet. IV.
Rachman, Budhy Munawar, “Relevansi Filantropi Islam dengan Keadilan Sosial: Tinjauan Teologis”, Makalah Workshop Islamic Philanthropy for Social Justice; Prospect and Constraints, 27-29 Juni 2002, Puncak Bogor: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta
Saidi, Zaim dkk., Sumbangan Sosial Perusahaan, Jakarta: Ford Foundation dan PIRAC, 2003.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan, 1996, h. 110-117 dan Majid Fachry, Etika dalam Islam, Terjemahan oleh Zakiyuddin Baidhawi dari Ethical Theories in Islam, Yogyakarata: Pustaka Pelajar, 1996.
Sâbiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, jilid III, Kairo: Dâr al-Tsaqafah al-Islâmiyyah, 1365 H.
Shaw J, Stanford & Shaw, Ezel Kural, History of The Ottoman Empire and modern Turkey. Vol. II. Cambridge University Press 1977.
Sulaiman, Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995.
Amin, Muhammad, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fiqh, Jakarta: INIS, 1991.
Suhadi, Imam, Wakaf untuk Kesejahteraan Ummat, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002.
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali, Masalahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuian Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, Ttp.
Suseno Magis, Franz, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1987.
Syaikh Zainuddin Abd Al-Aziz Al-Malibari, Fath al-Mu’în bi Syarh Qurrah al-‘Ain, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, Tth.
Syaban, MA., Sejarah Islam 600-750 (Penafsiran Baru), Terjemahan oleh Machmun Husein dari Islamic History, AD 600-750, A New History, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.
Syeikh Burhanuddin Ibrahim al-Hanafi, Kitâb al-As’ âf Fî Ahkâm al-Auqâf, Kairo: Hindiyah, 1902.
Syalabi, Ahmad, al-Târîkh al-Islâmi wa al-Hadhârah al-Islâmiyyah, Kairo: Maktabah Al-Nahdhah, tth.
’Um,ar , Muhammad ’Abd al-Halim, ”Tajribah Idarah al-Auqaf fi Jumhuriyyah Mishr al-’Arabiyyah, dalam Muhammad ’Abd al-Halim ’Umar (Ed.), Buhuts wa Dirasat: Silsalah Buhuts al-Auqaf, Kairo: Markaz
Watt, Montgomery, Keagungan Islam, Terjemahan oleh Hartono Hadikusumo dari The Majesty That Was Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Zahrah, Muhammad Abu, Muhâdarât Fî al-Waqf, Kairo: Dar al-Fikr, 2004.
Aileen Shaw, “Social Justice Philantropy, an Overview” dalam http://www.synergos.org./globalphilantropy, 19-01-2005 dan “Charity and Justice” dalam http://www.osjspm.org/charjust.htm, 2-2-2005
Kompas, 19 Agustus 2006 dan Kompas, 11 Desember 2006
“PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik”.
* Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[1] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, h. 8
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan, 1996, h. 110-117 dan Majid Fachry, Etika dalam Islam, Terjemahan oleh Zakiyuddin Baidhawi dari Ethical Theories in Islam, Yogyakarata: Pustaka Pelajar, 1996, h. 5-9
[3] Ismail Raj’i Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Menjelajah Peradaban Gemilang, Bandung: Mizan, 1998, h. 181
[4] Lihat Burhanuddin (Ed.), Syari’at Islam, Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL dan The Asia Foundation, 2003, h. 19-51 dan Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi, Telaah Konseptual dan Historis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, h. 171-187
[5] Kompas, 19 Agustus 2006 dan Kompas, 11 Desember 2006
[6] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1995, cet. XXI, h. 427, The Oxpord English Dictionary Vol VII, Oxpord: The Clerendum Press, tth., h. 774 dan Budhy Munawar-Rachman, “Relevansi Filantropi Islam dengan Keadilan Sosial: Tinjauan Teologis”, Makalah Workshop Islamic Philanthropy for Social Justice; Prospect and Constraints, 27-29 Juni 2002, Puncak Bogor: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta
[7] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 316, 509
[8]Aileen Shaw, “Social Justice Philantropy, an Overview” dalam http://www.synergos.org./globalphilantropy, 19-01-2005 dan “Charity and Justice” dalam http://www.osjspm.org/charjust.htm, 2-2-2005
[9] Zaim Saidi dkk., Sumbangan Sosial Perusahaan, Jakarta: Ford Foundation dan PIRAC, 2003, h. 3-5
[10] Ismail Raj’i Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Menjelajah Peradaban Gemilang, Bandung: Mizan, 1998, h. 179-181 dan Abdul Manan, Teori dan Praktek Ejkonomi Islam, Terjemahan dari Islamic Economics, Theory and Practice oleh M. Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,1997. h 232
[11] Nurcholish Madjid, “Nilai Identitas Kader” dalam Pedoman LK I, Ciputat: HMI Ciputat, 1993
[12] Ismail Raj’i Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, h. 179-181
[13] Departemen Agama RI, UU Wakaf No. 41 2004, Jakarta: Depag RI, 2004, h. 3, 5
[14] “PP No. 28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik”, dalam H. Abdul Mannan dan M Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pres, 2002, h. 395 “Buku III Kompilasi Hukum Islam Indonesia”, dalam Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992 h. 166.
[15] Departemen Agama RI, UU Wakaf. h. 14
[16] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, h. 130
[17] Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III, Kairo: Dâr al-Tsaqafah al-Islâmiyyah, 1365 H. h. 259-261 dan Ibn Hajar al-‘Asqalani, Bulûgh al-Marâm, Bandung: al-Ma’arif, Tth., h. 191
[18] Syaikh Zainuddin Abd Al-Aziz Al-Malibari, Fath al-Mu’în bi Syarh Qurrah al-‘Ain, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, Tth. h. 53.
[19] Hal ini karena kitab suci, buku-buku, dan media informasi cukup efektif, jika digunakan untuk kepentingan dakwah.
[20] an-Nawawi, al-Raudhah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth., Jilid IV, h.381 sebagaimana dikutip Anwar Ibrahim, “Wakaf dalam Syari’at Islam”, Makalah Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Ummat melalui Pengelalolaan Wakaf Produktif, Batam: Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002, h. 16-17, Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag RI, Fiqh Wakaf, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Depag RI, 2003, 47-48, dan Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 263
[21] Sayyid Sâbiq, Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, jilid III, Kairo: Dâr al-Tsaqafah al-Islâmiyyah, 1365 H. h. 293 dan Yûsuf Qardhawi, Hukum Zakat, Studi Komparatif mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur’an dan Hadis, terjemahan Salman Harun, dkk., dari Fiqh al-Zakâh, Jakarta/Bandung: Litera Antar Nusa dan Mizan, 1996, cet. IV h. 684-688.
[22] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Terjemahan dari Islamic Economics, Theory and Practice oleh M. Nastangin, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,1997, h. 231
[23] Abu Bakar Ahmad bin ‘Umar as-Syaibani, Kitâb Ahkâm al-Auqâf, Kairo: Maktabah as-Tsaqafah ad-Diniyyah, Tth., h.294-295, ‘Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyub, Kitâb al-Waqf, Kairo: al-Afaq al-Arabiyyah, 2000, h. 31, dan Syeikh Burhanuddin Ibrahim al-Hanafi, Kitâb al-As’ âf Fî Ahkâm al-Auqâf, Kairo: Hindiyah, 1902, h. 122, dan Ahmad Muhammad as-Sa’ad dan Muhammad Ali al-’Umri, Al-Ittijâhât Al-Mu’âshirah Fi Tathwîr Al-Istitsmâr Al-Waqfi, Kuwait: Al-Amanah Al’amah Li Al-Auqaf, 2000 h. 9-17
[24] Abu Ishaq Al-Syatibi, al-Muwâfaqât fî ushûl al-Syarî‘ah, Beirut, Dâr al-Hadîts al-Kutub al-‘Ilmiyyah, vol. I, bagian 2, h. 7-8, 28-29, Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali, Masalahah Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuian Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 83-93. Ahmad Muhammad as-Sa’ad dan Muhammad ‘Ali al-‘Umri, Al-Ittijâhât Al-Mu’âshirah, h. 30, dan Abu al-Walid Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl fimâ Baina al- Hikmah wa as-Syarî’ah min al-Ittishâl, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1999, h. 31-32
[25] Montgomery Watt, Keagungan Islam, Terjemahan oleh Hartono Hadikusumo dari The Majesty That Was Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990, h. 4, Fachry Ali, Islam Keprihatinan Universal dan Politik Indonesia, Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1984, h. 34, Ahmad Syalabi, al-Târîkh al-Islâmi wa al-Hadhârah al-Islâmiyyah, Kairo: Maktabah Al-Nahdhah, tth. h. 29-30, dan Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi, Telaah Konseptual dan Historis, Jakarta Gaya Media Pratama, 2002, h. 87
[26] Ian Adam, Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depanya, Terjemahan dari Political Ideology Today, Yogyakarta: Qalam, 2004, h. 190-192
[27] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern I, Terjemahan oleh Robert MZL dari Sosiological Theory Clasical Founder and Contemporery Perspectives (1981), Jakarta: Gramedia, 1994, h. 154-161, Ian Adam, Ideologi Politik Mutakhir,Adam, 2004, h. 68, 190-199, dan Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1995, h. 83
[28] Yusuf al-Qardhawi, Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami, Kairo: Maktabah Wahbah, 2001, h 353-355, 367-369, 378
[29] Hendro Parasetyo, Ali Munhanif, dkk., Islam dan Civil Society Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta: Gramedia dan PPIM, h. 8-9 dan lihat juga Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta Rajawali Pers, 2000, h. 113-115
[30] Franz Magis-Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1987, h. 331-340, Nurcholish Madjid, “Nilai Identitas Kader” dalam Pedoman LK I, Ciputat: HMI Ciputat, 1993, h. 53, dan Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, h 127
[31] ‘Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyub, Kitâb al-Waqf, h. 19-20, Muhammad Abu Zahrah, Muhâdarât Fî al-Waqf, Kairo: Dar al-Fikr, 2004, h. 159-163, Dirjen Bimas Islam dan Haji Depag RI, Pedoman. h. 77, dan ad-Dimyathi, I’ânah at-Thâlibin, Jilid III, Bandung: al-Ma’arif, Tth., h. 179
[32] Syaikh Zainuddin Abd Al-Aziz Al-Malibari, Fath al-Mu’în bi Syarh Qurrah al-‘Ain, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tth. h. 90 dan Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995, h. 344
[33] Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Bidang Fiqh, Jakarta: INIS, 1991, h. 122-125, Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, h. 344-345, dan Hasan ‘Abdullah al-Amin (Ed), “Pengantar“, h. 123-124, lihat juga ‘Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyub, Kitâb al-Waqf, h. 54
[34] Muhammad Abu Zahrah, Muhâdarât Fî al-Waqf, h. 346-356 dan ‘Abd al-Jalil ‘Abd ar-Rahman ‘Asyub, Kitâb al-Waqf, h.77-81
[35] Yaitu Hadis: “Berakhlaklah kamu sebagaimana akhlah Allah”.
[36] Fauzi Kamal Adham, al-Idârah a-Islâmiyyah, Dirâsah Muqâranah Baina an-Nizhâm al-Islâmiyyah wa al-Wadh’iyyah al-Hadîtsah, Beirut: Dar an-Nafa’is, 2001, h. 311-312
[37] CD ROM Hadis
[38] Ismail Raj’i Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, h. 179-181
[39] Pendapatan terbesar diperoleh dari hasil tanah rampasan perang yang diitinggalkan pemiliknya kemudian dibagikan kepada para petani (hasil land reform).
[40] Syaban, MA., Sejarah Islam 600-750 (Penafsiran Baru), Terjemahan oleh Machmun Husein dari Islamic History, AD 600-750, A New History, Jakarta: Rajawali Pers, 1993, h. 55-85
[41] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ejkonomi Islam, h. 243, 264
[42] Fazlur Rahman, Etika Pengobatan Islam, h. 93
[43] Philp K. Hitti, Dunia Arab, Sejarah Ringkas, Terjemahan oleh Usuludin Hutagulung dan ODP Sihombing dari The Arab, A Short History, Bandung: Sumur Bandung , tth, h. 117, 139, 144
[44] Dirjen Bimas Islam dan Haji Depag RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Haji Depag RI, 2003, h. 12-13, Azyumardi Azra, “Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society”, dalam Idris Thaha (Ed), Berderma Untuk Semua, Wacana dan Praktik Filantropi Islam, Jakarta: PBB UIN Jakarta dan Ford Foundation, h. xxiv, dan Fazlur Rahman, Etika Pengobatan Islam, h. 94.
[45] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian Kesatu dan Dua, Terjemahan Gufran A. Masadi, Jakarta: Rajawali Pers, 2000, h 694-710
[46] Fazlurr Rahman, Etika Pengobatan Islam, h. 94, 92, 101
[47] Stanford J Shaw & Ezel Kural Shaw, History of The Ottoman Empire and modern Turkey. Vol. II. Cambridge University Press 1977, h 59 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta; Bulan Bintang, 1996, h. 90-91, 93, Syafiq A Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Jakarta: Logos, 1997, h. 123 dan Mukti Ali, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern, Jakarta: Djambatan, h. 1994, 37-38
[48] Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, “Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi dalam Sejarah Islam Indoensia” dalam Idris Thaha (Ed.), Berderma untuk Semua, Wacana dan Praktik Filantropi Islam, Jakarta: Ford Foundation, PBB UIN Jakarta dan Teraju, 2003, hh. 169-171.
[49] Muhammad ’Abd al-Halim ’Um,ar, ”Tajribah Idarah al-Auqaf fi Jumhuriyyah Mishr al-’Arabiyyah, dalam Muhammad ’Abd al-Halim ’Umar (Ed.), Buhuts wa Dirasat: Silsalah Buhuts al-Auqaf, Kairo: Markaz Shalih Kamil, Tth. dan Hasil Wawancara dengan Mahmud Qalamuni, Staf Ahli Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Mesir, 16 dan 20 Agustus 2005
[50] Tuti A. Najib dan Ridwan Al-Makassary (Ed), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanuisaan, Jakarta: CSRC UIN Jakarta dan The Ford Foundation, 2006, h.51-53
[51] Imam Suhadi, Wakaf untuk Kesejahteraan Ummat, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2002, h 117-123
[52] Zaim Saidi dkk., Pola dan Strategi Penggalangan Dana Sosial di Indonesia, h. 3-5, 69
[53] Tuti A. Najib dan Ridwan Al-Makassary (Ed), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanuisaan, h. 103-136.
[54] Musthafa E. Nasution, “Wakaf Tunai: Strategi untuk Mensejahterahkan dan Melepasakan Ketergantungan Ekonomi”, Makalah Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Ummat melalui Pengelalolaan Wakaf Produktif, Batam: Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002
[55] Hal ini didasarkan pada definisi manajemen yang dalam berbagai buku biasnya didefinisikan sebagai proses atau sistem pencapaian tujuan yang ditetapkan organisasi, laba dan nirlaba, melalui kerjasama (dengan cara koordinasi, konsolidasi, dan kepemimpinan) serta penggunaan sarana yang ada (tool of management, yaitu man (orang), money (dana), methods (cara/mekanisme) dan machine (mesin/alat]). Dalam hal ini, menurut Peter F. Drucker, titik berat manajemen adalah pada tindakan, khususnya tindakan untuk mengubah sekelompok manusia yang semula merupakan gerombolan yang tidak mempunyai tujuan menjadi sekelompok manusia yang produktif, efektif, dan mempunyai tujuan yang jelas. Hal ini karena inti manajemen terletak pada efisiensi (perbandingan terbaik antara input dan output) dan efektifitas (sasaran tercapai sesuai rencana). Untuk itu, pertama, ilmu manajmen pun mengenal teori Carrot and Stick (Wortel dan Tongkat), yaitu teori bahwa faktor yang memicu seorang staf akan bekerja keras atau tidak adalah seberapa besar gaji yang diterimanya sebagai reward dan seberapa efektif punisment atau hukuman yang ditegakkan. Kedua, manajmen memerlukan langkah-langkah pokok sistematis. Yaitu, menurut Hendri Payol: perencanaan (programming), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuiting atau mobilisasi) dan pengawasan (controlling) (Lihat Mamat R. Irmansyah, Ilmu administrasi dan Manajemen, Jakarta: Armico 1986, Bukhari Zainun, TTh., Organisasi dan Manajemen, TTp: Balai AksaraIrmansyah, 1986, dan Peter F. Drucker, “Tugas Seorang Manajer”, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 6, Vol. II, 1990/1411, Jakarta: LSAF, 1990 )
[56] Tuti A. Najib dan Ridwan Al-Makassary (Ed), Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanuisaan, h. 108, 112, 118