Oleh H.M. Cholil Nafis, Ph.D, Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia.

Praktek perwakafan telah dikenal sejak masa Rasulullah saw. karena wakaf disyariatkan setelah Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama kali melaksanakan wakaf. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah saw., yaitu wakaf tanah Rasulullah saw. untuk dibangun masjid. Hal ini karena ada hadits Nabi saw  yang diriwayatkan oleh Umar bin syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Isam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah Rasulullah saw.”

Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan, yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Umar ibn Khattab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang meriwayatkan bahwa Umar ibn Khattab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah saw. untuk memohon petunjuk. Umar berkata: “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah saw. Menjawab, “Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnnya.” Kemudian Umar menyedekahkan tanahnya dan mewasiatkan bahwa tanah tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwarisi. Umar menyalurkan hasil tanah tersebut kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, ibnu sabil dan tamu. (HR. al-Nasa’i).

Dalam perkembangan selanjutanya, dari masa ke masa, umat Islam telah menjabarkan hadits tersebut dengan mewakafkan sebagian harta bendanya untuk kepentingan umat. Harta benda wakaf dikelola sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat digunakan untuk pengembangan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan, seperti pendidikan dan kesehatan sarana publik lainnya. Keberadaan wakaf telah terbukti banyak membantu pengembangan dalam berbagai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan lainnya. Biasanya, hasil pengelolaan harta benda wakaf digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas publik di bidang keagamaan, kesehatan dan pendidikan, pembangunan masjid, rumah sakit, perpustakaan, gedung-gedung dan lainnya.

Sejarah telah mencatat bahwa di Mesir, pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, perhatian terhadap wakaf nampak cukup tinggi, sehingga masalah wakaf diserahkan kepada sebuah lembaga khusus untuk menangani wakaf di bawah pengawasan hakim. Menurut Abu Zahra, orang yang pertama kali melakukan hal tersebut adalah Taubah ibn Numairi, seorang Qadli Mesir di masa pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik. Taubah menegaskan bahwa tujuan utama dari peruntukan sedekah/wakaf ini adalah untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin. (Abu Zahrah, al-WaqfuI, 1959, h. 11). Untuk itu, lembaga ini diorientasikan pada pemberdayaan rakyat yang tidak mampu.

Pengertian Wakaf
   
Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan wakaf, sehingga implikasikasi fikih wakaf pun berbeda, seperti soal penukaran harta wakaf, wakaf dalam waktu tertentu, barang yang boleh diwakafkan dan pengelolaan wakaf. Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359)

Wakaf menurut Hanafiyah adalah menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Berdasarkan definisi ini maka kepemilikan harta tetap di tangan wakif, bahkan wakif dapat menariknya sewaktu-waktu dan dapat pula menjualnya. Menurut Malikiyah, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi ini menegaskan bahwa harta wakaf tidak lepas dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tidakan yang dapat melepaskan kepemilikannya dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaat serta tidak boleh menarik.

Menurut Syafi‘iyah, wakaf adalah menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Wakif sudah melepaskan hartanya untuk wakaf, sehingga tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta wakaf, tidak boleh menjual, mewariskan dan tidak boleh dihibah serta tidak boleh menariknya kembali. Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan. Menurut Hanabilah, wakaf adalah bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185).

Paparan definisi di atas adalah menurut para ulama ahli fiqih. Menurut Majelis Ulama Indonesia, wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tesebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada. Lalu, bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan: perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan tentang perbedaan ulama tentang pengertian wakaf, seperti keabadian wakaf, kepemilikan harta wakaf, penukaran harta wakaf dan harta wakaf yang boleh diwakafkan. Adapun definisi MUI sepenuhnya mengikuti syafi’iyah. Sedangkan wakaf menurut undang-undang tampak corak pemikran hukumnya mengakomodasi berbagai pendapat ulama mazhab serta menyesuaikan dengan konteks hukum nasional, seperti wakaf uang rupiah, nazhir organisasi dan badan hukum.

Macam-macam Wakaf
   
Para ulama mutaqaddimin tidak pernah membagi wakaf, baik antara wakaf untuk anak keturunan sendiri maupun wakaf untuk publik, semua jenis wakaf, menurut mereka hanya disebut wakaf semata atau shadaqah. Namun, para ulama mutaakhirin mulai membagi antara wakaf yang diniatkan untuk anak keturunan dan wakaf untuk publik, seperti untuk fakir-miskin, pencari ilmu, atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Maka, para ulama mutaakhirin menyebut wakaf untuk keluarga dengan nama: Al-Waqf Al-Ahliy atau Al-Dzurriy, sedangkan wakaf untuk umum dengan nama Al-Waqf Al-Khairiy. (Lihat: Muhadharah fii Al-Waqf, Abu Zuhrah, hal 4, 36, Ahkam Al-Waqf, Al-Kubaisiy 1/42).

1.    Wakaf  Ahli  (khusus)
Wakaf  ahli  disebut  juga  wakaf  keluarga  atau  wakaf  khusus.  Maksud  wakaf  ahli  ialah  wakaf  yang  ditujukan  kepada  orang-orang  tertentu,  seorang  atau  banyak,  baik  keluarga  wakif  maupun  orang  lain.  Misalnya,  seseorang  mewakafkan  buku-buku  yang  ada  di  perpustakaan  pribadinya  untuk  keturunannya  yang  mampu  menggunakannya.  Wakaf  semacam  ini  dipandang  sah  dan  yang  berhak  menikmati  harta  wakaf  itu  adalah  orang-orang  yang  ditunjuk  dalam  pernyataan  wakaf.

2.    Wakaf  Khairi
Wakaf  khairi  ialah  wakaf  yang  sejak  semula  ditujukan  untuk  kepentingan-kepentingan  umum  dan  tidak  ditujukan  kepada  orang-orang  tertentu.  Wakaf  khairi  inilah  yang  benar-benar  sejalan  dengan  praktik wakaf  yang jelaskan  dalam  ajaran  Islam,  yang  dinyatakan  pahalanya  akan  terus  mengalir   selamanya,  selama  harta  masih  dapat  diambil  manfaatnya.

Rukun dan Syarat Wakaf

”Rukun” adalah unsur yang terlibat pada saat pelaksanaan akad. Dalam akad wakaf harus terdapat empat rukun yang mesti dipenuhi. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

Sedangkan ”syarat” adalah suatu unsur yang harus terpenuhi sebelum akad dilaksanakan.  Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif) ada empat. Pertama, orang yang berwakaf harus memiliki secara penuh terhadap harta yang diwakafka, artinya dia menguasai untuk mewakafkan harta itu kepada siapa yang ia kehendaki. Kedua, waqif mestilah orang yang berakal, maka tidak sah wakaf orang ideot, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga, waqif mestilah baligh (dewasa). Dan keempat, waqif harus orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang yang belum cukup umur, tidak cakap hukum, orang yang sedang muflis (bangkrut) dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.

Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf) harus berupa barang yang yang berharga (mutaqawwam), diketahui kadarnya (’ainu ma’lum), pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif), dan harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarradzan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimaksudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang dapat untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang ideot, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Syarat ikrar berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukkan untuk wakaf. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas harta benda wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah. Kecuali harta benda wakaf yang ikrarnya untuk jangka waktu tertentu (waqtun mu’ayyan)

Fiqih Wakaf Uang

Para ulama fikih menyebut mata uang dengan menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan dirham mereka menggunakan kata naqdain (mustanna). Menurut Al-Sarkhasy, nuqud hanya dapat digunakan untuk transaksi atas nilai yang terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai berdasarkan bendanya. Jadi definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran dan media simpanan.Dengan demikian nampak jelas bahwa para fakih mendefinisikan uang dari perspektif fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi dan jasa; b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat simpanan.

Hukum wakaf uang telah menjadi perhatian para ahli hukum Islam. Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi. Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf uang. Imam al-Bukhari (t.th./IX: 330), mengungkapkan bahwa imam az-Zuhri (w. 124 H) berpendapat bahwa dinar boleh diwakafkan. Caranya adalah dengan menjadikan dinar itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Wahbah az-Zuhaily juga mengungkapkan bahwa mazhab hanafi membolehkan wakaf uang sebagai pengecualian, atas dasar istihsan bi al-‘urfi, karena sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Mazhab Hanafi memang berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf (adat istiadat) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks). Dasar argumentasi mazhab Hanafi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk.”

Pendapat ini didukung oleh Ibn Jibrin, salah satu ulama modern, bahwa wakaf uang harus diberdayakan sehingga mampu memberikan kemudahan dalam membantu orang-orang yang secara ekonomi kurang beruntung.

Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf uang yang dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di negeri lain, wakaf uang bukan merupakan kebiasaan. Karena itu, Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf uang tidak boleh atau tidak sah (Djunaidi, 2007: 5). Mazhab Syafi’i berpandangan bahwa wakaf uang tidak dibolehkan seperti yang disampaikan Muhyiddin an-Nawawi (t.th./XV: 325) dalam kitab al-Majmu’nya. Menurutnya, mazhab Syafi’i tidak membolehkan wakaf uang karena dinar dan dirham akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya.

Dalam kajian Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui komisi fatwa mengeluarkan fatwa tentang wakaf uang yang berisi:
a.       Wakaf wang (cash wakaf/waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan oleh seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk wang tunai;
b.      Termasuk ke dalam pengertian wang adalah surat-surat berharga;
c.       Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh);
d.      Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy;
e.       Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
   
Pendapat yang memperbolehkan wakaf uang dilegitimasi dengan undang-undang wakaf yang secara khusus mengatur tentang wakaf benda bergerak berupa uang. Yaitu pada bagian kesepuluh pasal 28 sampai pasal 31.

Menukar Harta Benda Wakaf

    Wakaf sebagaimana maknanya berhenti. Yaitu berhenti dari kepemilikan diri sendiri berpindah kepada pemilik jagat raya, Allah SWT. Maka harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Prinsip  Wakaf    adalah keabadian  (ta’bidul  ashli),  dan   prinsip  kemanfaatan  (tasbilul  manfaah).

Persoalan yang timbul akibat dari dimensi sosial adalah tukarguling yang dalam istilah fikih disebut istibdal atau dalam hukum positif disebut ruilslag. Al-Istibdal, diartikan  sebagai  penjualan  barang  wakaf  untuk  dibelikan  barang  lain  sebagai   wakaf  penggantinya.   Ada  yang  mengartikan,  bahwa  al-Istibdal   adalah   mengeluarkan   suatu  barang  dari  status   wakaf,  dan  menggantikannya   dengan  barang   lain. Al-Ibdal, diartikaan  sebagai  penggantian  barang  wakaf  dengan  barang  wakaf  lainnya, baik  yang  sama  kegunaannya  atau   tidak,  seperti  menukar  wakaf   yang  berupa  tanah pertanian  dengan  barang  lain  yang  berupa  tanah  untuk  bangunan. Ada  juga  pendapat  yang  mengartikan  sama  antara  Al-Istibdal  dan  Al-Ibdal.

Menukar dan mengganti benda wakaf, terdapat perbedaan antara benda wakaf yang berbentuk mesjid dan bukan mesjid. Yang bukan mesjid dibedakan lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Terhadap benda wakaf yang berbetuk mesjid, selain Ibn Taimiyyah dan sebagian Hanabilah sepakat menyatakan dilarang menjualnya. membolehkan menukarnya, apabila tindakan demikian memang benar-benar sangat diperlukan.

Namun mereka berbeda dalam menentukan persyaratannya. Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga hal: 1) apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika ikrar, 2) apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan, dan 3) jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat.

Ulama Malikiyah juga menentukan tiga syarat, yaitu: 1) wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau dijual, 2) benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak seusai lagi dengan tujuan semula diwakafkan, 3) apabila benda wakaf pengganti dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan mesjid, jalan raya dan sebagainya.

Sementara itu, golongan Syafi’iyah menyatakan bahwa dilarang menjual dan menukarkan wakaf secara mutlak. Sehingga walaupun wakaf itu termasuk wakaf khas seperti wakaf untuk keluarga, dan walaupun dibolehkan oleh bermacam-macam sebab. Mereka membolehkan bagi si penerima untuk menghabiskannya guna keperluan sendiri jika ditemui hal yang membolehkan, seperti pohon yang mulai mengering dan tidak ada lagi kemungkinan untuk berbuah. Maka orang yang menerima wakaf boleh memanfaatkan untuk kayu bakar tapi tidak boleh menjual dan menukarkannya. Ulama Syafi’iyah berdalil dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar, “Harta wakaf tidak boleh dijual dihibahkan dan diwariskan.

Ulama Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah benda wakaf itu berbetuk mesjid atau bukan mesjid. Ibn Taimiyah misalnya, mengatakan bahwa benda wakaf itu boleh ditukar atau dijual, apabila tindakan ini benar-benar sangat dibutuhkan. Misalnya suatu masjid yang tidak dapat lagi digunakan karena telah rusak atau terlalu sempit, dan tidak mungkin diperluas, atau karena penduduk suatu desa berpindah tempat, semetara di tempat yang baru mereka tidak mampu membangun mesjid yang baru.

Dasar pemikiran Ibn Taimiyah sangat praktis dan rasional. Pertama, tindakan menukar atau menjual benda wakaf tersebut sangat diperlukan. Lebih lanjut Ibn Taimiyah mengajukan contoh, seseorang mewakafkan kuda untuk tentara yang sedang berjihad fi sabilillah, setelah perang usai, kuda tersebut tidak diperlukan lagi. Dalam kondisi seperti ini, kuda tersebut boleh dijual, dan hasilnya dibelikan sesuatu benda lain yang lebih bermanfaat untuk diwakafkan. Kedua, karena kepentingan mashlahat yang lebih besar, seperti masjid dan tanahnya yang dianggap kurang bermanfaat, dijual untuk membangun mesjid baru yang lebih luas atau lebih baik. Dalam hal ini mengacu kepada tindakan Umar ibn al-Khaththab ketika ia memindahkan mesjid Kufah dari tempat yang lama ke tempat yang baru. Utsman kemudian melakukan tindakan yang sama terhadap mesjid Nabawi.

Lebih jauh Ibn Taimiyyah mengajukan argumentasi, bahwa tindakan tersebut ditempuh adalah untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerusakan atau setidaknya penyia-nyiaan benda wakaf itu.
Hal ini sejalan dengan kaidah:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemashlahatan”.

Selain itu, untuk mempertahankan tujuan hakiki disyariatkannya wakaf, yaitu untuk kepentingan orang banyak dan kesinambungan.  Namun persoalannya adalah bagaimana seandainya wakif tidak memberi isyarat secara detail terhadap bolehnya benda wakaf tersebut ditukar atau dijual manakala kondisiya sangat mendesak.

Golongan Hanabilah membolehkan menjual mesjid apalagi benda wakaf lain selain mesjid, dan ditukar dengan benda lain sebagai wakaf, apabila didapati sebab-sebab yang membolehkan”.  Umpamanya tikar yang diwakafkan di mesjid, apabila telah usang atau tidak dapat dimanfaatkan lagi, boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan lagi untuk kepentingan bersama.

Di Indonesia yang realitasnya mengikuti mazhab Syafi´i, sekarang sudah mulai mengikombinasikan dengan fikih mazhab lain, dan juga pola pemahamannya lebih rasional. Misalnya, pada abad ke 19 masih terdapat banyak laporan bahwa masjid terpaksa dibiarkan rusak dan hancur akibat masyarakat tidak berani mengubah dan mengganti material masjid tersebut karena khawatir melanggar aturan fikih.

Implikasi Fiqih lintas mazhab ini dapat dilihat dari Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang memiliki paradigma menekankan pentingnya menjaga manfaat wakaf. Masalah  istibdal  dimasukkan  dalam  “hukum  pengecualian“  (al-hukmu  al-istitsna’i)  seperti   disebut  dalam    BAB   IV Pasal  40  dan  41  ayat  (1) .   Dalam  Pasal  40  dinyatakan:  Harta  benda  wakaf  yang  sudah  diwakafkan  dilarang  :
a.    Dijadikan  jaminan.
b.    Disita .
c.    Dihibahkan .
d.    Dijual .
e.    Diwariskan .
f.    Ditukar ,  atau
g.    Dialihkan  dalam  bentuk  pengalihan  hak  lainnya .

Dalam  Pasal  41  dinyatakan:
1.     Ketentuan   sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  40  huruf  f   dikecualikan   apabila  harta   benda  wakaf  yang  telah   diwakafkan  digunakan  untuk  kepentingan umum  sesuai  dengan  rencana  umum  tata  ruang  (RUTR)   berdasarkan  ketentuan   peraturan   perundang-undangan  yang   berlaku  dan   tidak  bertentangan  dengan  syari’ah .
2.    Pelaksanaan   ketentuan   sebagaimana  dimaksud  pada  ayat   (1)  hanya  dapat  dilakukan  setelah  memperoleh  izin  tertulis  dari  Menteri  atas  persetujuan  Badan Wakaf  Indonesia .
3.    Harta   benda  wakaf  yang  sudah  diubah   statusnya  karena  ketentuan  pengecualian   sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  wajib  ditukar  dengan  harta  benda yang  manfaat   dan  nilai   tukar  sekurang-kurangnya   sama  dengan  harta  benda wakaf  semula .
4.    Ketentuan  mengenai  perubahan  status  harta  benda  wakaf  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1), ayat  (2),  dan  ayat  (3)  diatur  lebih  lanjut  dengan  Peraturan Pemerintah .

Dari  ketentuan-ketentuan  yang  tercantum  mulai  Pasal  40  dan  41  diatas,  terlihat  adanya  sikap   kehati-hatian   dalam  tukar-menukar  harta benda wakaf,  dan   masih  menekankan upaya  menjaga  keabadian  barang  wakaf  selama  keadaannya  masih  normal-normal  saja.  Tapi   disisi   lain  juga  sudah  membuka  pintu  Istibdal  meskipun  tidak  tasahul  (mempermudah  masalah). Maka ruislag sebenarnya adalah hukum pengecualian. []

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *