Dr. Atabik Luthfi, MA*
Diantara sunnatullah dalam arti ketetapan dan ketentuan Allah swt yang tidak akan mungkin pernah berubah adalah pergantian waktu dan keadaan kehidupan. Tentang ketetapan tersebut, Allah swt berfirman,
وَتِلْكَ ٱلْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ ٱلنَّاسِ
‘Dan masa-masa itu Kami pergilirkan diantara manusia‘ (QS. Ali Imran: 140)
Seseorang yang memaknai sunnatullah ini dengan baik, akan mampu beradaptasi dengan waktu dan keadaan, sekaligus akan mampu tetap beramal dan berkarya untuk kemanfaatan dan kebaikan sesama, dalam semua perubahan waktu dan keadaan.
Dalam kitab Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir dijelaskan bahwa dunia ini dipenuhi dengan perkara dan peristiwa yang tidak pernah menetap; terkadang sesuatu menjadi tinggi derajatnya dan terkadang pula ia akan jatuh, kekayaan seketika bisa berubah menjadi kemiskinan, begitupun sebaliknya, sesuatu yang tinggi tidak akan pernah tinggal selamanya diatas, tidak satupun di dunia ini akan menetap keadaannya. Pergiliran tersebut bertujuan memberi hikmah dan pelajaran kepada manusia.
Salah satu pelajaran penting dari sunnatullah ini sebagaimana disabdakan oleh baginda Rasulullah saw ialah memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mempersiapkan keadaan yang tidak dapat diprediksikan; memanfaatkan sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, keluangan waktu sebelum kesibukan, masa muda sebelum lanjut usia, serta kehidupan sebelum kematian,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, yaitu Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu. Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu. Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu. Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al-Hakim)
Terlebih jika terlambat beramal, maka berujung kepada penyesalan yang tiada berguna, seperti yang disinyalir di ayat berikut ini,
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ (10) وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (11)
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Al Munafiqun: 10)
Kembali Allah swt mengingatkan urgensi dan keutamaan ibadah harta. Penyesalan di hari kiamat kelak dikaitkan dengan kealfaan menunaikan ibadah harta. Oleh karena itu, dalam sebuah hadis Rasulullah saw berpesan agar umatnya gemar menanam sekalipun ia mengetahui esok akan meninggal dunia atau kiamat terjadi,
إن قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Dalam riwayat Imam Thabrani, Umar bin Al-Khattab ra berpesan, “Dari Amarah bin Khuzaimah berkata, “Aku mendengar Umar bin Khathab berkata kepada bapakku. “Apa yang menghalangimu untuk menanam lahanmu?” Bapakku berkata, “Aku tua renta yang akan mati besok.” Umar berkata, “Ku yakinkan Kau harus menanamnya.”
Kenapa anjuran dan perintah Rasul justru dikaitkan dengan salah satu investasi hartawi?. Ibadah harta setidaknya memiliki tiga keutamaan. Pertama, ibadah harta merupakan penyempurna ibadah fisik. Bahkan kesempurnaan ibadah fisik tergantung kepada ibadah harta, dalam bentuk sarana pra sarana kelengkapan ibadah tersebut. Kedua, ibadah harta dapat menjadi pengganti ibadah fisik saat uzur dan halangan. Ketiga, ibadah harta merupakan salah satu bentuk dari pasif pahala, karena terus mengalir pahalanya meskipun wakif atau penginfaknya sudah meninggal dunia, sesuai jaminan hadits Rasulullah saw,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih” (HR. Muslim).
Hadits di atas menempatkan ibadah harta yaitu sedekah di urutan pertama. Malah secara tekstual sedekah disebut sedekah jariyah, yang mengisyaratkan pahala sedekah yang terus mengalir, tidak terputus pahalanya, meskipun dengan terputusnya usia seseorang. Imam Nawawi mensyarah hadits ini dengan mengartikan sedekah jariyah dengan amal wakaf.
“Sesungguhnya yang didapati oleh orang yang beriman dari amalan dan kebaikan yang ia lakukan setelah ia mati adalah, ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan. Anak shalih yang ia tinggalkan. Mushaf Al-Qur’an yang ia wariskan. Masjid yang ia bangun. Rumah bagi ibnu sabil (musafir yang terputus perjalanan) yang ia bangun Sungai yang ia alirkan. Sedekah yang ia keluarkan dari harta ketika ia sehat dan hidup. Semua itu akan dikaitkan dengannya setelah ia mati.” (HR. Ibnu Majah)
Mari kita jadikan pergantian tahun ini sebagai bahan refleksi atas peran dan kontribusi ibadah wakaf, yang bersifat kekal abadi dan berkesinambungan manfaat dan pahalanya di sisi Allah swt. Kita kalkulasikan capain harta setahun kita, dalam konteks berwakaf untuk kesejahteraan dan kemartabatan umat. Demikian juga kita awali kalender kehidupan di tahun 2021 dengan semangat berwakaf dan memberikan manfaat kepada umat. Insya Allah.
Dr. Atabik Luthfi, MA, Ketua Divisi Humas, Sosialisasi, dan Literasi BWI