Wakaf Uang Perspektif Hukum dan Ekonomi Islam

Oleh Hendra Kholid, Dosen UIN Jakarta.

 

 

Wakaf  merupakan salah satu sumber dana sosial potensial  yang erat kaitannya dengan kesejahteraan umat di samping zakat, infak dan sedekah. Terlebih karena ajaran agama menjadi motivasi utama masyarakat untuk berwakaf. Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai salah satu institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial ekonomi, wakaf telah banyak membantu pembangunan secara menyeluruh di Indonesia, baik dalam pembangunan sumber daya manusia maupun dalam pembangunan sumber daya sosial.

Tak dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun diatas tanah wakaf. Namun amat disayangkan bahwa persepsi sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia mengenai obyek wakaf  masih terbatas pada tanah dan bangunan dan meskipun saat ini sudah mulai berkembang pada uang, saham dan benda bergerak lainnya. Demikian pula berdasarkan data yang ada dalam masyarakat, umumnya wakaf di Indonesia sebagian besar di gunakan untuk kuburan, masjid dan madrasah, dan sedikit sekali yang di dayagunakan secara produktif. Hal itu tentunya tidak terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar harta yang diwakafkan baru berkisar pada asset tetap (fixed asset),  seperti tanah dan bangunan.

Dalam perekonomian moderen dewasa ini, uang memainkan peranan penting di dalam menentukan kegiatan ekonomi masyarakat suatu negara. Disamping berfungsi sebagai alat tukar dan standar nilai, uang juga merupakan modal utama bagi perubahan perekonomian dan penggerak pembangunan. Bahkan, dewasa ini nyaris tak satupun negara yang lepas dari kebutuhan uang dalam mendanai pembangunannya. Tapi ironisnya tidak sedikit pembangunan di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim masih dibiayai oleh modal hutang. Indonesia termasuk diantara negara-negara yang pembangunannya masih dibiayai oleh modal hutang yaitu dengan mengandalkan uang pinjaman dari lembaga keuangan multilateral, seperti, World Bank, ADB dan satu negara donor yang tergabung  dalam CGI. Lebih ironis lagi ialah ajaran agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk muslim tersebut tidak pernah menganjurkan umatnya untuk berhutang apalagi menumpuk-numpuk hutang yang akan membebani generasi setelahnya.   

Dari apa yang dikemukakan diatas, diperoleh gambaran betapa pentingnya kedudukan wakaf dalam masyarakat muslim dan betapa  besarnya peranan uang dalam perekonomian dewasa ini. Hanya saja potensi wakaf yang besar tersebut belum banyak didayagunakan secara maksimal oleh pengelola wakaf akibat terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai obyek benda yang boleh diwakafkan serta masih terbatasnya nazir wakaf yang memiliki sumber daya yang profesional dan manajerial.

Padahal wakaf memiliki potensi yang sangat bagus untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat, terutama dengan konsep wakaf  Uang. Terlebih disaat pemerintah tidak sanggup lagi menyejahterahkan rakyatnya.  Karena itu makalah ini dibuat untuk melihat bagaimana legalitas wakaf uang dalam Hukum Islam dan sejauh mana wakaf uang mampu berperan sebagai alternatif menyejahterakan umat dalam Ekonomi Islam.

Pengertian Wakaf Uang

Menurut istilah, wakaf uang adalah bagian dari istilah wakaf. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mendefinisikan wakaf uang dalam fatwanya tentang kebolehan wakaf pada 11 Mei 2002 yang menyatakan bahwa wakaf uang (cash wakaf/waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian ini adalah surat-surat berharga.  Definisi ini kemudian diperkuat oleh lahirnya UU No. 41/2004 dan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2006 tentang wakaf yang menyatakan bahwa uang termasuk bagian dari benda wakaf. Adapun definisi wakaf yang dimaksud dalam UU No. 41/2004 tentang wakaf pasal 1 ayat 1: Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Lebih lanjut, harta benda wakaf yang dimaksud oleh undang-undang tersebut terdiri dari benda bergerak dan benda tidak bergerak . Salah satu benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah uang, yaitu  penyerahan secara tunai sejumlah uang wakaf dalam bentuk mata uang rupiah yang dilakukan oleh wakif kepada nazhir melalui lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang (LKS-PWU) yang ditunjuk oleh Menteri Agama atas saran dan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yaitu berupa sertifikat wakaf uang yang diterbitkan oleh LKS-PWU dan disampaikan kepada wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Lebih lanjut, nazhir melakukan pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang melalui investasi pada produk-produk LKS (Lembaga Keuangan Syariah) atau instrument keuangan syariah dengan syarat harus mengikuti program lembaga penjamin simpan atau diasuransikan pada asuransi syariah yaitu jika investasi dilakukan diluar bank syariah sebagai wujud kehati-hatian terhadap harta benda wakaf uang. Adapun hasil dari pengembangan dan pengelolaan investasi wakaf uang dimanfaatkan keseluruhannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setelah dikurangi sepuluh persen sebagai hak nazhir dari setiap hasil investasi seperti diatur dalam Undang-undang No 41 Tahun 2004 Tentang wakaf.

Apabila dilihat dari tata cara transaksi, maka wakaf uang dapat dipandang sebagai salah satu bentuk amal yang mirip dengan shadaqah. Hanya saja diantara keduanya terdapat perbedaan. Dalam shadaqah, baik substansi (asset) maupun hasil/manfaat yang diperoleh dari pengelolaannya, seluruhnya dipindahtangankan kepada yang berhak menerimanya. Sedangkan dalam wakaf, yang dipindahtangankan hanya hasil/manfaatnya, sedangkan substansi/assetnya tetap dipertahankan. Kemudian, juga ada perbedaan antara wakaf dan hibah. Dalam hibah, substansi/assetnya dapat dipindahtangankan dari seseorang kepada orang lain tanpa ada persyaratan. Sementara itu dalam wakaf ada persyaratan penggunaan  yang ditentukan oleh wakif (pemberi Wakaf).

Dasar Hukum Wakaf

Secara khusus tidak ditemukan nash al-Qur’an, maupun hadits yang secara tegas menyebutkan dasar hukum yang melegitimasi dianjurkannya wakaf. Tetapi secara umum banyak ditemukan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan agar orang yang beriman mau menyisihkan sebagian dari kelebihan hartanya digunakan untuk proyek yang produktif bagi masyarakat. Di antara nash al-Qur’an dan hadits yang dapat dijadikan sumber legitimasi wakaf ialah:

1.    Dasar hukum dari al-Qur’an:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali Imran (3):92).
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik”. (QS. Al-Baqarah ( 2):267).    
”Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu  mendapat kemenangan”.(QS. Al-Hajj (22):77).

Ayat-ayat di atas menganjurkan agar orang yang beriman mau menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan masyarakat dan wakaf adalah salah satu cara menginfakkan sebagian harta untuk kemaslahatan umat.

2. Dasar hukum dari hadits Rasulullah SAW:    
“Apabila manusia wafat, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal,yaitu sedekah jariyah, atau ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan, atau anak yang saleh “ (HR. Muslim).

Para ulama menafsirkan sabda Rasulullah SAW  sedekah jariyah dengan wakaf. Kemudian sebuah hadits: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, r.a., bahwa Umar bin Khathab mendapat sebidang tanah di Khaibar. Lalu ia menghadap Rasulullah Saw untuk memohon petunjuknya,  apa yang sepatutnya dilakukan buat tanah tersebut. Umar berkata kepada Rasulullah Saw : Ya Rasulullah ! Saya memperoleh sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta lebih baik dari  tanah di Khaibar itu. Karena itu saya mohon petunjukmu tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu. Rasulullah bersabda : “Jika engkau mau, tahanlah zat(asal) bendanya dan sedekahkanlah hasilnya”. Umar menyedekahkannya dan mewasiatkan bahwa tanah tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwarisi. Umar menyalurkan hasil tanah itu bagi orang-orang fakir, keluarganya, membebaskan budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tamu. Dan tidak berdosa bagi orang yang mengurusi harta wakaf tersebut  makan dari hasil wakaf tersebut dalam batas-batas kewajaran atau memberi makan orang lain dari hasil wakaf tersebut”.

Demikian di antara beberapa nash al Qur’an dan hadits yang dapat dijadikan landasan utama disyari’atkannya wakaf dalam Islam. Hanya saja, jika kita cermati dari nash-nash hadits yang menjadi sumber hukum wakaf, maka tampak sedikit sekali jika dibandingkan dengan aturan-aturan yang ditetapkan berdasarkan ijtihad fuqaha yang didasarkan pada  pertimbangan istihsan, maslahah dan urf.   Pandangan yang serupa juga diungkapkan oleh Wahbah al Zuhaili dalam bukunya al-Fiqh al Islamy Wa Adilatuhu.

Karenanya, wakaf merupakan salah satu konsep fiqih ijtihadi. Artinya ia, sebagai hasil ijtihad yang lahir dari pemahaman ulama terhadap nash-nash yang menjelaskan tentang pembelanjaan harta. Konsep tersebut muncul sebagai respon dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar tentang pertanyaan Umar bin Khattab mengenai pemanfaatan tanahnya di Khaibar. Permasalahan tentang wakaf memang tidak dijelaskan secara tegas didalam al-Qur’an. Kendati demikian para mujtahid, sebagai para pemuka umat Islam, berupaya mengembangkan lebih lanjut mengenai masalah tersebut dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an serta diikuti oleh beberapa hadits yang mendukung.

Legalitas Wakaf Uang Dalam Perspektif Hukum Islam

Dikalangan ulama fikih klasik, hukum mewakafkan uang merupakan persolan yang masih diperselisihkan (debatable, ikhtilaf). Perselisihan tersebut lahir karena tradisi yang lazim masyarakat bahwa mewakafkan harta hanya berkisar pada harta tetap (fixed asset), dan  pada penyewaan harta wakaf.

Berdasarkan tradisi yang lazim tersebut, maka sebagian ulama masa silam merasa aneh saat mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al-Anshari, murid dari Zufar (sahabat Abu Hanifah) tentang bolehnya berwakaf  dalam bentuk uang kontan; dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditi yang ditimbang atau ditakar (seperti makanan gandum). Yang membuat mereka merasa aneh ialah bagaimana mungkin mempersewakan uang wakaf, bukankah hal itu telah merubah fungsi utama dari uang sebagai alat tukar ? kemudian mereka mempertanyakan, “Apa yang dapat kita lakukan dengan dana cash dirham?” Terhadap pertanyaan ini Al-Anshari menjelaskan dengan mengatakan, ”Kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah , dan labanya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudlarabah kemudian hasilnya disedekahkan”.

Memang, dikalangan mazhab-mazhab fikih, masalah wakaf uang pernah dijadikan bahan perdebatan. Dikalangan Syafi’iyah misalnya, Imam Nawawi dalam kitabnya, al Majmu’, menyatakan, “Dan berbeda pendapat para sahabat kita tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang memperbolehkan mempersewakan dirham dan dinar, membolehkan berwakaf dengannya, dan yang tidak memperbolehkan mempersewakannya, tidak memperbolehkan mewakafnya“.

Dalam mazhab Hanafi, seperti dikemukakan  Ibn ‘Abidin dalam kitabnya, Hasyyat Ibn ‘Abidin, soal sah tidaknya mewakafkan uang tergantung adat kebiasaan di satu tempat. Wakaf uang dirham dan dinar sudah menjadi kebiasaan di negeri Rowami, sehingga berdasarkan prinsip diatas, wakaf dirham dan dinar sah ditempat itu dan tidak sah ditempat lain. Secara lebih jelas kebolehan wakaf uang terungkap dalam fatwa yang dikeluarkan oleh al-Anshari diatas. Ibn Taimiyah dalam kitabnya, Majmu’al Fatawa , meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang.

Di samping ada yang membolehkan, terdapat pula ulama yang tidak memperbolehkannya. Ibn Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni meriwayatkan satu pendapat dari sebagian besar kalangan ulama yang tidak membolehkan wakaf uang dirham, dengan alasan dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan, sehingga tidak ada lagi wujudnya. Di samping itu, Ibn Qudamah juga menjelaskan salah satu pendapat dari kalangan yang tidak membolehkan mempersewakan uang; yang isinya dengan tidak membolehkan wakaf uang dirham. Mereka beralasan, bahwa dengan mempersewakan uang untuk ditarik manfaatnya berarti telah merubah fungsi utama uang sebagai alat tukar, sama halnya larangan mewakafkan pohon untuk jemuran, oleh karena fungsi utama pohon bukanlah untuk menjemur pakaian.

Dari beberapa pendapat ulama diatas, jelas bahwa alasan boleh dan tidaknya mewakafkan mata uang berkisar pada apakah wujud uang tersebut, setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula atau tidak. Perdebatan ulama tentang unsur ”keabadian”, pada dasarnya tidak lepas dari pemahaman  mereka terhadap petunjuk Rasulullah kepada Umar ibn Khathab  “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya”. Menurut Abu Ishaq Asy-Syirazi (wafat 476 H/1083 M) petunjuk tersebut mengandung makna bahwa yang boleh diwakafkan adalah yang dapat bermanfaat dan tahan lama (tidak lenyap ketika dimanfaatkan).

Adanya pendapat sebagian ulama yang lebih menekankan bahwa barang yang akan   diwakafkan itu harus bersifat kekal atau, paling tidak, dapat tahan lama, pada dasarnya tidak lepas dari paradigma yang mapan mengenai konsep wakaf itu sebagai sedekah jariah yang pahalanya terus mengalir, maka, tentu barang yang akan diwakafkan itu harus berupa barang yang fisiknya bersifat kekal atau tahan lama. Namun, Ibn Taymiyah dalam kitabnya, al-Fatawa meriwayatkan satu pendapat dari Muhammad ibn Abdullah al-Anshari soal keabadian barang yang diwakafkan.

Al-Anshari mengungkapkan bahwa “wakaf dinar hanya akan bermanfaat ketika zat uangnya habis (lenyap ketika dimanfaatkan) dan jika bendanya tidak lenyap, maka tidak akan bermanfaat”. Maksudnya ialah manfaat uang itu akan terwujud  bersamaan dengan lenyapnya zat uang secara fisik. Dengan kata lain, meski, secara fisik, zatnya lenyap, tetapi nilai uang yang diwakafkan tersebut tetap terpelihara kekekalannya. Berbeda dengan wakaf selain uang atau asset tetap, yang memang secara fisik tetap utuh meskipun dimanfaatkan.

Adanya perdebatan dikalangan ulama fikih tentang boleh atau tidaknya berwakaf dengan uang seperti diatas, memperlihatkan adanya upaya yang terus menerus untuk memaksimalkan hasil harta wakaf. Karena semakin banyak harta wakaf yang dihimpun, berarti semakin banyak pula hasil dan manfaatnya serta kebaikan yang mengalir kepada pihak yang berwakaf.

Paham yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, membuka peluang bagi asset wakaf untuk memasuki berbagai usaha investasi seperti syirkah, mudharabah dan lainnya. Dalam catatan sejarah Islam, wakaf uang ternyata sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam al-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadits (tadwin  al Hadits) memfatwakan, dianjurkannya wakaf uang dinar dan dirham  untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Namun demikian, faktor resiko, seperti kerugian yang akan mengancam kesinambungan harta wakaf, perlu dipertimbangkan guna mengantisipasi madharat yang lebih besar.

Dalam konteks perdebatan dua pendapat di atas, penulis lebih cenderung setuju kepada pendapat yang membolehkan. pendapat Muhammad ibn Abdullah al-Anshari, dari kalangan Hanafi dan pendapat  Imam al-Zuhri seperti diriwayatkan oleh Bukhari, bisa dijadikan legalitas yang valid bagi kebolehan wakaf uang, di samping ada beberapa argumen lain:

Pertama, bila dianalisa dari maksud dan tujuan wakaf, salah satunya adalah agar harta yang diwakafkan bermanfaat bagi kepentingan orang banyak secara terus menerus  sehingga pahalanya mengalir secara terus menerus pula. Berdasar hal tersebut, maka wakaf uang memilki unsur manfaat. Hanya saja, manfaat uang baru akan terwujud  bersamaan dengan lenyapnya zat uang secara fisik. Meski secara fisik zatnya lenyap, tetapi nilai uang yang diwakafkan tetap terpelihara kekekalannya. Mengenai sifat fisik barang,  hal itu bukan soal yang substantif dan prinsipil. Meski zat uangnya lenyap ketika digunakan, tapi nilainya bisa tetap terpelihara dan mungkin terus menerus mendatangkan hasil. Memang barang yang yang sifat fisiknya dapat bertahan lama dan mendatangkan banyak manfaat tentu lebih baik, namun jauh lebih baik dan prinsipil dari semua itu ialah keabadian  manfaat dan nilai dari benda yang diwakafkan.

Kedua, Wakaf merupakan salah satu konsep fikih ijtihadiyah yang lahir dari pemahaman ulama terhadap nash-nash yang menjelaskan tentang pembelanjaan harta  dan sebagai respons terhadap hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar tentang pertanyaan umar berkaitan dengan pemanfaatan tanahnya di Khaibar, serta beberapa hadis lain yang mendukung. Namun mengenai  hal-hal yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw, sejauh dalam bidang muamalah (hubungan horizontal), pintu ijtihad terbuka lebar untuk dilakukan, termasuk persoalan wakaf uang. Karena tidak ada nash al-Qur’an dan sunah Rasulullah yang secara tegas melarang wakaf uang maka atas dasar maslahah mursalah , wakaf uang dibolehkan, karena mendatangkan manfaat yang sangat besar bagi kemaslahatan umat, atau dalam istilah ekonomi  dapat meningkatkan investasi sosial dengan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal umat. Hal ini didasarkan pada kaidah fikih yang berbunyi :

“Hukum asal dalam perikatan dan mu’amalah adalah sah, sampai adanya dalil yang menyatakan bahwa tindakan itu adalah batal (tidak sah)”

Dalam konteks kemaslahatan mua’malah, kaidah tersebut menjadi salah satu landasan tolak ukur penetapan hukum Islam, juga sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud, bahwa Rasulullah bersabda, “Apa yang dipandang kaum muslimin baik, dalam pandangan Allah juga baik.”

Alternatif pemanfaatan wakaf uang dalam kegiatan ekonomi

Dalam literatur fikih klasik, cara yang  banyak ditempuh dalam mengembangkan harta wakaf  ialah dengan jalan mempersewakannya. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa kebanyakan harta wakaf dalam bentuk harta tetap (fixed Asset), seperti lahan pertanian dan bangunan.  Dewasa ini terbuka kesempatan untuk berwakaf dalam bentuk uang. Tapi persolannya, bagaimana memanfaat dana wakaf yang terhimpun ? Menurut Muhammad Abdullah al-Anshori, “Uang wakaf akan bermanfaat jika ia digunakan, untuk itu kita investasikan dana tersebut dan labanya kita sedekahkan”. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Imam az-Zuhri (wafat tahun 124 H), sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori.

Muncul dan berkembangannya lembaga-lembaga keuangan syari’ah dengan prinsip kerja sama bagi hasil, prinsip jual beli, dan prinsip sewa menyewa. Maka semakin mempermudah pengelola wakaf (nadzir) selaku manajemen investasi  untuk menginvestasikan dana-dana wakaf yang terhimpun sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Adapun diantara bentuk-bentuk investasi yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf (nadzir) ialah sebagai berikut:

1. Investasi Mudharabah
Investasi mudharabah merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh produk  keuangan syari’ah guna mengembangkan harta wakaf. Salah satu contoh yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf dengan sistem ini ialah membangkitkan sektor usaha kecil dan menengah dengan memberikan modal usaha kepada petani gurem, para nelayan,  pedagang kecil dan menengah (UKM). Dalam hal ini pengelola wakaf uang berperan sebagai shohibul mal (pemilik modal) yang menyediakan modal 100% dari usaha/proyek dengan sistem bagi hasil.

2.Investasi Musyarakah
Alternatif investasi lainnya ialah investasi dengan sistem musyarakah. Investasi ini hampir sama dengan investasi mudharabah. Hanya saja pada investasi musyarakah ini risiko yang ditanggung oleh pengelola wakaf lebih sedikit,  oleh karena modal ditanggung secara bersama oleh dua pemilik modal atau lebih. Investasi ini memberikan peluang bagi pengelola wakaf untuk menyertakan modalnya pada sektor usaha kecil menengah yang dianggap memiliki kelayakan usaha namun kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya.

3. Investasi Ijarah
Salah satu contoh yang dapat dilakukan dengan sistem investasi ijarah (sewa) ialah mendayagunakan tanah wakaf yang ada. Dalam hal ini pengelola wakaf menyediakan dana untuk mendirikan bagunan diatas tanah wakaf, seperti pusat perbelanjaan (commercial Center), rumah sakit, apartemen dll. Kemudian pengelola harta wakaf menyewakan gedung tersebut hingga dapat menutup modal pokok dan mengambil keuntungan yang dikehendaki.

4. Investasi Murabahah  
Dalam investasi murabahah, pengelola wakaf diharuskan berperan sebagai enterpreneur (pengusaha) yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui suatu kontrak murabahah. Adapun keuntungan dari investasi ini adalah pengelola wakaf dapat mengambil keuntungan dari selisih harga pembelian dan penjualan. Manfaat dari investasi ini ialah pengelola wakaf dapat membantu pengusaha-pengusa kecil yang membutuhkan alat-alat produksi, misalnya tukang jahit yang memerlukan mesin jahit.

Demikianlah, beberapa alternatif pemanfaatan dana wakaf yang dapat dilakukan oleh pengelola wakaf secara langsung (Direct Investment). Kendatipun demikian, tentu tidak hanya terbatas pada beberapa alternatif diatas. Tetapi, masih banyak alternatif-alternatif  investasi lain yang dapat dilakukan serta dikembangkan oleh pengelola wakaf guna memaksimalkan hasil wakaf. Lebih dari itu pengelola wakaf juga dapat menginvestasikana dana wakaf melalui lembaga-lembaga keuangan syari’ah yang ada, misalnya Bank Syari’ah atau pasar modal Syari’ah.

Untuk menjaga kesalahan investasi dan kelangsungan dana umat yang terhimpun .  Maka  sebelum melakukan investasi, pengelola wakaf (nazhir), selaku manajemen investasi, hendaknya mempertimbangkan terlebih dahulu keamanan dan tingkat profitabilitas usaha guna mengantisipasi adanya resiko kerugian yang akan mengancam kesinambungan harta wakaf, yaitu dengan melakukan analisa kelayakan investasi dan market survey untuk memastikan jaminan pasar dari out put dan produk investasi.

Dampak Wakaf Uang Terhadap Perekonomian Umat

Wakaf uang yang digunakan untuk investasi bisnis seperti yang difatwakan Muhammad ibn Abdullah al-Anshari ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, yaitu dengan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal investasi dengan cara menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan keuntungan dari pengelolaannya disalurkan kepada rakyat miskin yang membutuhkan. Karena itu memberdayakan potensi wakaf uang dari swadaya masyarakat muslim Indonesia sendiri maupun muslim dari belahan dunia lain jelas merupakan pilihan yang sangat menarik dan tepat. Secara sederhana dapat dibayangkan, jika ada 20 juta saja dari umat Islam Indonesia menyerahkan uang sebesar Rp. 50.000 untuk wakaf. Maka, dalam kalkulasi sederhana akan diperoleh Rp 1 triliun dana wakaf yang siap diinvestasikan.

Kemudian, serahkan dana siap investasi tersebut kepada pengelola profesional yang memberi jaminan esensi jumlahnya tak berkurang dan malah bertambah dengan digulirkan sebagai investasi. Apa yang segera diperoleh dari dana tersebut ? Taruhlah dana tersebut sekedar dititipkan dibank Syari’ah dengan bagi hasil 10% pertahun. Maka, pada akhir tahun sudah ada dana segar Rp. 100 Miliar yang siap dimanfaatkan. Perhitungan tersebut baru 20 juta dari sekitar 210 juta penduduk Muslim di Indonesia, dan nominalnya baru Rp. 50.000. Jika nilai nominalnya perwakaf Rp. 500 ribu, maka akan mencapai Rp. 10 triliun. Perhitungan itu baru untuk masa satu kali wakaf. Lalu bagaimana jika 20 juta dari umat Islam tersebut berwakaf uang dalam tiap tahun.

Sungguh, ini merupakan  potensi dana umat yang luar biasa. Bahkan, lebih lanjut dapat dibayangkan bila Rp. 100 Miliar sebagai hasil dari pengelolaan dana wakaf Rp. 1 Triliun seperti yang kita asumsikan diatas terwujud, maka betapa banyak orang yang hidup dibawah garis kemiskinan dapat merasakan manfaat dana tersebut. Sekian ribu anak yatim bisa disantuni, sekian puluh sekolah dasar dapat dibangun, sekian balai kesehatan bisa didirikan, sekian petani dan pengusaha kecil bisa dimodali. Faktanya, Badan Wakaf Indonesia (BWI) per-30 Juni 2010 telah berhasil menghimpun wakaf uang sebesar Rp. 1,426,505,238 dan demikian juga dengan penghimpunan wakaf uang yang dilakukan oleh Tabung Wakaf Indonesia (TWI) dan Nazhir wakaf lainnya yang jumlahnya juga telah mencapai miliaran rupiah.

Penutup

Dari semua penjelasan yang telah dipaparkan, Pengelolaan wakaf uang saat ini jelas menunjukkan prospek yang cerah dan memiliki arti strategis sebagai alat menyejahterakan umat yang tidak memperhitungkan jangka waktu dan keuntungan materi bagi yang mewakafkan. Secara Ekonomi, Wakaf uang memiliki potensi yang sangat besar dalam meningkatkan kegiatan ekonomi umat secara mikro dan ekonomi negara secara makro. Bahkan, bila dikelola dengan profesional,manajerial dan transparan, nilainya sungguh amat fantastis dan dapat menjadi alternatif  bagi penanggulangan kemiskinan.

Apalagi, saat ini  di Indonesia legalitas wakaf uang ini telah kokoh yaitu dengan ditetapkannya fatwa MUI tentang kebolehan wakaf uang Pada 11 mei 2002, UU No. 41 Tahun 2004, PP No 42 Tahun 2006 tentang wakaf  dan  PMA No.4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang yang mengakomodasi uang sebagai bagian dari benda yang boleh diwakafkan. Namun, sebesar apapun potensi yang dimiliki, tanpa didukung oleh kemampuan untuk menghimpun, mengelola dan mengembangkan dengan manajemen yang profesional, bersih dan bertanggung jawab, maka potensi hanyalah sekedar potensi, bahkan boleh jadi hanya sebuah mimpi. bagaimanapun, tentu kita semua berharap semoga potensi tersebut menjadi sebuah kenyataan, dan manfaatnya dapat dirasakan oleh sekalian umat manusia dan selamat berjuang para Nadzir wakaf  sebagai pejuang wakaf Indonesia.     

Daftar Pustaka

Al Qur’an al Karim
‘Abidin,Ibn,  Raddu  al Mukhtar, VI, Beirut ; Dar al Kutub al Ilmiyah, 1994
Abu As Su’ud Muhammad, Risalatu Fi Jawazi Waqfi An Nuqud, Beirut ; Dar Ibnu Hazm, 1997
Ala’udin mahmud za’tari, Al Nuqud Wadzhoifuha al asasiyah wa ahkamuha as Syar’iyah, Beirut ; Dar al Qutaibah, 1996
Al-Kubais, Muhammad Ubaid, Ahkamul Waqaf fi Syari’ah al Islamiyah, Bagdad : Matba’ al Irsad, 1977
Amin, Hasan Abdullah, Idarah wa Tasmir mumtalakat al auqaf, Jeddah : Al Ma’had al Islamy li al buhus wa al Tadrib al bank al Islamy li al Tanmiyah, 1989
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam tentang wakaf, ijarah dan syirkah, Bandung: al Ma’arif,1987
Daud Ali , Muhammad ,Sistem ekonomi Islam , zakat dan wakaf, Jakarta : UI Press, 1988
Depag RI, ,Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Depag RI Ditjen Bimas Islam dan urusan Haji Direktorat Urusan Agama Islam, 2007
Djatniska, Pandangan Islam tentang infaq, sadaqah, zakat dan wakaf sebagai komponen dalam pembangunan, Surabaya : al Ikhlas, 1983
Imam Suhadi,  Hukum Wakaf di Indonesia, yogya : Dua dimensi, 1985
Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Oxford University Press, Volume IV, 1995.
Khalaf, Abdul Wahab, ahkam al Waqaf, Mesir : Matba’ah al mishr, 1951
Mahmud Ahnad Mahdi, al Nidzhom al Waqf fi al Tadbiq al Mu’asir,  Jeddah ; IDB, 1423 H.
Mannan,M.A. Cash Waqf Certificate, Presentation at Third Harvard University Forum on Islamic Finance, Harvard University,USA, Oktober,1,1999
Murat Cizakca, Awqaf in history and its implications for modern Islamic economies, Islamic economic studies Vol 6, No 1, November 1998,  Jedah ; IRTI – IDB, 1999
Nabil Subhi Ath-Thawil,Dr,  Kemiskinan dan keterbelakangan di Negara-negara Muslim, Bandung ; Mizan , 1985.
Nawawi,  Al Majmu’, XVI, Beirut ; Dar al Fikr, 1996
Pirac, Membangun kemandirian berkarya; potensi dan pola derma, serta penggalangannya di Indonesia, Jakarta ; Pirac, 2002
Qudamah,Ibn,  Al Mughni  Wa Syahrul Kabir,  Beirut ;  Dar al-Kutub, tt
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al Islamy wa adilatuhu, Kairo : Dar al Fikr,juz VIII, 1985
Yusuf Qardhawi, Muskilah al Faqr Wa Kaifa I’lajuha  al Islam, Kairo, 1995
Zahroh,Abu,  Muhadharat Fi al-Waqfi, Kairo ; Dar al Fikr al Arabi,1971.                

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *