Diskursus Nazhir Wakaf Produktif

Oleh Prof. Dr. KH. Tholhah Hasan, Ketua Badan Pelaksana BWI.Pengertian “nazhir” dalam kontek wakaf adalah orang atau sekelompok orang yang bertanggung

Permohonan Ganti Nazhir Dikabulkan
Wakaf Manfaat Asuransi? Ini Fatwa DSN-MUI
Peningkatan Kualitas SDM LKS-PWU

Oleh Prof. Dr. KH. Tholhah Hasan, Ketua Badan Pelaksana BWI.

Pengertian “nazhir” dalam kontek wakaf adalah orang atau sekelompok orang yang bertanggungjawab untuk mengurusi, mengelola, menjaga dan mengembangkan barang wakaf.  Nazhir  dapat dilakukan oleh orang yang  berwakaf (al-waqif) atau orang lain yang ditunjuk  oleh  waqif, atau  mauquf  ‘alaih (orang atau pihak yang menerima hasil wakaf, menurut salah satu  pendapat madzhab), atau oleh hakim (pemerintah) apabila si waqif tidak menunjuknya. Apabila waqif menunjuk nazhir kepada beberapa orang secara berurutan, seperti: saya tunjuk si A menjadi nazhir wakaf saya, dan kalau dia meninggal supaya diganti si B, dan kalau dia meninggal supaya  diganti si C. Maka, penunjukan waqif tersebut harus dipenuhi. Diriwayatkan, bahwa ‘Umar ibi Khothab, menjadi nazhir harta wakafnya sendiri, kemudian berpesan agar yang menggantikannya sebagai nazhir selanjutnya adalah Khafshaf (puterinya) selama masih hidup, dan seterusnya akan  digantikan oleh  orang-orang  yang  kompeten dari  keluarganya .(HR. Abu Daud).

Apabila waqif tidak menetapkan nazhir, maka diusulkan kepada pemerintah  agar menunjuk nazhir. (Nihayatu  al-Muhtaj,  5/ 398). Dalam  masalah  wakaf ,   nazhir   memang  tidak   termasuk  salah  satu  rukun  wakaf  yang  empat. Pertama, sighah, yaitu kata atau pernyataan yang menunjukkan kemauan   seseorang  untuk  mewakafkan   sebagian   harta  miliknya,  baik  secara  jelas  ( shorih ), seperti  ia  mengatakan : saya  mewakafkan  tanah  saya ini untuk masjid. Atau dengan samaran (kinayah), seperti ia  menyatakan: hasil  sewa bangunan  ruko  saya  ini  untuk  fakir  miskin . Kedua, waqif, orang  wang  ber-wakaf,  yang  memenudi  syarat,  yaitu orang  yang  memiliki kesadaran  penuh (‘aqil) , sudah  dewasa (baligh), tidak  terhalang  haknya  (ghair  mahjur ‘alaih) tidak  terpaksa  (ghair mukrah), dan  sebagai  pemegang  hak  milik terhadap  barang  yang  diwakafkan  (malik ‘ain al-waqf).

Ketiga, mauquf  ‘alaih ,  yaitu   fihak  yang  menjadi  sasaran  hasil  wakaf, baik perorangan  atau  kelompok  orang  atau  institusi seperti  masjid, pondok  pesantren, dan  lain sebagainya. Sasaran  penerima  hasil  wakaf disyaratkan harus sasaran yang baik (jihatu  birrin) dan bukan sasaran  maksiat  (jihatu  ma’shiah),  dan  sifatnya  kontinyu .  Namun  sebagian ulama ada juga yang berpendapat,  bahwa penyaluran manfaat hasil  wakaf  boleh  juga  tidak  kontinyu  (munqathi’ah). Keempat, mauquf, yakni barang yang diwakafkan,  dengan  syarat  barang tersebut  dapat diambil manfaatnya atau dimanfaatkan menurut syara’, tidak   boleh mauquf itu barang yang dilarang oleh syara’(agama), seperti  khamar, kasino, dan  sejenisnya.

Menurut ulama-ulama fikih kontemporer, barang wakaf  boleh berupa uang tunai (waqfu  an-nuqud),  atau surat-surat berharga  (saham, sukuk, deposito syari’ah, dll.) sebagaimana yang sekarang telah diberlakukan. oleh badan-badan wakaf diseluruh dunia, termasuk di Indonesia. 

Siapa yang berhak menunjuk atau mengangkat Nazhir? Para ulama fikih  berbeda pendapat dalam masalah hak penunjukan atau pengangkatan Nazhir, secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut:
Madzhab Hanafiyah (Ahnaf) berpendapat bahwa Nazhir boleh dilakukan  oleh Waqif sendiri, atau ia menunjuk orang lain sebagai Nazhir. Kalau tidak  demikian, maka pemerintah (hakim) yang akan menunjuk  atau  menetapkan  Nazhirnya. (Lihat, Isa Zaki, “Mujaz Ahkam al-Waqf”,  Majalah  AUQAF,  November  2000 M/ Sya’ban  1421  H. Al-Amanah  al-Ammah  li  al-Auqaf,  Kuwait.). Madzhab Syafi’iyah terdapat tiga pendapat dalam penunjukan dan  pengangkatan Nazhir; (1) oleh Waqif, (2) oleh Mauquf ‘alaih, dan (3) oleh  pemerintah. (Al-Muhadzab, 1/Bab  al-Waqf). Madzhab Malikiyah berpendapat, bahwa Waqif tidak boleh menunjuk atau  mengangkat dirinya sendiri sebagai Nazhir wakafnya, agar tidak  memberikan image seakan-akan ia wakaf untuk dirinya sendiri, atau karena  lamanya waktu ia akan melakukan hal-hal yang menyimpang dari tujuan  wakaf.  

Madzhab Hambaliyah (Hanabilah) mengatakan, bawa yang boleh menjadi  Nazhir adalah Mauquf ‘alaih apabila ia merupakan seseorang tertentu,  seperti: Ahmad atau Agus. Apabila Mauquf ‘alaih itu terdiri dari beberapa  orang terentu, maka masing-masing  mareka  menjadi Nazhir  sesuai  dengan  bagian wakaf yang ditetapkan untuknya. Tetapi apabila wakaf tersebut untuk  orang-orang yang tidak tertentu, seperti; orang-orang fakir, atau orang-orang  miskin, atau para ulama, atau mujahidin atau wakaf untuk fasilitas umum,  seperti; mesjid, madrasah, pondok pesantren, maka yang menjadi Nazhi  adalah pemerintah atau yang mewakilinya. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami, 8/231.)    

Mayoritas  ulama  Sunny  menetapkan  syarat-syarat  nazhir  sebagai berikut:
1.    Islam (al-Islam), sebab nazhir merupakan suatu kekuasaan, dan tidak  layak orang kafir memegang jabatan membawahi urusan orang muslim.
2.    Berakal sehat (al-‘Aql) sehingga tidak sah apabila orang gila menjadi  nazhir.
3.    Dewasa (al-Bulugh), dan tidak sah mengangkat anak kecil (belum  dewasa) menjadi  nazhir.
4.    Adil (al-‘Adalah), dalam arti menjaga diri dari perbuatan dosa besar  dan atau membiasakan perbuatan dosa kecil, seta amanah/ juju dan  bertanggungjawab, sehingga tidak boleh mengangkat orang yang  suka berbuat dosa dan tidak jujur menjadi nazhir .
5.    Mampu (al-Kafa’ah), dalam arti seorang nazhir harus dapat  melakukan tugas-tugas kenazhirannya secara professional dan  kompeten. (Hasyiah  ad-Dasuqi, 4/ 452).

Dilingkungan empat madzhab (Hanafiyah/Ahnaf, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah/ Hanabilah) terdapat perbedaan pendapat tentang “syarat adil “   bagi nazhir. Menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah,  menyatakan tidak perlu adanya syarat adil bagi nazhir, tapi cukup dengan   syarat “amanah”. (Mughni  al-Muhtaj, 2/ 293) Tetapi madzhab Syafiiy mengharuskan adanya syarat adil  bagi Nazhir. (Kifayatu  al-Ahyar, 1/ 197).

Dalam UU No. 41 Th. 2004 Tentang Wakaf, dijelaskan bahwa Nazhir  ada  tiga  macam: nazhir  perorangan, nazhir  organisasi, dan nazhir  badan  hukum. Nazhir  perseorangan  disyaratkan  sebagai  berikut: Warga  Negara  Indonesia, beragama  Islam, dewasa, amanah, mampu secara  jasmani  dan  rohani, serta tidak terhalang  melakukian  perbuatan  hukum. Sedangkan  nazhir  organisasi, disyaratkan: pertama, pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir  pereseorangan sebagaimana tersebut di muka. Kedua, organisasi yang bergerak di bidang social, pendidikan, kemasyarakatan dan/ atau  keagamaan Islam. Sedangkan nazhir badan hukum, disyaratkan agar supaya: pertama, pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan seperti tersebut di muka. Kedua, badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/ atau keagamaan Islam. (UU No. 41 Th. 2004, pasal 9 – 10).

Dicantumkannya syarat  “ke-Indonesiaan”  bagi  nazhir  perorangan,  nazhir organisasi, maupun  nazhir  badan  hukum  dalam  UU No. 41  Th. 2004  tersebut  memang  tidak  berdasarkan  ketentuan hukum fikih  madzhab  manapun, tetapi atas alasan/ pertimbangan protektif dan semangat  nasionalitas, agar jangan  sampai  terjadi  hilangnya  aset  wakaf  dibawa  kabur   oleh  nazhirnya  yang bukan  warga  negara   Indonesia , atau  oleh  organisasi  atau  oleh  badan  hukum yang diluar  kewenangan  pemerintah  Indonesia untuk  menindakny.  Hal  itu  tidak  dilarang, dalam  rangka  perlindungan  aset-aset  wakaf,  karena  seperti  diketahui  bahwa  umumnya  hukum  wakaf  adalah  ijtihadi   (didasarkan  ijtihad),  dan membuka  peluang  kepada  umat  Islam  untuk  menalarnya  sesuai  dengan  tujuan  dan  prinsip  kemaslahatan  yang  menjadi  tujuan  syari’a.

Prof.  Musthafa  az-Zarqa’  menegaskan, sesungguhnya  rincian-rincian  hukum  wakaf   yang  ditetapkan  dalam  fikih, semuanya  berdasarkan  hasil  ijtihad  dan qiyas,  karenanya  masih  banyak  peluang  untuk  dikaji  secara  nalar. (Musthafa  az-Zarqa’, Ahkam  Al-Auqaf , 1/15). Tugas dan kewajiban nazhir menurut hukum fikih dalam garis besarnya  adalah melakukan segala hal yang  barkaitan  dengan  perlindungan terhadap barang wakaf, penjagaan terhadap kemaslahatannya dan pengembangan  kemanfaatannya. Secara  lebih  rinci  dapat  diuraikan  sebagai  berikut:

Pertama, memberdayakan   barang  wakaf,  dengan  melakukan  penjagaan  dan  perbaikan  untuk  melindungi  barang  wakaf  dari  kerusakan  dan kehancuran,  agar  tetap   memberikan   manfaatnya sebagaimana  yang  menjadi  maksud  wakaf  tersebut. Kedua, melindungi  hak-hak  wakaf,  dengan  melakukan   pembelaan/advokasi  dalam  menghadapi  sengketa  hukum,  atau  penggusuran  dan   perampasan,  demi  menjaga  kelestarian dan  kemanfaatan  wakaf  untuk  kesejahteraan  masyarakat.

Ketiga, menunaikan  hak-hak  mauquf ‘alaih,  dengan  menyalurkan  hasil  wakaf  kepada  yang  berhak , dan  tidak  menundanya  kecuali  karena  keadaan  darurat  atau  ada  alasan-alasan  syar’iyah yang  benar. Keempat, melaksanakan  syart-syarat  waqif , dan  tidak  boleh  menyalahi syarat-syarat  tersebut kecuali dalam  situasi  dan  kondisi  yang khusus  yang  sulit  dihindari ,   seperti  dalam   penunjukan  nazhir  perorangan  yang  tidak  mungkin dilakukan , karena  tidak   memenuhi  syarat  kenazhiran.  (Raudlatu at-Tholobin  V/348). 

Disamping  itu, nazhir  dilarang  melakukan  hal-hal  yang  dapat menimbulkan  fitnah  dan  kecurigaan, seperti: pertama, menyewakan  barang  wakaf  kepada  dirinya sendiri atau  keluarga  dekatnya  (anak-anak  atau  isteriya). Kedua, menggadaikan  barang  wakaf  atau  meminjamkan  harta wakaf kepada  orang  lain  yang  tidak  dijamin  keamanannya,  karena hal-hal   tersebut  dapat   menyebabkan  lenyapnya   atau  rusaknya  barang  wakaf. Ketiga, bertempat tinggal dirumah atau tanah wakaf tanpa membayar sewanya, kecuali karena darurat atau alasan lain yang dapat  dipertanggungjawabkan (seperti karena kemiskinan atau adanya  bencana  alam, dan  nazhir  membutuhkan  penampungan  sementra ). (al-Dasuqi, 4/89). []

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: