Menyonsong Kebangkitan Wakaf

Perkembangan pengelolaan wakaf di Indonesia terus menunjukkan tren yang positif. Hal tersebut dapat dilihat dari upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan wakaf melalui proses transformasi digital dalam membangun ekosistem wakaf nasional. Peluncuran Wakaf Super Apps yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada tanggal 10 April 2021 lalu menegaskan bahwa transformasi digital telah menjelma menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting dalam upaya mengoptimalkan potensi wakaf yang sangat besar ini. Ada tiga platform yang diluncurkan oleh BWI sebagai bagian dari ikhtiar digitalisasi wakaf ini, yaitu pengembangan e-services bagi pelayanan kenazhiran, pengembangan platform berkahwakaf.id untuk penguatan fundraising wakaf uang dan wakaf melalui uang, serta pengembangan sahabatbwi.com sebagai platform media sosial berbasis komunitas yang menjadi salah satu media edukasi dan sosialisasi wakaf.

Peluncuran Wakaf Super Apps ini merupakan fase pertama dari proses transformasi digital yang tengah dijalankan oleh kepengurusan BWI periode 2021-2024 ini. Diharapkan, melalui pengembangan aplikasi ini, konektivitas antar stakeholder perwakafan bisa semakin diperkuat, sehingga optimalisasi potensi wakaf ini bisa diakselerasi dengan baik. Berdasarkan laporan digital yang dirilis oleh HootSuite, terungkap bahwa dari 274,9 juta penduduk Indonesia per Januari 2021, pengguna internet tercatat mencapai angka 202,6 juta jiwa. Angka ini meningkat sebesar 16 persen dari tahun 2020 lalu. Artinya, peningkatan jumlah pengguna internet ini sangat signifikan dalam kurun waktu satu tahun terakhir.

Selanjutnya, masih dalam laporan yang sama, jumlah pengguna media sosial di tanah air mencapai angka 170 juta penduduk pada tahun ini, meningkat 6,3 persen dari tahun sebelumnya. Pengguna media sosial ini setara dengan 61,8 persen dari total jumlah penduduk yang ada. HootSuite juga mencatat bahwa jumlah telepon genggam yang ada di Indonesia mencapai angka 345,3 juta buah, atau 125,6 persen dari total penduduk. Artinya, penduduk Indonesia rata-rata memiliki lebih dari satu telepon genggam. Yang menarik, orang Indonesia menghabiskan waktu 8 jam 52 menit setiap harinya, atau setara 37 persen dari waktu yang ada, untuk menggunakan internet. Artinya lebih dari sepertiga waktu yang ada setiap harinya dihabiskan untuk berselancar di dunia maya.

Dengan kondisi tersebut, dimana masyarakat semakin dekat dengan kehidupan digital, pilihan untuk melakukan penetrasi dakwah wakaf melalui teknologi digital menjadi pilihan yang sangat strategis. Apalagi hal tersebut didukung fakta bahwa semangat berbagi masyarakat tetap tinggi, meski berada di tengah resesi ekonomi. Mekanisme people to people transfer berjalan dengan baik dan angkanya juga terus meningkat. Jika merujuk pada data ZIS (Zakat, Infak, dan Sedekah), maka berdasarkan survey Pusat Kajian Strategis BAZNAS, jumlah pembayaran ZIS melalui institusi informal, seperti masjid dan atau membayar langsung ZIS ke penerimanya, meningkat dari Rp 59 triliun pada 2019 menjadi Rp 61 triliun pada tahun 2020. Jika dikombinasikan dengan pembayaran ZIS melalui lembaga zakat resmi, maka angkanya naik dari Rp 69 triliun pada 2019 menjadi Rp 73 triliun pada 2020.

Peningkatan pengumpulan ZIS di tengah pandemi dan resesi ekonomi menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya masih memiliki rasa empati dan peduli yang tinggi. Dengan pentrasi digital yang semakin tinggi, maka pengembangan digitalisasi wakaf menjadi langkah yang tepat untuk memfasilitasi masyarakat yang ingin berbagi melalui wakaf. Diharapkan, berwakaf bisa bertransformasi menjadi gaya hidup atau life style masyarakat, dimana berwakaf menjadi kebutuhan publik yang harus dipenuhi. Apalagi motivasi Islam kepada umatnya untuk berwakaf sedemikian tinggi. Wakaf adalah ibadah yang bisa mengalirkan pahala secara berkelanjutan kepada seseorang, meski orang tersebut telah meninggal dunia.

Namun demikian, transformasi digital ini harus diimbangi dengan inovasi program yang berkelanjutan. Inovasi ini mencakup program pengumpulan wakaf uang dan program pengelolaan aset wakaf dan penyalurannya pada mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf). Pada sisi pengumpulan, ada gagasan yang sangat menarik, yang disampaikan oleh Ketua BWI Prof Mohammad Nuh. Beliau mengusulkan perlunya mengaitkan wakaf dengan simbol-simbol tertentu. Salah satunya, simbol rasa cinta abadi diantara dua manusia, yang diwujudkan melalui pernikahan. Beliau mengusulkan agar berwakaf dijadikan sebagai simbol keabadian dua insan yang dimadu kasih. 

Jika setiap pasangan yang mau menikah kemudian melaksanakan wakaf sebagai bagian dari prosesi pernikahan yang dilakukan, maka dampaknya akan signifikan. Data Kemenag menunjukkan bahwa setiap tahun tidak kurang dari dua juta prosesi pernikahan yang tercatat di KUA. Jika setiap pasangan berwakaf minimal Rp 20 ribu, maka akan terkumpul Rp 40 miliar setiap tahunnya. Jika berwakaf Rp 100 ribu, maka yang terkumpul adalah Rp 200 miliar per tahunnya. Ini tentu akan mengundang keberkahan dalam pernikahan mereka. Bukankah wakaf cocok dengan simbol keabadian cinta manusia?

Kombinasi digitalisasi dan inovasi program ini akan memberikan efek visualisasi yang kuat kepada publik. Hal ini sangat penting karena efek visualisasi akan memengaruhi loyalitas dan komitmen publik untuk berwakaf, karena mereka melihat dengan nyata program wakaf yang dilakukan. Bagaimana wakaf bisa memberikan manfaat dalam kehidupan dan menghasilkan perubahan nyata di tengah masyarakat. Jika ini bisa terus kita kelola dengan baik, maka peran wakaf akan semakin signifikan dalam kehidupan bangsa ini ke depannya. Dengan perkembangan yang ada saat ini, penulis yakin bahwa Ramadhan 1442 H ini adalah momentum kebangkitan wakaf di Indonesia. Insya Allah. Wallaahu a’lam.

Penulis  : Irfan Syauqi Beik (Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI)
Sumber : Republika, Kamis 22 April 2021

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *