Bogor – Salah satu hal yang menjadi perhatian BWI adalah konflik atas tanah wakaf. Seringkali BWI kedatangan tamu yang melaporkan pengaduan dan gugatan ahli waris atas tanah wakaf. Ini menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia masih belum dewasa, masih ribut dengan urusan seperti ini. Bagaimana mau diproduktifkan kalau statusnya saja bermasalah. Demikian diungkapkan Dewan Pembina BWI KH. Anwar Ibrahim di Jakarta, kemarin.
Kiai Anwar merasa perihatin dengan adanya konflik wakaf, seperti yang belum lama ini terjadi di Bogor, Jawa Barat. Dalam kasus tersebut, Kantor Pengadilan Agama (PA) Kota Bogor menyita jaminan lahan seluas 2.810 meter persegi di Jalan Parungbanteng, RT 03/01, Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, (30/9). Penyitaan dilakukan guna menengahi perselisihan antara keluarga yang sama-sama mengklaim memiliki hak sebagai ahli waris.
Kebijakan itu ditempuh hingga menunggu putusan pengadilan yang proses sidangnya sedang berjalan di PA Bogor. Juru sita PA Bogor membacakan putusannya di hadapan kedua kuasa hukum yang sedang bersengketa. Panitera Sekretaris PA Bogor, Harun Al Rasyid mengatakan, sita jaminan itu dilakukan untuk memuluskan proses persidangan yang tengah berjalan.
“Tanah ini jadi status quo, kedua belah pihak tak boleh melakukan aktivitas di lahan ini sebelum ada keputusan tetap atau incrah dari pengadilan,” katanya saat ditemui di lokasi, kemarin.
Informasi yang dihimpun Radar Bogor, lahan tersebut semula adalah milik Arnas bin H Toyib. Lahan tersebut sudah diwakafkan ke DKM Masjid Parungbanteng yang berganti nama menjadi Masjid Al Munawaroh sejak 1938. Namun, belakangan muncul permasalahan, sehingga kasusnya kini bergulir di PA Bogor.
Sekretaris DKM Al Munawaroh, Ahmad Riva’i selaku ahli waris penggugat mengatakan, tanah tersebut adalah wakaf. “Ini tanah wakaf dari Hj Arnas bin H Toyib,” terangnya.
Kuasa hukum penggugat, Otto Bismak Fathullah menambahkan, tanah tersebut sudah diwakafkan sejak 1938 kepada Masjid Parungbanteng. Awalnya, tanah wakaf itu seluas 5.666 meter persegi. Namun, pada 1974 dijual sebagian oleh pengelola lahan. Sehingga, sisanya menjadi 2.810 meter persegi.
Setelah dijual sebagian, pada Februari 1971, ada dialog bersama para ahli waris dan keturunan Hj Arnas bin H Toyib. Keputusannya, tanah tersebut adalah tanah wakaf. Selanjutnya pada 1982 ada pertemuan lagi dengan ahli waris Hj Arnas bin H Toyib. Dan keputusannya tetap sama. “Kami punya buktibukti wakaf ini,” tegasnya.
Sementara itu, kuasa hukum tergugat, Imanuellita Warraw tetap mengklaim lahan tersebut adalah hak milik ahli waris. Bukan tanah wakaf dan tak pernah diwakafkan.
“Kita lihat saja nanti putusannya di pengadilan, karena saat ini sedang diproses,” katanya.(rdr-bgr/sal)