Belajar Mengelola Wakaf dari Negeri Singa

 

Jakarta | Saat masih sebagai Malaka, Singapura memang telah jadi pelabuhan yang ramai dikunjungi. Raffles pun tak sungkan menukar Bengkulu guna mendapatkan Malaka dari Belanda. Di tangan Lee Kuan Yeuw, Negeri Singa itu benar-benar jadi bandar penting. Begitulah tiga pemerintahan yang berbeda zaman dan karakternya, semua fokus pada potensi utama yakni letak Singapura yang strategis. Singapura pun tak lagi hanya unggul ditransaksi kelautan, melainkan juga di udara. Hilir mudiknya manusia, merangsang Singapura mengembangkan diri. Otomatis industri wisata berkembang yang menuntut adanya akomodasi hotel, makanan dan Singapura pun menyulap diri jadi pusat perbelanjaan. Dan siapa sangka, Singapura yang pengawasannya serba ketat, ternyata memberi ruang untuk pengelolaan wakaf. Saat ini bisa dibilang, tak satupun aset wakaf dikelola per orangan. Semua dikelola secara korporat. Artinya Indonesia yang masih asyik berwacana, tertinggal jauh dengan prestasi pengelolaan wakaf di Singapura. Menurut Hj. Shamsiah Abdul Karim, Penolong Direktor Unit Zakat dan Wakaf MUIS (Majelis Ugama Islam Singapura), tak ada lagi tanah yang bisa diwakafkan. Semua wakaf telah tercatat di MUIS.

 

Asset wakaf di Singapura total berjumlah S$ 250 juta. Tak ada lagi tanah wakaf baru di negeri yang luasnya tak lebih besar ketimbang Jakarta ini. Untuk mengelolanya, MUIS membuat anak perusahaan bernama WAREES. Singkatan dari Wakaf Real Estate Singapura. WAREES merupakan perusahaan kontraktor guna memaksimalkan asset wakaf.

 

Dalam prakteknya WAREES tak hanya sekadar membangun phisik, melainkan juga menjadi konsultan manajemen dan bisnis untuk pengembangan asset wakaf tersebut. Bentuk asset ini beragam. Untuk masjid sudah ada lima masjid yang dibangun dengan sistem WAREES. Bentuk arsiteknya menarik. Dari gaya tradisional hingga yang paling modern. Di antara wakaf itu pula, ada satu yang telah menjadi hotel berbintang empat. Sebelum dibangun jadi hotel, awalnya hanya merupakan kedai makan sederhana. Lalu WAREES meminjam dana Sukuk untuk membangun hotel 12 lantai.

 

Setelah terbangun dan atas izin MUIS, WAREES mengontrak Astor guna mengoperasikan manajemen hotel. Sewa per hari, kamar standar bertarif mulai dari S$ 144. Bagi hasil bersih yang disepakati, 70% untuk MUIS sisanya Astor. WAREES pun berkantor di gedung yang berdiri di atas tanah wakaf. Gedung ini terdiri atas 8 lantai. Dibangun dengan pinjaman dana Sukuk sebesar S$ 3 juta, yang harus dikembalikan selama lima tahun. Gedung berlantai 8 ini telah full disewa.

 

Dari sewa itu, penghasilan bersih mencapai S$ 1.5 juta per tahun. Dalam jangka tiga tahun, pinjaman pun bisa dilunasi. Selanjutnya adalah keuntungan milik MUIS yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat muslim Singapura. Dalam mengelola asset wakaf, MUIS lebih serius dengan membentuk WAREES, perusahaan yang bertanggung jawab mengelola seluruh asset wakaf di Singapura. Sebagian wakaf itu harus dikembangkan secara bisnis.

 

Total keuntungan diserahkan kepada MUIS, yang oleh MUIS sebagian keuntungan itu digunakan untuk memelihara asset wakaf yang lain. Juga penting untuk diketahui, selain mengelola wakaf, MUIS juga bertanggung jawab mengurus jamaah haji Singapura dan memenej Zakat, Infak, dan Shadaqah.

 

Dari luar, pemerintah Singapura tampaknya begitu ketat, keras dan tegas memantau kehidupan warganya. Kesannya bahkan tangan besi. Karena memang tak ada partai dan tak ada pemilu-pemiluan. Lebih-lebih dengan isu teror dan bom, warga muslim seolah mendapat perhatian ekstra ketat. Tetapi toh pengelolaan wakaf tetap mendapat ruang yang luas. Bahkan yang lebih menarik, pembayaran Zakat Infak dan Shadaqah secara otomatis jadi pengurang pajak. Ini telah dijamin dalam undang-undang. [two/eri/aum]

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent posts