Semarang – Nazhir (pengelola) wakaf perlu kreatif agar harta yang wakaf awet dan berkembang. Di antaranya dengan menerapkan manajemen penggalangan dana masyarakat atau biasa disebut fundraising harta benda wakaf. Selama ini, wakaf sering dimaknai secara rigid semisal tanah atau bangunan yang merupakan aset tak bergerak. Padahal, wakaf bisa berupa uang dan juga harta benda bergerak yang lain seperti emas, saham, kendaraan, dan sebagainya.
Wakaf yang dikelola secara profesional dan kreatif, serta menerapkan manajemen fundraising, manfaatnya terus menerus dan berkesinambungan meski nazhirnya berganti-ganti. Hal ini dipaparkan Miftahul Huda dalam ujian promosi doktor atas dirinya dalam Rapat Senat Terbuka Terbatas di Aula Gedung Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, medio bulan kemarin, tepatnya 16 November.
Ia berhasil mempertahankan disertasi berjudul “Pengelolaan Wakaf dalam Perspektif Fundraising: Studi Tentang Penggalangan Wakaf pada Yayasan Hasyim Asy’ari Ponpes Tebuireng Jombang, Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dan Yayasan Dana Sosial Al-Falah Surabaya”.
Menurut kesimpulannya, eksistensi Ponpes Tebuireng Jombang, terus berkembang setelah pengurus Yayasan Hasyim Asy’ari menerapkan fundraising berbasis kearifan tradisi.
Sedangkan Yayasan Badan Wakaf UII Yogyakarta, bertahan dan berkembang seusia republik ini, karena menerapkan fundraising pemberdayaan masyarakat berbasis universitas.
Adapun Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) Surabaya sebagai lembaga filantrofi tertua di Indonesia, yang berbasis kaum dhuafa, berhasil menggalang dana wakaf masyarakat kota dan mengembangkan wakaf itu dalam program investasi dan ekonomi produktif.
“Ketiga nadhir wakaf tersebut menerapkan fundraising dengan menghimpun wakaf dari sumber yang tersedia, membuat unit usaha sehingga aset wakaf produktif, serta mampu mendatangkan penghasilan bagi nadhir (earned income) plus pemberdayaan masyarakat,” terangnya.
Atas hasil penelitian dan karya tulisnya itu, promovenda dinyatakan lulus sangat memuaskan dengan skor Indeks Prestasi 3,74 oleh tim penguji.
Para pengujinya ialah Prof Dr Ibnu Hadjar, prof Dr Khoirudin Nasution, Prof Dr Ahmad Gunaryo, Ahmad Hakim PhD, serta Abu Hafsin PhD. Adapun promotornya adalah rektor IAIN Walisongo Prof Dr Muhibbin dan co-promotor Dr M Nafis.
Dengan hasilnya itu, Miftahul Huda menjadi doktor kelima yang diluluskan oleh Program Doktor IAIN Walisongo Semarang. Tim penguji menilai Huda sangat berani menggabungkan dua disiplin ilmu berbeda, yakni syariat Islam dan ilmu ekonomi. Dan hal itu merupakan sumbangan sangat bagus bagi ilmu pengetahuan.
“Luar biasa. Anda sangat berani meneliti tema itu. Disertasi Anda menggabungkan dua disiplin ilmu. Kepeloporan Anda ini patut ditiru ilmuwan lain,” tutur co-promotornya, Dr M Navis.
Miftahul Huda adalah dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo yang menemuh jenjang S1 di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga (lulus tahun 2000) dan melanjutkan S2 di kampus yang sama dalam program studi Hukum Islam (lulus tahun 2002).
Pria kelahiran Kediri, 17 Mei 1976 ini juga mengajar di STAI Nahdlatul Ulama Madiun, dan aktif di kepengurusan NU Cabang Ponorogo. Yakni menjadi Sekretaris II Litbang PCNU Ponorogo, dan sekretaris Lajnah Tallif wa an-Nasr PCNU Ponorogo. (mn/mi/nu)