Orang yang mewakafkan hartanya disebut wakif. Menurut para jumhur ulama yang dikutip dari jurnal Universitas Darussalam Gontor karya Setiawan Bin Lahuri dan Rima Alaidi, wakif termasuk dalam salah satu rukun wakaf.
Wakif memegang peranan sebagai subjek wakaf. Sebab itu, seorang wakif memiliki otoritas penuh terhadap harta yang hendak diwakafkannya. Artinya, tidak ada unsur paksaan bagi seorang wakif dalam mewakafkan hartanya
“Seorang wakif harus mewakafkan harta yang dimilikinya bukan atas dasar paksaan melainkan harus atas kehendak sendiri dengan niat mengharapkan ganjaran berupa pahala dari Allah SWT,” tulis Setiawan Bin Lahuri dan Rima Alaidi.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang disebut dengan pihak wakif di antaranya meliputi perorangan, organisasi, hingga badan hukum dari warga negara Indonesia atau pun milik warga negara asing.
Untuk wakif perorangan, seorang wakif disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya seperti dilansir dari Fiqh Wakaf dari Kementerian Agama (Kemenag). Kecakapannya dalam bertindak ini meliputi empat kriteria yakni,
Kriteria Orang yang Mewakafkan Harta atau Wakif Perorangan
- Merdeka
Wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sebab itu, orang yang mewakafkan hartanya atau wakif harus memiliki kemampuan untuk melakukan tabarru’ (menyerahkan hak milik tanpa pertimbangan materiil).
Artinya, seorang budak atau hamba sahaya tidak memiliki keabsahan dalam melakukan wakaf. Namun, para fuqaha sepakat bahwa harta yang diwakafkan oleh hamba sahaya akan tetap sah, apabila harta tersebut telah mendapat izin dari sang pemiliknya.
- Berakal sehat
Wakaf hanya dibolehkan bagi mereka yang berakal sehat dan memiliki kemampuan dalam melakukan akad wakaf.
- Dewasa (baliqh)
Seorang wakif harus dalam kondisi dewasa atau baligh. Sebab, kondisi tersebut dianggap sudah cakap dalam melakukan akad dan menggugurkan hak miliknya.
- Tidak berada di bawah pengampuan (boros atau lalai)
Orang yang berada di bawah pengampuan (boros atau lalai) dianggap tidak mampu untuk tabarru’. Namun, berdasarkan istihsan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah.
Adapun dalil yang mensyariatkan amalan wakaf dapat disimak dalam beberapa ayat Al Quran dan hadits berikut ini,
Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS Ali Imran: 92).
Kemudian, wakaf juga disebut sebagai salah satu amal jariyah yang tidak terputus meskipun kita sudah meninggal. Beikut haditsnya,
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang shalih” (HR Muslim).
Rukun Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Berikut ini keseluruhan empat rukun wakaf yang perlu dipahami umat muslim.
- Wakif atau orang yang mewakafkan hartanya
- Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan)
- Mauquf ‘alaih (pihak yang diberi wakaf atau peruntukkan wakaf)
- Shighat (pernyataan atau ikrar wakaf sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya)
Jadi, jangan lupa untuk berwakaf bila kamu sudah memenuhi kriteria sebagai orang yang mewakafkan hartanya atau wakif.