Oleh: Irfan Syauqi Beik
Salah satu kabar yang menjadi angin segar dalam upaya memperkuat pembangunan ekonomi syariah adalah dimasukkannya RUU Ekonomi Syariah ke dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun 2022. RUU Ekonomi Syariah ini dijadikan sebagai RUU yang menjadi inisiatif DPR. Hal ini pun telah dikonfirmasi secara eksplisit oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan dan Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati dalam suatu FGD pertengahan Oktober lalu. Kita berharap agar RUU ini betul-betul dijadikan sebagai salah satu prioritas utama Prolegnas oleh Komisi XI sehingga diharapkan pembahasannya dapat rampung pada tahun 2022. Ada banyak harapan dan ekspektasi bahwa RUU Ekonomi Syariah ini akan membawa perbaikan sistim perekonomian syariah nasional ke arah yang lebih baik, lebih produktif, lebih inklusif, dan ikut memberi jawaban substantif terhadap persoalan ekonomi bangsa.
Tentu yang menjadi pertanyaan dasarnya adalah apa substansi yang akan menjadi intisari pembahasan RUU ini. Inilah hal yang paling fundamental untuk memastikan bahwa keberadaan RUU yang nantinya akan menjadi UU ini betul-betul memberikan manfaat yang optimal dalam mengakselerasi pembangunan ekonomi syariah di Indonesia. Penulis mencatat paling tidak, ada tiga substansi utama yang perlu mendapatkan perhatian, khususnya dari Komisi XI DPR yang akan menggawangi pembahasan RUU Ekonomi Syariah ini.
Pertama, penguatan sektor riil syariah, dalam hal ini adalah industri halal. Ini adalah hal yang sangat penting mengingat industri halal adalah salah satu ujung tombak penting perekonomian syariah nasional. Berbicara industri halal ini tentu bukan hanya bicara tentang sertifikasi halal, namun juga mencakup aspek-aspek penting lainnya, seperti bagaimana meningkatkan daya saing industri halal nasional, dan mendorong ekspansi produk halal nasional di pasar internasional. UU Ekonomi Syariah ini diharapkan dapat ikut membantu memetakan permasalahan mendasar yang dihadapi industri halal saat ini, dan memberikan jalan keluar yang terbaik terhadap persoalan tersebut, termasuk insentif yang dapat diberikan kepada para pelaku usaha halal nasional. Disinilah peran UU menjadi sangat penting karena payung hukum berupa UU akan memberi landasan yang kuat. Namun yang perlu diingat, jangan sampai UU ini salah memberikan preskripsi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh industri halal nasional.
Kedua, RUU Ekonomi Syariah ini diusulkan untuk juga berfungsi sebagai omnibus law di bidang ekonomi dan keuangan syariah. Artinya, kekurangan dan kelemahan pada regulasi terkait ekonomi dan keuangan syariah, hendaknya dapat diperbaiki oleh RUU ini. Sebagai contoh adalah di sektor wakaf. Sektor wakaf memerlukan sejumlah penguatan dari sisi regulasi, antara lain pada implementasi fungsi dan wewenang BWI dalam melakukan pengelolaan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional.
Kelemahannya adalah BWI tidak diberikan payung hukum kelembagaan yang dapat menjalankan fungsi sebagai nazhir tingkat nasional dan internasional ini. Secara pribadi penulis berharap agar dalam RUU Ekonomi Syariah, ada ruang bagi BWI untuk mengembangkan institusi di bawahnya secara mandiri, yang berfungsi sebagai nazhir berskala nasional dan internasional, serta menjalankan fungsi pendukung, yang cukup didirikan dengan Peraturan BWI. Termasuk di dalamnya, lembaga tersebut diberikan kewenangan untuk menerima dana selain wakaf uang dalam operasionalnya, yaitu dana infak, sedekah, hibah dan sumber dana halal lainnya, namun tidak termasuk zakat karena zakat berada di bawah kewenangan BAZNAS. Ini akan semakin memudahkan pengelolaan wakaf dan bisa mendorong upaya untuk mengoptimalkan aset-aset wakaf yang masih idle di tanah air. Juga aspirasi perbankan syariah untuk juga bisa menjalankan fungsi sebagai nazhir wakaf uang dapat diakomodasi melalui RUU Ekonomi Syariah.
Cinta Indonesia, [30.10.21 22:43] Demikian pula dengan aspirasi untuk mewajibkan zakat pada sisi hukum negara, dan juga berbagai kelemahan aturan pada pengembangan industri keuangan syariah non bank, dapat juga diakomodasi pada RUU Ekonomi Syariah. Pendeknya, hal-hal yang dapat memperkuat operasionalisasi institusi ekonomi dan keuangan syariah, yang belum terakomodasi dalam UU lainnya, dapat dibahas dan masuk menjadi bagian dari substansi RUU Ekonomi Syariah. Adapun UU utamanya, seperti UU No 41/2004 tentang Wakaf, dapat diamandemen sesuai dengan rencana prolegnas 2019-2024, meski belum dapat dipastikan akan dibahas di tahun berapa. Bisa di 2022, 2023 maupun 2024.
Ketiga, substansi RUU Ekonomi Syariah hendaknya juga mencakup penguatan infrastruktur pendukung sistim perekonomian syariah, seperti penguatan kelembagaan yang akan mensupervisi pelaksanaan ekonomi syariah dan menjalankan fungsi koordinasi antar kementerian/lembaga terkait. Selama ini fungsi tersebut dijalankan oleh KNEKS dengan payung hukum dalam bentuk Peraturan Presiden. Posisi KNEKS dapat diperkuat dalam RUU Ekonomi Syariah. Selain itu, dukungan terhadap penguatan riset strategis, kerjasama antar stakeholder strategis sehingga terbentuk ekosistim yang terintegrasi satu dengan lainnya, serta penguatan peran dan partisipasi publik, termasuk perlindungan kepada masyarakat, juga perlu mendapat perhatian mengingat semua aspek tersebut memberikan pengaruh dan dampak terhadap pembangunan sistim perekonomian syariah.
Terakhir, penulis berharap agar dalam pembahasan RUU ini, seluruh komponen bangsa dapat dilibatkan. Pandangan berbagai pemangku kepentingan ini diharapkan dapat memperkaya pembahasan RUU ini sehingga keberadaan RUU ini dapat memberikan dampak positif bagi bangsa dan negara. Wallaahu a’lam.
*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI
**Artikel ini telah dimuat di Republika 28 Oktober 2021