Salah satu harapan dan ekspektasi publik terhadap pengelolaan wakaf adalah adanya penguatan terhadap produktivitas ekonomi dari aset wakaf yang ada. Ini sangat penting mengingat porsi wakaf produktif saat ini masih belum sebesar wakaf berbasis program sosial dan pendidikan. Penguatan produktivitas ini diharapkan dapat memberikan dampak terhadap penguatan perekonomian secara keseluruhan, sehingga program wakaf produktif juga dapat berkontribusi dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi.
Sementara di sisi lain, para nazhir wakaf juga dihadapkan pada sejumlah persoalan terkait pengembangan wakaf produktif ini. Mulai dari persoalan kapasitas dan kompetensi bisnis, persoalan regulasi dan aturan seperti perlunya asuransi syariah pada setiap investasi aset wakaf di sektor rii, padahal belum ada produk asuransi syariah yang mau meng-cover¬-nya saat ini, masalah tata kelola, dan sejumlah persoalan lainnya. Namun demikian, sebagian nazhir telah pula berhasil mengembangkan sejumlah proyek wakaf produktif, seperti pengelolaan RS Wakaf, pengelolaan rumah makan, lumbung pangan berbasis wakaf, dan lain-lain. Meski skalanya masih perlu ditingkatkan, namun keberadaan program-program tersebut telah memberikan warna tersendiri dalam upaya memperkuat pembangunan wakaf di tanah air.
Dengan dinamika saat ini, penulis berharap kita semua dapat mendorong ekspansi pengelolaan wakaf produktif ke arah yang lebih besar lagi. Semakin membaiknya kondisi perekonomian harus dapat dimanfaatkan dengan baik. Ada beberapa hal yang perlu untuk terus dikembangkan agar proporsi wakaf produktif dapat terus meningkat dari waktu ke waktu.
Pertama, pentingnya untuk terus memperkuat dan meningkatkan kompetensi dan kapabilitas nazhir di Indonesia. Dalam konteks ini, langkah BWI dalam mendirikan LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) dan Lemdiklat (Lembaga Pendidikan dan Pelatihan) merupakan langkah strategis di saat yang tepat.
Diharapkan peran Lemdiklat dan LSP BWI dalam mensertifikasi dan memperkuat kualitas nazhir bisa semakin baik dari waktu ke waktu. Skema-skema yang ditawarkan diharapkan menjadi jalan untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan kemampuan teknis nazhir dalam mengelola aset wakaf dan mengoptimalkan potensi wakaf yang ada. Tinggal penulis berharap agar updating informasi dan pengetahuan yang diajarkan melalui Lemdiklat dan LSP ini bisa terus dijaga dengan baik.
Kedua, diperlukan adanya inovasi dan terobosan pada pengelolaan wakaf produktif yang ada saat ini. Keberadaan katalog wakaf produktif yang berisikan 14 proyek wakaf produktif senilai 2,2 trilyun rupiah merupakan salah satu langkah untuk mendorong peningkatan proporsi program wakaf produktif. Tinggal kita perlu tingkatkan pemasaran program-program tersebut agar semakin banyak pihak yang terlibat. Diharapkan tingkat kesadaran dan partisipasi publik.
Terkait dengan hal ini, maka sudah saatnya kita menseriusi skema sukuk linked wakaf sebagai salah satu upaya optimalisasi pengumpulan dana yang diperlukan. Jika pada CWLS (Cash Waqf Linked Sukuk) yang jadi fokus adalah penggunaan dana wakaf untuk membiayai proyek yang menjadi underlying asset penerbitan sukuknya, maka pada skema sukuk-linked wakaf, yang jadi underlying asset-nya adalah program-program wakafnya, sementara sukuk menjadi instrumen pengumpulan dananya. Model sukuk al-intifa’ yang dikembangkan Arab Saudi dalam pendirian Zamzam Tower di Mekkah dapat dijadikan sebagai salah satu referensi. Untuk itu, peran dan kolaborasi antar semua pihak, termasuk keterlibatan OJK dan BI menjadi sangat penting. Selain itu, inovasi dalam pemanfaatan kemajuan teknologi menjadi hal yang sangat krusial.
Masih dalam ranah inovasi ini, maka penulis melihat perlunya kita untuk memulai upaya alternatif dalam pengumpulan dana wakaf ini, terutama terkait pemanfaatan ruang-ruang dana secara global. Terkait ini, penulis mengusulkan agar Indonesia mendirikan Sovereign Wakaf Fund (SWF) yang dapat dijadikan sebagai kendaraan untuk mengundang masuknya arus investasi dana wakaf maupun non wakaf dari luar negeri, untuk membiayai program-program wakaf produktif di Indonesia. Tentu hal ini tidak bisa dikerjakan BWI sendirian, tapi perlu juga melibatkan khususnya Kementerian Keuangan dan KNEKS.
Penulis menyarankan agar Kemenkeu dapat mencoba mengkaji kemungkinan SWF Wakaf ini, sama seperti dengan kajian Sovereign Wealth Fund yang ujungnya melahirkan lembaga pembiayaan investasi. Keberadaan berbagai perusahaan investasi wakaf di sejumlah negara seperti Arab Saudi dan Kuwait, bisa menjadi peluang tersendiri.
Ketiga, perlunya penguatan sinergi dan kolaborasi dengan berbagai aktor perekonomian. Dalam hal ini, perlunya diperkuat kolaborasi dengan KADIN, yang telah memiliki badan ekonomi syariahnya sendiri. Kolaborasi ini adalah satu keniscayaan, dan dengan kapasitas dan kompetensi KADIN, maka akan ada banyak proyek wakaf produktif berskala besar yang bisa diinisiasi bersama. Apalagi sumberdaya lahan wakaf banyak yang belum termanfaatkan dengan baik, sehingga dengan kolaborasi bersama ini, sekurang-kurangnya biaya investasi tanah dapat direduksi dan diminimalisir hingga nol rupiah.
Keempat, perlunya penguatan program-program edukasi dan literasi wakaf yang kreatif sesuai dengan sasaran segmen masyarakat yang dituju. Pada akhirnya, literasi inilah yang memegang peranan paling fundamental dalam menggerakkan partisipasi publik, terutama sebagai wakif. Wallaahu a’lam.
Irfan Syaqi Beik, Anggota Badan Wakaf Indonesia
Artikel telah dimuat di Republika 25 November 2021