Istilah wakaf sering diidentikkan dengan tanah, masjid, dan barang-barang tidak bergerak lainnya. Kesan ini muncul disebabkan praktik wakaf yang terjadi di masyarakat Indonesia pada umumnya terbatas pada barang-barang tersebut. Wakaf tunai atau uang belum populis di masyarakat pada umumnya sehingga perhatian dan kontribusi masyarakat dalam berwakaf menjadi sangat rendah.

Wakaf itu beragam, adakalanya wakaf langsung atau wakaf tidak langsung (wakaf investasi). Wakaf langsung, yaitu harta wakaf yang langsung dimanfaatkan untuk penerima wakaf dan aset wakaf tetap ada di tangan nazir wakaf, seperti masjid untuk shalat atau rumah sakit untuk pengobatan. Sedangkan, dalam wakaf investasi, hasil investasi (manfaat atau keuntungan) yang disalurkan kepada penerima wakaf, sedangkan aset wakaf tetap ada di tangan nazir wakaf.

Pembagian ini menegaskan bahwa investasi menjadi sarana utama agar uang menjalankan fungsinya sebagai harta wakaf. Sehingga, setiap ada wakaf uang, akan ada investasi yang akan memperbesar porsi investasi, khususnya jika investasi ini diarahkan pada sektor riil. Pembagian ini juga menegaskan bahwa wakaf uang lebih abadi manfaatnya daripada wakaf langsung yang habis manfaatnya seiring dengan rusak dan habisnya harta wakaf tersebut.

Para ulama berbeda pendapat tentang wakaf uang ini. Menurut Mazhab Malikiyah, Muhammad Abullah al-anshar, dan Ibnu Taimiyah, wakaf tunai hukumnya boleh berdasarkan keumuman dalil-dalil wakaf.

Sebab, perbedaan pendapat para ulama tentang hukum wakaf tunai bukan karena derajat hadis wakaf atau matan hadisnya yang multitafsir, melainkan perbedaan cara pandang mereka tentang boleh atau tidaknya uang menjadi objek wakaf dan apakah uang termasuk benda yang tidak habis setelah digunakan.

Bagi ulama yang membolehkan wakaf uang, mereka berpandangan bahwa uang tidak habis manfaatnya setelah digunakan. Sedangkan, bagi para ulama yang berpendapat bahwa uang habis manfaatnya setelah digunakan, mereka tidak membolehkan wakaf uang.

Pendapat yang membolehkan wakaf uang ini yang diambil sebagai fatwa di lembaga-lembaga fatwa internasional karena menurut tradisi yang berlaku (al-‘urf al-ma’mul) saat ini, uang bisa menjadi harta wakaf dan bisa dimanfaatkan hasilnya untuk para mustahik.

Wakaf uang ini lebih strategis dibanding wakaf-wakaf lain karena uang sebagai alat beli dan modal lebih dibutuhkan masyarakat dibandingkan dengan barang-barang yang tidak bergerak, misalnya, tanah yang hanya dijadikan lahan pertanian atau disewakan, tetapi uang berfungsi banyak (multiguna), bisa dijadikan modal usaha produktif ataupun menjadi biaya-biaya konsumtif.
Karena itu, di Timur Tengah pada khususnya, praktik wakaf uang berkembang pesat. Aset wakaf begitu besar sehingga bisa membiayai lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, sosial, dan lainnya yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat. Karena itu, tingginya perolehan wakaf menjadi indikasi pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat secara maksimal. Rendahnya perolehan wakaf menjadi indikasi rendahnya pemenuhan kebutuhan mendasar tersebut.

Sumber : Republika

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent posts