Jakarta – Putusan tentang perijinan penukaran tanah wakaf atau ruislah ada di tangan Menteri Agama. Namun sebelum mengeluarkan izin tertulis, Menteri Agama harus mempertimbangkan rekomendasi yang diterbitkan BWI. Karena itu, sebelum berada di meja Menag, permohonan ruislah harus mampir dan digodok dulu di BWI.
Hal ini sesuai dengan amanah Pasal 49 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Aturan ini menyatakan, perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan dari BWI. Bulan Mei ini, BWI telah mengabulkan 3 permohonan rekomendasi ruislah.
1. Permohonan penukaran tanah wakaf di Kel. Duri Pulo Kec. Gambir, Jakarta Pusat.
Tanah wakaf ini diajukan untuk ditukar dengan alasan sudah tidak dapat difungsikan lagi secara optimal sebagaimana mestinya. Tanah wakaf ini terdiri 3 masjid dan 5 mushollah. Lokasinya tanah wakaf ini, semuanya berada dalam kawasan PT. Duta Pertiwi, TBK. “Makanya, sudah jarang masyarakat yang beribadah di tempat tersebut,” terang Sholeh Amin, anggota divisi kelembagaan.
Permohonan ini disetujui karena dengan beberapa pertimbangan. Pertama, luas tanah penukar lebih luas dari pada tanah asal. Luas tanah asal: 897 M2, luas tanah penukar: 2.500 M2. Kedua, NJOP tanah penukar juga lebih tinggi daripada tanah wakaf asal. NJOP tanah penukar adalah Rp. 2.176.000/M2. Sementara tanah wakaf asal NJOP-nya sebesar Rp. 1.926.000/M2.
Menurut Sholeh, persetujuan permohonan rekomendasi ruislah untuk tanah wakaf di Duri Pulo ini tidak bersifat mutlak, tapi dengan adanya catatan yang harus ditunaikan oleh pengembang PT Duta Pertiwi. Apa itu? Pihak pengembang harus membangun masjid bergandengan dengan proyek wakaf produktif berupa ruko di atas tanah wakaf tersebut, dan posisi masjid harus berada di lantai 1.
2. Permohonan penukaran tanah wakaf di Kampung Tambun RT 10/01, Kelurahan Ujung Menteng, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.
Alasan utama penukaran adalah matinya akses jalan menuju dan keluar lokasi tanah wakaf. Ini terjadi karena lokasi tanah wakaf terkepung proyek pengembangan perumahan.
Permohonan ini disetujui dengan pertimbangan bahwa NJOP tanah penukar mempunyai nilai yang sama dengan tanah wakaf asal. Di samping itu, tanah penukar (5.000 M2) lebih luas daripada tanah asal (4.533 M2). Dan juga yang tak kalah pentingnya adalah pertimbangan dari sisi produktifitas. Tanah penukar ini ditaksir berpotensi lebih produktif, karena terletak di pinggir jalan. Sementara tanah wakaf asal sudah tidak memiliki akses jalan keluar-masuk dan juga adanya masalah dengan pengairan.
3. Penukaran tanah wakaf di Desa Tritomoyo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Nazhir mengajukan permohonan penukaran, karena tanah wakaf terkena proyek perubahan tata ruang yang diguanakan untuk kepentingan umum yaitu pengembangan perumahan.
Dengan adanya pertimabangan nilai NJOP yang sepadan (48/M2), dan juga kondisi tanah penukar (2550 M2) lebih luas dengan tanah asal (1.022 M2), Rapat Pleno BWI tanggal 22 Mei 2012 memutuskan untuk mengabulkan permohonan ruislah ini.
Nilai plus dari tanah penukar juga ditilik dari lokasi kawasan. Tanah penukar ini terletak atau bersebelahan dengan kawasan tanah wakaf lain. POsisi ini sangat menguntungkan dilihat dari sisi pengembangan peruntukan tanah wakaf.
Menurut Sholeh Amin, keputusan untuk mengabulkan tiga permohonan rekomendasi penukaran tanah wakaf ini diketok saat Rapat Pleno pengurus BWI, tanggal 22 Mei 2012 di Kantor BWI, Jakarta. (an/au)