Milad BWI Ke-5, Terus Dorong dan Kembangkan Wakaf Produktif

Jakarta – Tidak ada kemewahan khusus pada hari Selasa, 17 Juli 2012 di Kantor BWI. Hanya ada hidangan makan siang dan kue tart yang tersaji di ruang rapat pleno pengurus BWI yang terletak di Gedung Bayt al-Quran Lt. II, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Hari itu adalah peringatan hari lahirnya BWI. Lima tahun silam, hari jadi BWI ini ditandai dengan terbitnya Keputusan Presiden (Kepres) RI No. 75/M tahun 2007.

“Tak terasa, sudah 5 tahun kita menangani masalah-masalah perwakafan di Indonesia,” tutur Ketua BWI Tholhah Hasan mengawali sambutannya di hadapan para pengurus dan karyawan BWI, (17/7). Selama 5 tahun, BWI sudah melakukan banyak hal dalam mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia. Meski begitu, tak dapat pula dipungkiri, BWI juga masih banyak kekurangan di sana-sini.

Keberhasilan BWI ini, jelas Tholhah, dapat dirumuskan dalam lima hal. Pertama, pembuatan regulasi tentang perwakafan. Saat ini peraturan terkait dengan perwakafan sudah tersedia, baik wakaf tanah maupun wakaf uang. Di samping itu ada juga peraturan yang lebih spesifik, misalnya soal pendaftaran dan pergantian nazhir, penukaran tanah wakaf, dan lain-lain. Peraturan yang belum rampung digodok adalah soal regulasi pelaksanaan wakaf harta benda bergerak selain uang. Semoga dalam wakat dekat regulasi ini juga sudah dapat disahkan.

Kedua, Pembinaan nazhir. Pembinaan BWI kepada nazhir ini dilakukan dengan berbagai macam cara. Secara fotmal ditempuh dengan model pelatihan kompetensi dan peningkatan kualitas SDM nazhir, baik wakaf tanah maupun wakaf uang. Di samping itu, pembinaan juga dilakukan dengan cara pendampingan secara partisipatoris. Ini misalnya terjadi pada nazhir yang mempunyai aset luas, tapi tidak mampu mengelolanya dengan baik. BWI hadir untuk membimbing dan mendampingi mereka dalam mengelola dan mengembangkan aset wakaf ke arah yang produktif.

Ketiga, Pembentukan Perwakilan BWI. Kini nazhir yang ada di daerah tidak harus repot-repot mengurus soal perwakafan ke Jakarta, karena BWI sudah mempunyai 11 kantor perwakilan yang tersebar di berbagai daerah. Perwakilan BWI di tingkat propinsi berada di 7 wilayah, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur. Sementara itu, di tingkat kabupaten/kota, perwakilan BWI berada di 4 daerah, yaitu Batam (Kepri), Padang Panjang (Sumbar), Kota Bogor (Jabar), dan Bima (NTB).   

Keempat, Pengembangan jaringan mitra kerja. Dalam rangka mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia, BWI telah membuka pintu kerjasama dengan berbagai pihak terkait dengan perwakafan. Nazhir dipersilahkan untuk dapat memanfaatkan kerjasama yang telah dirintis oleh BWI. Kemitraan ini antara lain dilakukan dengan perbankan syariah untuk optimalisasi wakaf uang, Kementerian Perumahan Rakyat untuk pengembangan wakaf pada sektor properti, Investor Luar Negeri seperti IDB Saudi Arabia, KAPF Kuwait, ANZ Selandia Baru, QIF Qatar, dan ICD Dubai.  

Kelima, BWI berhasil mempelopori terbentuknya Forum Wakaf Asia Tenggara yang anggotanya berasal dari Nazhir Wakaf di Asia Tenggara: Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja, dan juga anggota tambahan dari Selandia Baru. Forum yang kini diketuai oleh Prof. DR. KH. Tholhah Hasan ini terbentuk di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2011. Dengan adanya forum ini, diharapkan nazhir-nazhir di Indonesia tidak hanya berkomunikasi dan bermitra dengan nazhir dalam negeri, tapi juga nazhir luar negeri, minimal pada level Asia Tenggara.

“Semua ini dilakukan BWI dalam rangka mendorong dan mengembangkan aset wakaf di Indonesia yang selama ini masih belum banyak dikelola secara produktif,” tandas mantan Menteri Agama era Presiden Abdurrahman Wahid ini. Meski begitu, dibandingkan dengan kondisi 5 tahun lalu, saat ini perwakafan di Indonesia sudah jauh lebih berkembang. Dulu belum banyak orang yang belum tahu apa itu wakaf, kini wakaf sudah menjadi buah bibir. “Bahkan wakaf uang pun sudah terintergrasi dalam instrumen perbankan syariah,” tambahnya.

Di samping itu, Kiai Tholhah menyadari bahwa ada peran BWI yang masih belum dijalankan secara optimal, yaitu peran BWI sebagai nazhir. Perlu dipertegas di sini, bahwa disamping sebagai regulator, pembina dan juga fasilitator, BWI juga berperan sebagai nazhir. “Peran BWI sebagai nazhir inilah yang belum dijalankan secara optimal,” terang Kiai Tholhah. Ia menjelaskan, peran ini memang tidak menjadi titik fokus karena dirasa agak sensitif, karena nanti dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih (overlapping) dualisme kepentingan, yaitu satu sisi sebagai regulator dan pada sisi lain punya wewenang sebagai operator. [au]  

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *