Medan – Sidang lanjutan perkara perdata pembongkaran Masjid At-Thoyibah, Kelurahan Hamdan, Medan Maimoon, di Pengadilan Negeri (PN) Medan, berakhir ricuh, Kamis (6/9/2012). Massa menyerang pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan, Pagar Hasibuan.
Saat persidangan dinyatakan ditutup oleh Ketua Majelis Hakim Wahidin, massa pihak kontra dengan perobohan masjid adu mulut dengan pihak tergugat. Awalnya massa hanya mencaci maki warga yang pro perobohan masjid.
Situasi semakin memanas, ketika pipi Pagar Hasibuan dicubit oleh salah seorang pengunjung sidang. Pagar sempat membalas dengan kata-kata. Namun, tidak begitu jelas kata-kata yang disampaikannya. Begitu juga dengan perwakilan tergugat membalas dengan kata-kata kasar. Masyarakat pun mengejar dan memukul kepala Pagar Hasibuan.
Melihat kondisi yang tidak memungkinkan, perwakilan MUI ini lari mengamankan diri dari amukan massa. Massa sempat mencari keberadaan Pagar Hasibuan di sekitar gedung PN Medan. Namun, tidak ditemukan sampai akhirnya massa membubarkan diri.
Kericuhan ini diduga akibat salah satu pihak tergugat mengatakan, tanah tempat berdiri masjid tersebut menurut ahli waris bukan wakaf. Padahal, pihak ahli waris sendiri tidak pernah dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan ini.
Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ini menghadirkan saksi ahli Hasyim Purba dari Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam keterangan saksi, berdasarkan aturan, wakaf tetap sah meski tidak bersertifikat, selama di atas tanah itu dibangun masjid atau rumah ibadah.
“Tetap menjadi wakaf selama masjid itu dikelola dan dimakmurkan dengan kegiatan ibadah, meskipun belum bersertifikat,” kata saksi.
Dia juga mengungkapkan, membongkar masjid harus memenuhi prosedurnya. Satu masjid bisa dibongkar, apabila untuk kepentingan umum atau kemaslahatan umat. Menurutnya, fatwa MUI sendiri tidak punya kekuatan atau menjadi dasar perubuhan mesjid.
Dia menambahkan, masalah boleh atau tidaknya satu fatwa dikeluarkan, harus dilihat dulu dasar pemikiran dan alasannya. Dan alasan itu harus dijelaskan ke masyarakat. Apabila diterima, maka baru bisa dipatuhi.
“Ada prosedur yang harus dilalui. Argumentasi yang kuat, dasar pemikirannya jelas. Baru bisa memindahkan maupun merubuhkan masjid,” tegasnya.
Dia mengungkapkan, perubahan wakaf juga harus melalui persetujuan dari Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia. Tidak cukup hanya rekomendasi MUI Kota Medan. Perubahan wakaf juga sangat selektif. Setelah disetujui beberapa pihak, dibentuk lagi tim untuk menghitung kelayakan pemindahan masjid.
“Jadi, kalau hanya alasan tidak ada lagi pemukiman warga di sekitar, tidak cukup. Di Jakarta, hampir tidak ada pemukiman warga di sekitar Masjid Istiqlal, tapi masjid itu tetap berdiri, tidak dibongkar atau dipindahkan,” kata saksi lagi.
Dia juga menjelaskan, MUI Kota Medan tidak masalah digugat dalam hal ini karena berkaitan dengan perkara pokok. Pihak yang mengeluarkan fatwa dan pihak yang salah menafsirkan fatwa tersebut bisa dimintai pertanggungjawabannya.
Untuk diketahui, Masjid At-Thoyibah dibongkar pada 10 Mei 2007 lalu usai shalat Dzuhur, dan diganti dengan ruko oleh PT Multatuli Indah Lestari (MIL). Akibatnya, masyarakat mengugat PT MIL, Pemkot Medan, MUI Kota Medan, dan Polda Sumut. (kompas)