Jakarta – Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan optimistis Indonesia dalam waktu dekat akan menjadi negara nomor satu memanfaatkan dana wakaf bagi pengembangan usaha mikro dan kecil melalui koperasi. Saat ini Indonesia memang tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk memanfaatkan dana wakaf. Namun dia optimistis Indonesia bisa segera mengejar ketertinggalan itu dalam jangka waktu tidak terlalu lama.
“Kita memang tertinggal memanfaatkan dana wakaf, akan tetapi, potensi Indonesia sangat besar. Ini hanya persoalan waktu saja,” katanya kepada wartawan seusai penandatanganan kesepakatan bersama (MoU) antara instansi yang dipimpinnya dengan beberapa lembaga sosial nasional.
MoU dilakukan dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI), Yayasan Dompet Dhuafa, dan Yayasan Baitul Maal Muamalat. Dia menilai MoU ini sangat penting karena membantu perkuatan permodalan bagi anggota KJKS atau BMT tersebut, yakniusaha mikro dan kecil (UMK).
Oleh karena itu dia menilia kerja sama itu sangat fenomenal karena instrumen dari dana wakaf yang selama ini dikenal agama Islam namun belum dioptimalkan, sudah bisa dikembangkan untuk membiayai pelaku usaha mikro dan kecil.
Sjarifuddin Hasan menyakini kerja sama berdampak pada pengembangan KJKS yang saat ini telah tumbuh besar. Perkembangan KJKS dengan prinsip bagi hasil menurutnya saat ini terus berkembang dengan pesat.
Ini disebabkan peran dari KJKS sebagai financial inclusion memberikan solusi ekonomi bagi anggotanya. Itulah dasar pemikiran pemerintah untuk selalu mendukung pengembangan KJKS sebagai kekuatan ekonomi mikro di masyarakat luas.
“Ketika pemanfaatan dana wakaf sudah terkoordinir, maka Indonesia akan menjadi nomor satu yang menggunakannya bagi pemberdayaan sektor riil. Selama ini juga sudah ada individu mewakafkan hartanya, namun tidak terkoordinasi.”
Tolhah Hasan, Ketua Badan Wakaf Indonesia, menjelaskan peran dan fungsi wakaf sebagai instrumen pengembangan ekonomi umat sangat besar manfaatnya. Tapi pengembangan wakaf produktif di Indonesia kurang dimaksimalkan dengan benar.
Akibatnya pengembangan dana wakaf masih kalah dibadningkan dengan negara negara lain di kawasan Asia Tenggara. Menurut dia titik lemah pengelolaan wakaf selama ini pada kualitas sumber daya manusia (SDM).
“Para nadzir atau pengelola wakaf yang profesional hanya berjumlah 30%, sementara 70% sisanya kurang profesional. Berdasarkan data ini wajar dalam pendayagunaan wakaf di Indonesia kurang produktif,” katanya.
Dengan Singapura yang penduduk muslimnya sangat kecil, pengelolaan wakafnya masih lebih besar dibandingkan Indonesia. “Masih tertinggal jauh,”ungkapnya.
Kerja sama tiga lembaga dalam penyaluran dana wakaf dalam konteks mengembangkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Baitul Maal Wattamwil (BMT) sangat didukung mantan Menteri gama tersebut.
Sebab, langkah tersebut menciptakan produktivitas mendayagunakan wakaf sebagai instrumen kesejahteraan umat. Melalui kerja sama itu akan ada model sinergi antara ketaqwaan dan “Inilah manfaat dari kerja sama ini.” (faa/bisnis)