Geliat Wakaf di Ibu Kota, Bagaimana Kondisinya?

Jakarta - Pengelolaan aset wakaf di Indonesia masih sangat membutuhkan perhatian yang serius. Pasalnya, keberadaan tanah-tanah wakaf ternyata masih di

Harlah Pertama, Lembaga Sertipikasi Profesi Wakaf BWI Gelar Uji Kompetensi untuk Ratusan Nazhir Seluruh Indonesia
Buku Prinsip-Prinsip Dasar Pengelolaan Wakaf
BWI Perwakilan Jepara Gelar Sosialisasi Wakaf di Depan Ratusan Nazhir

Jakarta – Pengelolaan aset wakaf di Indonesia masih sangat membutuhkan perhatian yang serius. Pasalnya, keberadaan tanah-tanah wakaf ternyata masih didominasi oleh model pengelolaan wakaf yang tidak produktif. Setidaknya, hal ini tampak di wilayah DKI Jakarta.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Divisi Litbang BWI bekerjasama dengan Lembaga Penelitian UIN Jakarta menunjukkan, pengelolaan aset wakaf di DKI Jakarta secara umum bisa dikatakan masih jauh dari pengelolaan dan pengembangan wakaf secara produktif.

“Tepatnya ada 87% dari total 5.661 tanah wakaf di DKI Jakarta dalam bentuk rumah ibadah, dan pengelolaannya bergantung dari dana sedekah,” papar Amelia Fauzi, anggota Divisi Litbang BWI di Jakarta, (31/10). Bahkan, tambahnya, tanah wakaf yang sudah masuk kategori produktif pun pengelolaannya belum maksimal.

Hal ini bisa terjadi karena tidak adanya sinergi tiga aspek utama dalam pengembangan wakaf produktif, yaitu kuantitas aset wakaf, kapasitas nazhir, dan modal sosial seperti pemahaman dan kepercayaan (trust). “Agar bisa maksimal, pengembangan wakaf produktif harus mempertimbangan ketiga aspek tersebut,” tegas Amelia saat memberikan paparan hasil penelitiannya yang baru saja dilakukan pada bulan Oktober 2012 ini.

Kalau begitu, tanah wakaf di DKI masihkah berpeluang untuk dikembangkan secara produktif? Masih sangat berpeluang. Tapi, penanganannya harus sesuai dengan tipologi yang ada. Penelitian ini menemukan, ada empat  tipologi wakaf di DKI Jakarta. Pertama, aset besar dengan potensi nadzir tinggi. Kedua, aset besar dengan potensi nadzir cukup. Ketiga, aset kecil dengan potensi nadzir tinggi. Keempat, potensi sangat rendah atau tidak mengembangkan wakaf produktif.

Menurut Amelia, penemuan ini didasarkan atas penelitian kualitatif dengan pendekatan sosiologis yang menggunakan metode studi kasus. Studi ini mengambil 24 sampel yang diseleksi secara purposif, yaitu yayasan wakaf yang memiliki aset besar dan berpotensi untuk dikembangkan secara produktif. Data didapat melalui wawancara mendalam dan observasi dengan nazhir dan penerima manfaat wakaf. “Studi ini juga diperkuat dengan penggunaan teori modal sosial,” pungkasnya. [a/n]  

 

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: