Medan – Perwakafan di Tanjungbalai, Sumatera Utara, mempunyai akar sejarah yang panjang. Diperkirakan sejak tahun 1500-an pada era Kerajaan Kesultanan Asahan. Saat itu, wakaf merupakan bagian dari tradisi derma dalam masyarakat Islam yang dialokasikan untuk rumah ibadah dan pemakaman umum.
Mayoritas masjid, surau, dan juga pekuburan berdiri di atas tanah wakaf. Itu dulu. Sekarang perkembangannya sangat pesat. Hingga masa orde baru, tanah wakaf yang sudah tersertifikasi kurang dari lima puluh persen. “Kini, harta wakaf lebih banyak yang disertifikasi dari pada yang tidak disertifikasi,” terang Walikota Tanjungbalai Sumatera Utara M. Thamrin Munthe di hadapan tim penguji disertasi yang dipimpin Rektor IAIN Sumut Ahmad Fadhil Lubis di Medan, (10/11).
Berdasarkan temuannya, ada lima faktor yang melatarbelakangi masyarakat muslim Kota Tanjungbalai untuk terus berwakaf. Apa itu? Pertama, memahami wakaf sebagai ibadah yang abadi selama-lamanya. Kedua, motif persiapan untuk akhirat. Ketiga, kepuasan batin. Keempat, profesionalitas nazhir. Kelima, motif ekonomi.
Dua motif terakhir, profesionalitas nazhir dan juga ekonomi, merupakan perkembangan terbaru yang terjadi di Tanjungbalai. Karena itu, kini pengelolaan aset wakaf di Tanjungbalai juga banyak yang bergerak di sektor sosial-ekonomi yang produktif.
“Itu mengapa di Tanjungbalai terbangun pasar, gedung olahraga, pusat kesehatan kelurahan, pembukaan jalan baru, pembangunan kantor lurah maupun camat atas wakaf masyarakat baik wakaf benda maupun berwakaf dengan uang,” katanya.
Thamrin Munthe, merupakan doktor ke-17 yang dilahirkan Program Pascasarjana IAIN Sumut. (wspd)