Mukadimah

Dalam sejarah peradaban Islam, sejak masa Rasulullah saw sampai sekarang, kaum wanita selalu tampil dan memberikan pengaruh yang positif dan signifikan, baik dalam upaya peningkatan kualitas ketakwaan umat maupun dalam upaya peningkatan kualitas kesejahteraan dan peradabannya. Salah satu aktivitas sosial yang banyak diminati kaum wanita muslimah pada masa awal sejarah peradaban Islam adalah bidang kependidikan dan pelayanan sosial, untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan. Sejarah mencatat peran tokoh-tokoh wanita seperti Syifa’ bint Ubaidillah, Hafshah binti Umar bin Khatab, Karimah bint Miqdad yang menggerakkan pemberantasan “buta huruf” di tengah masyarakat Islam yang baru berkembang di Madinah, sehingga dalam waktu yang relatif singkat wanita muslimah di kota Madinah dan sekitarnya sudah mampu membaca dan menulis, padahal ketika Rasulullah datang di Madinah hanya ada 5 (lima) orang wanita di sana yang bisa membaca dan menulis. Islam telah menanamkan doktrin “semangat berbagi” (semangat yang mendorong kepedulian untuk membantu dan menolong orang lain yang membutuhkan).[2]

 

 

Melalui beberapa sistem yang dituangkan dalam jalur hukum syari’ah, seperti hukum waris, kewajiban zakat, anjuran menyisihkan sebagian harta milik untuk waqaf, sodakah, hibah, dan lain sebagainya, agar kemampuan dan kesejahteraan yang diperoleh sebagian orang itu dapat juga dinikmati oleh orang lain yang nasibnya kurang beruntung. Oleh karena itu, sejak semangat waqaf itu dipelopori oleh sahabat-sahabat terkemuka seperti: ‘Umar bin Khathab (yang mewaqafkan tanah yang dinilainya paling baik dan berharga di Khaibar), Abu Tholhah (yang menyerahkan kebun kurmanya di muka masjid Madinah yang dikenal sebagi Biruha’).[3] Usman bin Affan (yang mewaqafkan sumber mata air yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang dikenal dengan ‘Ainu Rumah), sumur tersebut dibelinya dari seseorang dari Bani Ghifar seharga 35.000 (tiga puluh lima ribu) dirham.[4]

 

 

Selanjutnya kaum wanita muslimah mulai dari istri-istri Rasulullah saw, seperti Ummu Salamah, Hafshah bint Umar, Shofiyah bint Huyaiy, ‘Aisyah, Ummu Habibah, Zainab binti Jahsh, sampai para sahabat wanita seperti Asma bint Abu Bakar, Fathimah bint Muhammad, dan Ummu Sulaim, telah terlibat dalam gerakan wakaf, sehingga sahabat Jabir mengatakan, “Tidak ada sahabat Rasulullah yang memiliki harta kekayaan kecuali ia mewaqafkan sebagian hartanya“.

 

Peranan kaum wanita dalam gerakan wakaf ini muncul kembali pada masa dinasti Abbasiyah, dengan beberapa sebab, antara lain:

  1. Peradaban Islam mengalami kemajuan hampir di semua bidang kehidupan.
  2. Tingkat kesejahteraan masyarakat mengalami kemajuan yang signifikan, berkat perluasan wilayah geografis, politis dan ekonomis.
  3. Struktur masyarakat berubah menjadi cosmopolitan dan terbuka, melalui interaksi antar etnik, budaya dan bahasa.
  4. Kaum wanita memperolah kebebasan dan peranan dalam kehidupan sosial, melebihi masa-masa sebelumnya.
  5. Para penguasa dalam batas tertentu memberikan dukungan terhadap kiprah kaum wanita.

 

 

Al-Umar (Fuad Abdillah) dalam tulisannya yang dikutip oleh Al-Humaidan (Iman Muhammad) menyebutkan, “Bahwa peranan kaum wanita dalam gerakan wakaf tidak terbatas pada pengadaan harta benda wakaf semata, yang secara kuantitatif diperkirakan mencapai 25 % dari harta benda wakaf, namun kaum wanita juga berperan sebagai “nazhiroh” (pengelola) wakaf yang jumlahnya mencapai 14 % dari para nazhir wakaf-wakaf yang ada.[5]

 

Prof. Dr. Qardhawi, melalui catatan-catatannya yang dimuat dalam majalah Auqafuna, Juli 2008, memberikan gambaran semangat berbagi dikalangan kaum wanita masa awal, sebagai berikut :

  1. Ummu Dzaroh, (pembantu Ummil mukminin Aisyah r.a.) bercerita, bahwa Abdullah bin Zubair, keponakan ‘Aisyah r.a. mengirimi uang kepada bibinya itu dua kantong, jumlahnya 180 ribu dirham (tiap kantong berisi 90.000 (Sembilan puluh ribu) dirham. Kemudian ‘Aisyah r.a. meminta bejana. Beliau waktu itu sedang puasa. Seketika itu beliau memerintahkan kepada pembantunya untuk membagi-bagikan uang tersebut kepada ortang-orang lain yang dipandang memerlukan. Pada sore harinya beliau memanggil Ummu Dzaroh dan berkata: Siapkan makanan untuk buka puasa saya. Maka si pembantu menyediakan sepotong roti dan minyak. ‘Aisyah r.a. bertanya kepada pembantunya : Dapatkah kamu membelikan daging satu dirham saja untukku dari sisa uang-uang yang kamu bagi-bagikan tadi? Ummu Dzaroh menjawab: Ibu, semua uang tadi sudah habis saya bagikan, seandainya tadi Ibu mengingatkan saya untuk kebutuhan itu pasti saya kerjakan.
  2. Hisyam bin ‘Urwah bercerita, bahwa Mu’awiyah mengirimkan uang untuk ‘Aisyah Ummil mukminin r.a. sejumlah 100.000 (seratus ribu) dirham. Sebelum matahari tenggelam hari itu, uang tersebut sudah habis dibagi-bagikan kepada orang lain.
  3. Imam Malik dalam kitab Muwatha’-nya meriwayatkan, bahwa suatu hari ‘Aisyah r.a. didatangi oleh seorang miskin meminta makanan, padahal hari itu beliau sedang puasa dan di rumah beliau tidak ada persiapan apa-apa kecuali sepotong roti. Tapi beliau memerintahkan kepada pembantunya supaya memberikan roti tersebut kepada si miskin. Pambantu itu berkata: Nanti Ibu tidak ada persediaan lagi untuk buka puasa. Tapi ‘Aisyah r.a. tetap memerintahkan untuk memberikan roti tersebut kepada si miskin. Maka roti tersebut langsung diberikan. Pada sore hari itu juga ternyata ada orang yang mengirimkan makanan berupa masakan kambing dengan roti penutupnya. Kemudian ‘Aisyah r.a. memanggil pembantunya, sambil tersenyum : Kemarilah, mari kita makan makanan ini, ini lebih baik daripada rotimu tadi.
  4. Nafi’ r.a. meriwayatkan, bahwa Hafshah r.a. (isteri Rasulullah) menjual perhiasan miliknya senilai 20.000 (dua puluh ribu) dirham, dan mewakafkannya untuk para wanita keluarga al-Khatthab, demikian juga mewakafkan beberapa macam perhiasan untuk dipakai bila ada keperluan (seperti pesta perkawinan) atau disewakan.
  5. Asma’ binti Abi Bakar r.a. mewakafkan rumahnya, tidak boleh diwaris, dijual, atau dihibahkan kepada siapa saja.
  6. Ummu Habibah r.a. ( isteri Rasulullah) mewakafkan sebidang tanahnya yang luas, untuk para pembantunya dan keturunan mereka, dengan syarat tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan.
  7. ‘Atha’ mengatakan, bahwa Mu’awiyah pernah mengirimkan hadiah kepada ‘Aisyah r.a. berupa kotak perhiasan dari emas yang di dalamnya ada permatanya yang harganya diperkirakan sampai 100.000 (seratus ribu) ribu dirham, tapi perhiasan-perhiasan itu kemudian oleh ‘Aisyah r.a. dibagi-bagikan kepada isteri-isteri (janda-janda) Nabi Muhammad s.aw. beliau hanya mengambil satu saja dari perhiasan tersebut.[6]

 

 

Itu semuanya dapat memberikan gambaran betapa “semangat berbagi” sudah terbentuk menjadi karakter dikalangan kaum wanita level atas, sejak masa awal perkembangan Islam.

 

Wanita-Wanita Populer dalam Perwakafan .

Nama-nama kaum wanita setelah masa sahabat, yakni pada masa dinasti Umaiyah, tidak banyak yang dicatat oleh sejarah, khususnya dalam perwakafan. Hal demikian itu karena masa dinasti Umaiyah lebih banyak disibukkan oleh kegiatan perluasan wilayah geografis dan politis, disamping kesibukan meredam konflik internal umat Islam sendiri. Kemunculan peran wanita dalam ranah sosio-kultural baru terlihat lebih nyata pada masa dinasti Abbasiyah dan seterusnya. Kita sebut saja sebagai contoh :

  1. Zubaidah bint Abul Fadl, isteri Khalifah Harun al-Rasyid, dia banyak berperan dalam pengembangan perwakafan, baik dalam pengelolaan maupun sasaran peruntukannya. Dia telah menjual hartanya berupa tanah dan perkebunan di Ain Hunain, dan menginvestasikan untuk membangun salurun air bersih buat orang-orang yang sedang haji, umroh, maupun orang-orang yang berada disekitar kawasan situ atau yang bertempat tinggal/ menetap di situ, dan dapat memanfaatkan air itu dengan cuma-cuma sebagai hasil wakaf. Proyek ini yang kemudian dikenal sebagai “Ain Zubaidah” (mata air Zubaidah), proyek tersebut masih ada sampai sekarang.[7]
  2. Fathimah bint Muhammad al-Fihri, pada abad ke 3H, dia berasal dari Andalusia (Spanyol) kemudian hijrah ke kota Fez bersama keluarganya, ayahnya seorang yang kaya raya, ketika meninggal dia wariskan hartanya kepada dua orang puterinya, yaitu Fathimah dan Maryam. Fathimah mempunyai peran besar di dalam pembangunan kembali masjid jami’ Al-Qurawiyin yang terkenal di Fez (Maroko), yang kemudian juga berkembang menjadi salah satu universitas tertua di dunia Islam, bahkan konon katanya lebih tua daripada universitas Oxford maupun Cambridg. Semua dana yang digunakan itu berasal dari wakafnya.
  3. Fathimah bint Ismail salah seorang puteri raja di Mesir, yang terpanggil jiwanya untuk mengembangkan dunia pendidikan dan keilmuan. Dia telah menyediakan dana yang sangat besar dari wakafnya unuk mendukung pendirian universitas Mesir (sekarang menjadi universitas Cairo) yang waktu itu sedang terhenti karena kehabisan biaya. Dia menyadari betapa besarnya dana yang dibutuhkan agar dapat menyelesaikan universitas tersebut. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menjadikan tanah-tanahnya sebagian untuk tempat pembangunan kampus, dan sebagian lagi dijual untuk biaya pembangunannya, semuanya dijadikan barang wakaf. Selanjutnya dia juga membuat proyek beasiswa untuk para mahasiswa yang berprestasi, dan menjadikan istana tempat tinggalnya menjadi “museum pertanian” yang tergabung dalam universitas Cairo.[8]
  4. Zamrud Khotun, isteri sultan ‘Imaduddin Zanki telah memberikan wakaf untuk pendidikan, dia membangun Madrasah al-Khatuniyah al-Baraniyah pada tahun 526H, kemudian Khatun ‘Ishmatuddin, isteri sultan Nuruddin Zanki membangun Madrasah al-Khatuniyah al-Jawaniyah pada tahun 628H . Aktivitas wakaf di sektor pendidikan ini menjadi obsesi keluarga Ayyubiyah yang rata-rata mencintai ilmu dan ulama, seperti Rabi’ah Khatun dan Khadijah Khatun (khatun, merupakan nama kehormatan bagi kaum wanita pada masa dinasti Zankiyah dan Ayubuyah juga Mamalik). Semangat wakaf dalam sektor pendidikan ini di samping kebijakan kultural, ada juga motif politik, mengingat dinasti Zankiyah dan Ayyubiyah bertekad menghapus kekuatan Fathimiyah yang beraliran Syi’ah, menjadi kekuatan Sunny (Ahlussunnah wal Jama’ah) melalui penggalakan pendidikan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah kekuasaannya (terutama wilayah Syam dan Mesir).
  5. Babah Khatun bint Asaduddin Sirakuh, yang mewakafkan rumahnya yang besar untuk dijadikan sebuah sekolah yang dinamai Madrasah “Al-‘Adiliyah as-Shughra“ pada tahun 655 H di Damaskus. Madrasah ini mengajarkan ilmu-ilmu agama aliran Ahlussunnah wal Jmam’ah, dalam ilmu fikih khusus mengajarkan fikih madzhab Syafi’I. Madrasah tersebut juga menyediakan beasiswa untuk para pelajar dan anak yatim, juga menyediakan gaji tetap untuk para pengajar, imam dan mu’adzin di masjidnya. Setiap bulan disediakan 100 dirham untuk pengajar/ guru dan bahan makanan. Di madrasah ini juga disediakan “mu’addib al-aitam” (pengasuh anak yatim) yang dibayar dan diberikan jaminan sosial, yang kesemuanya itu didapatkan dari wakaf.[9]

 

 

Semangat Berkelanjutan

Semangat berbagi melalui waqaf berlanjut sampai sekarang, di beberapa negara Islam yang sudah menjadikan waqaf sebagai budaya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari banyak ditemukan kaum wanita melakukan kiprahnya dalam memberikan harta wakaf dan mengelolanya dengan professional. Sebagai contoh, waqaf kaum wanita dalam era modern ini dapat disebutkan beberapa citra yang menarik.

  1. Malikah bint Muhammad al-Ghonim (Kuwait) memberikan untuk membangun masjid Al-Qathomi, dan sekaligus mewaqafkan dua rumahnya yang besar, yang satu untuk tempat “tahfizh al-Qur’an”, dan yang satunya lagi untuk tempat tinggal Imam masjid, dan ia juga menyediakan keperluan untuk mesjid, pembelajaran al-Qur’an, dan kebutuhan hidup Imam Masjjid al-Qathomi. Hal itu ia lakukan sampai meninggal pada tahun 1250 H/ 1834 M.
  2. ‘Ainulhayah Yusuf dan Futhumah Mandur (Mesir) pada tahun 1913 M. mewaqafkan tanah pertanian yang luas yang hasil selurunya untuk pelayanan tamu, dan mengangkat pejabat yang mengurusinya dengan memperolah honor yang layak.[10] Hal yang serupa juga dilakukan oleh Jalilah Thusun (Mesir), isteri Ahmad Zaki Fasya (sasterawan dan budayawan Mesir yang tekenal) berwaqaf dengan membangun asrama untuk anak-anak yatim perempuan yang diberi nama “Malja’ as-Sitt Jalilah”, mereka dididik dan diajari membaca menulis dan berhitung, serta ilmu-ilmu agama dan keterampilan (seperti menjahit, memasak dan lain-lain) yang dapat memberi manfaat kepada mereka.[11]
  3. Jauharah bint Faisal bin Turki (Arab Sa’udi) banyak memberikan waqaf untuk membantu kesejahteraan, antara lain menyediakan pakaian dan perhiasan yang diperlukan untuk pernikahan, sebagian dipinjamkan dan sebagian diberikan bagi yang kurang mampu.
  4. Maudla al-Mubarak as-Shabah (Kuwait) sejak tahun 1955 M. mewakafkan 1/3 dari seluruh harta peninggalannya yang banyak itu, untuk kesejahteraan umat, memberi makanan dan pakaian orang miskin, menyediakan tempat tinggal bagi para janda dan anak yatim, membantu pengobatan orang-orang yang sakit, dan untuk menolong orang yang tertimpa bencana.
  5. Sumaiyah bint ‘Ali (Qathar) yang mewakafkan sebuah vila mewah terdiri dari 17 kamar, waqaf tersebut diperuntukkan proyek pendidikan Al-Qur’an, memberikan beasiswa dan fasilitas kepada anak-anak yang belajar atau menghafal Al-Qur’an.[12]

 

 

Di Mesir, Kuwait dan beberapa negara Islam yang lain, kiprah kaum wanita dalam perwaqafan tidak sebatas memberikan harta waqaf, tetapi mereka juga banyak menjabat sebagai “Nazhir Wakaf“, untuk mengembangkan dan memberdayakan harta benda wakaf.[13]

 

Bagaimana sekarang dengan kiprah kaum wanita di Indonesia dalam perwaqafan?

 

*) Ditulis oleh K.H. Tholhah Hasan, seorang profesor di bidang ilmu pendidikan dan ahli di bidang perwakafan. Saat ini ia menjabat sebagai ketua badan pelaksana Badan Wakaf Indonesia.

 

**) Artikel  dimuat di Jurnal al-Awqaf, Vol. 5, No. 1, Januari 2012.

 

Editor: Nurkaib

 


[1] Penulis adalah seorang profesor di bidang ilmu pendidikan dan ahli di bidang perwakafan. Saat ini ia menjabat sebagai ketua badan pelaksana Badan Wakaf Indonesia.

[2] Al-Baladzury : 457; al-Mubarrid : 171.

[3] Riwayat Bukhari dan Muslim dalam kitab-kitab Shohihnya.

[4] Az-Zula’I : 477

[5] Al-Humaidan: 25.

[6] Auqafuna, 2008, hal : 38.

[7] Abu Razizah : 30.

[8] al-Khofaji, hal : 28 – 33.

[9] Auqafuna, 2008, halaman, 44.

[10] Ghonim : 325.

[11] Ibid. hal. : 313.

[12] Al-Hai’ah Al-Qathariyah li al-Auqaf, 2008, hal : 66.

[13] Al-Humaidan: halaman : 61.

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent posts