Penulis:

Khalifah Muhamad Ali (Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB University), Miftahul Jannah (Sekretaris Yayasan Hutan Wakaf Bogor), Raditya Sukmana (Koordinator Prodi S3 Ilmu Ekonomi Islam Universitas Airlangga)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah meluncurkan Bursa Karbon pada 26 September 2023. Bursa Karbon adalah medium jual beli kredit karbon, yang menjadi tahap baru dalam inisiatif besar Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Melalui bursa karbon, Indonesia dapat memperkuat perannya dalam pengendalian dampak perubahan iklim global sesuai Paris Agreement 2016. Kredit karbon mewakili hak sebuah perusahaan untuk melepaskan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca dalam kegiatan industri. Setiap unit kredit karbon menunjukkan pengurangan emisi sebanyak 1 ton karbon dioksida (CO2) dan diperdagangkan di pasar karbon untuk aktivitas pengimbangan karbon.

Selain itu, proyek-proyek hijau, seperti pembangunan turbin, pengurangan metana, atau pemulihan hutan dapat menghasilkan kredit karbon melalui pengurangan emisi. Mekanismenya adalah dengan mengajukan daya serap lahan mereka ke lembaga verifikasi kredit karbon, dan setelah sertifikasi diterima, kredit karbon (setara dengan 1 ton CO2) dapat diperdagangkan di bursa karbon.

Bursa karbon adalah babak baru dalam upaya pelestarian lingkungan, khususnya dalam penyerapan dan pengurangan emisi karbon. Maka itu, bursa karbon menjadi angin segar bagi penggiat lingkungan, termasuk nazir (pengelola) hutan wakaf.

Hutan wakaf adalah hutan yang dikembangkan di atas tanah wakaf. Sebagai salah satu bentuk dari aset wakaf, dibandingkan jenis hutan lainnya (hutan negara dan hutan hak/privat), hutan wakaf memiliki kelebihan karena lebih terjamin keabadiannya. Setidaknya, dua payung hukum melindungi keberlangsungan hutan wakaf, yaitu hukum Islam dan hukum negara Indonesia melalui UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Kedua sumber hukum ini menegaskan larangan mengubah, menjual, memberikan, hingga mewariskan harta benda wakaf karena sudah menjadi milik Allah SWT. Di Indonesia, hutan wakaf telah dikembangkan di empat lokasi, yaitu di Aceh, Bogor, Mojokerto, dan Sukabumi, dengan luas keseluruhan sekitar 9,6 hektare (Ha).

Sebagai aset wakaf, hutan wakaf diharapkan memberikan manfaat yang kontinyu. Manfaat tersebut utamanya adalah manfaat ekologi, antara lain, sebagai penangkap karbon dan mengurangi gas rumah kaca, menjaga keragaman biodiversitas, serta menjadi sumber air dan udara bersih. Tidak hanya itu, hutan wakaf juga memiliki manfaat ekonomi dan sosial, utamanya bagi masyarakat di sekitar hutan, sebagai sarana pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat sekitar.

Sistem wakaf terbukti berperan signifikan dalam perkembangan hutan wakaf dan pengelolaan hutan secara keseluruhan, termasuk memiliki dampak terhadap manfaat ekologis, sosial, dan ekonomi yang dihasilkan dari hutan tersebut.

Hutan wakaf sangat berpotensi untuk memasuki bursa karbon. Hal ini telah disampaikan oleh Executive Vice President Business Development Bursa Efek Indonesia (BEI) Ignatius Denny Wicaksono pada Talkshow Wakaf Hutan yang digelar Republika bersama Mosaic di Jakarta, Kamis (30/11/2023).

Denny menjelaskan bahwa harga karbon kredit hutan wakaf akan menarik karena kemampuannya menyerap emisi yang tinggi. Selain itu, terdapat pula berbagai manfaat tambahan, seperti dukungan lingkungan dan aspek sosial melalui wakaf.

Hal senada juga disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Bambang Brodjonegoro, bahwa hutan bisa ditransaksikan melalui perdagangan karbon di Tanah Air. Lebih spesifiknya, hutan wakaf berpotensi menghasilkan kredit karbon premium.

Kredit karbon premium dapat didefinisikan sebagai kredit karbon yang tidak hanya mengurangi emisi, melainkan juga memiliki dimensi dampak yang besar, baik secara ekologi (seperti biodiversitas), ekonomi, serta sosial. Hutan wakaf, yang menggabungkan antara prinsip wakaf dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, juga memiliki kekuatan dari dimensi keislaman. Dengan berwakaf hutan, wakif mengharapkan pahala dan balasan terbaik di sisi Allah SWT.

Tantangan utama bagi hutan wakaf untuk terlibat di bursa karbon adalah luasannya yang masih terbatas, sehingga kredit karbon yang dihasilkan belum mencapai tingkat signifikan. Untuk mengatasi hal ini, inisiatif meningkatkan skala dan dampak hutan wakaf menjadi suatu hal yang bisa diupayakan.

Alternatifnya, sementara luasan hutan wakaf masih kecil, salah satu solusi yang dapat diadopsi adalah melalui pendekatan Business to Business (B to B). Kredit karbon hutan wakaf dihitung dan langsung dijual kepada perusahaan tanpa melalui bursa karbon. Dengan cara ini, hutan wakaf dapat segera memberikan dampak positif pada lingkungan sambil memperoleh manfaat finansial, sekaligus merangsang pertumbuhan luasannya secara lebih masif.

Keterlibatan hutan wakaf di bursa karbon diharapkan dapat menjadi pendorong semangat bagi para penggiat hutan wakaf, karena tidak hanya mendukung pelestarian lingkungan, tetapi juga membuka peluang mendapatkan pahala dan keuntungan finansial. Untuk meraih visi ini, sinergi antara penggiat hutan wakaf, peneliti, otoritas, dan masyarakat sangat diperlukan.

Melalui kerja sama yang kokoh, diharapkan dapat terwujud kolaborasi yang efektif untuk memacu perkembangan hutan wakaf di berbagai daerah. Dengan demikian, hutan wakaf dapat semakin berkembang dan semakin dapat memberikan manfaat yang nyata bagi lingkungan, ekonomi, dan sosial masyarakat.

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent posts