Penulis: Rindawati Maulina, ST., MT., MSC., Analis Bank Indonesia
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor yang dinilai prioritas dan seringkali menjadi ujung tombak bagi keberhasilan manajemen sebuah perusahaan. Meskipun saat ini teknologi terus berkembang dengan penciptaan AI (Artificial Intelligent), dibelakang dari semua kecanggihan dan modernisasi teknologi yang kita nikmati tetap selalu memerlukan dukungan faktor SDM. Tidak heran, jika manusia dinobatkan oleh Tuhan sebagai makhluk paling sempurna dibandingkan makhluk ciptaan lainnya di dunia ini (QS Al Isra 17:70), apalagi jika dibandingkan dengan ciptaan manusia itu sendiri.
Berbicara tentang manajemen perusahaan, lembaga wakaf juga perlu memiliki sistem manajemen yang mendukung operasionalisasinya. Di dalam sistem manajemen lembaga wakaf, maka manusia juga menjadi faktor yang kritikal. Tidak jarang kendala dan hambatan lembaga wakaf menjalankan amanatnya hingga mampu berkembang justru bersumber dari ketidakmampuan lembaga berhadapan dengan berbagai risiko dari sisi faktor SDM nya.
Kurangnya personil nazhir yang berkualifikasi dalam mengelola wakaf, kesalahan teknis yang bersumber dari manusia (human error), kurangnya skills dan kemampuan kewirausahaan nazhir, serta terlalu tingginya dominasi nazhir senior di dalam manajemen lembaga wakaf menjadi beberapa sumber penyebab belum optimalnya pengelolaan wakaf di banyak negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia. Dari sini kemudian muncul risiko kegagalan menghasilkan keputusan investasi yang tepat yang berdampak pada ketidakmampuan mengoptimalkan potensi wakaf sebagai instrumen pembangunan ekonomi dan kesejahteraan umat.
Wakaf Produktif Bukan Sekedar Pengelolaan Wakaf Biasa
Lembaga wakaf juga dapat dianalogikan dengan sebuah perusahaan yang memiliki tujuan. Dalam mencapai tujuannya, maka peran manajemen risiko sangat diperlukan. Dengan demikian, manajemen risiko merupakan salah satu bagian yang harus terintegrasi pada keseluruhan manajemen perusahaan. Selain manajemen risiko, pemahaman terhadap manajemen keberlangsungan bisnis juga sebuah keharusan bagi pimpinan lembaga wakaf dan nazhir di dalamnya, terutama bagi pengelola wakaf produktif. Oleh karena itu, kehadiran manajemen risiko bersama dengan manajemen keberlangsungan bisnis tidak boleh terpisah dari manajemen umum jika lembaga wakaf ingin berhasil mewujudkan tujuannya.
Pengelolaan wakaf produktif dapat dikatakan bukan pengelolaan wakaf biasa. Dengan begitu, cara pengelolaannya tidak boleh hanya dilakukan secara “tradisional” kalau ingin terus berkembang dan bertahan di era dan lingkungan ekonomi yang makin dinamis. Terlebih, prinsip utama dari wakaf produktif berperan ganda, yaitu mengembangkan pokok wakaf yang diamanatkan oleh para wakif sekaligus mendistribusikan manfaat bagi mauquf’alaih yang lebih luas dari aspek sosial.
Sepertihalnya bisnis pada umumnya, area usaha yang dapat dieksplorasi dalam pengembangan wakaf produktif sangat luas. Namun bisnis yang dapat dijalankan menggunakan instrumen keuangan Islam ini tentu memiliki perbedaan dengan bisnis biasa, yaitu terletak pada prinsip syariah yang harus dipatuhi oleh para nazhir. Bahkan menurut Maulina dkk (2023), seorang nazhir yang mengelola wakaf produktif dapat disebut juga sebagai wakafpreneur (pengusaha berbasis wakaf) yang mana selain memiliki komitmen yang kuat dalam mengembangkan wakaf, mereka harus memiliki pemahaman yang sangat baik terhadap risiko agar dapat mewujudkan visi lembaga. Seorang nazhir harus mampu memitigasi dan meminimalisir risiko sehingga dana wakaf yang digunakan untuk pengembangan usaha tidak berkurang atau bahkan hilang.
Pemerataan Kaderisasi Nazhir Kompeten Sebuah Keharusan
Sampai saat ini masih cukup banyak ditemui lembaga nazhir yang memiliki ketergantungan yang tinggi pada kehadiran pimpinan agama yang sudah lama berkecimpung dalam lembaga wakaf. Contohnya dalam pengelolaan pesantren yang merupakan contoh wakaf turun temurun. Ariatin dkk (2023) dalam penelitiannya menyoroti pengaruh signifikan para pemimpin pesantren terhadap perilaku bisnis komunitas pesantren dan peran krusial mereka dalam membentuk tujuan bisnis dan mencapai profitabilitas operasional. Sayangnya menurut Maulina dkk (2023), karakter kepemimpinan ini terkadang belum diimbangi dengan keterampilan kewirausahaan yang kuat. Bahkan, perbedaan madzhab fiqih Islam yang ada semakin diperuncing dan kebijakan kelembagaan yang kaku justru menghambat pengelolaan wakaf secara modern.
Mengingat peran dan tugas nazhir yang sangat sentral dalam pengelolaan wakaf produktif, salah satu upaya memitigasi risiko yang bersumber dari SDM adalah dengan peningkatan kapasitas nazhir untuk mencetak nazhir yang kompeten. Di Indonesia khususnya, salah satu kendala dalam pengelolaan wakaf adalah masih kurangnya kompetensi nazhir (Huda, 2017). Dengan demikian, nazhir sebagai pengelola wakaf harus memiliki sertifikat khusus. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa dana wakaf dikelola dengan baik dan benar, sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh banyak orang.
Keahlian dan kompetensi nazhir dalam pengembangan usaha berbasis wakaf produktif juga berasal dari cukupnya pengetahuan bisnis yang harus dimiliki oleh nazhir. Jika pengetahuan bisnis, pengalaman, dan keterampilan manajemen nazhir masih minim maka menambah risiko pengelolaan wakaf produktif karena berdampak pada motivasi ke depan. Namun keberadaan nazhir kompeten tidak dapat dibangun hanya secara individual, melainkan harus menyeluruh di dalam sebuah lembaga. Sehingga kompetensi nazhir akan mencerminkan kompetensi lembaga.
Di masa mendatang, pemerintah dan pemangku kepentingan dalam wakaf produktif harus menawarkan berbagai program pelatihan dan bimbingan yang dapat meningkatkan keterampilan bisnis sekaligus motivasi para nazhir. Kolaborasi (mu’awanah) antara praktisi dan akademisi dalam program ini juga akan memberikan wawasan yang berharga. Bimbingan dari nazhir berpengalaman dan peluang mengembangkan jejaring juga dapat lebih meningkatkan motivasi pengelolaan wakaf produktif. Dengan semakin meningkat dan meratanya kompetensi antar nazhir di dalam sebuah lembaga, diharapkan akan mampu mengurangi berbagai potensi risiko sekaligus menyelesaikan masalah utama yang dihadapi, yaitu dominasi peran seorang individu di dalam sebuah lembaga wakaf serta kesenjangan antara praktik dan kebijakan kelembagaan.