Nazhir adalah kunci sukses pengelolaan harta wakaf. Karena itu, selain pintar, nazhir juga dituntut kreatif dan terus mengembangkan diri. Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI) Prof. K.H. Tholhah Hasan.
Berikut ini wawancara wartawan Republika Erdy Nasrul dengan Prof. K.H. Tholhah Hasan di sela-sela kegiatan “Workshop Nazhir Wakaf Produktif” di Hotel Santika TMII beberapa waktu yang lalu.
Seperti apa dinamika wakaf saat ini?
Stagnasi perkembangan wakaf di Indonesia ketika pada 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk peningkatan kesejahteraan umat. Ternyata, konsep tersebut menarik dan mampu memberikan energi untuk menggerakkan kemandekan perkembangan wakaf.
Pada 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (waqf an-nuqûd). Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh hadirnya Undang-Undang Nomor 41/2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bergerak, seperti uang. Selain itu, diatur pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai dari pembentukan nazhir sampai dengan pengelolaan harta wakaf.
Untuk dapat menjalankan dungsinya, UU ini masih memerlukan perangkat lain, yaitu peraturan pemerintah dan peraturan menteri agama tentang wakaf uang (PMA Wakaf Uang) yang akan menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral nazhir wakaf.
Dan, setelah melalui proses panjang, pada pengujung 2006 terbitlah PP Nomor 42/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf. Setelah itu, pada Juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75/M tahun 2007 yang memutuskan dan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010.
Bagaimana memaksimalkan pengelolaan wakaf?
Kita beberapa waktu lau menyelenggarakan workshop dengan melibatkan banyak pengelola wakaf atau nazhir di seluruh Indonesia. Momentum itu membawa beberapa pesan, salah satunya adalah memaksimalkan peran dan fungsi nazhir agar aset-aset wakaf dapat dipergunakan semaksimal mungkin.
Ini artinya, aset wakaf harus dikembangkan. Nazhir harus mengelolanya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Tentu, harus melibatkan masyarakat sekitar. Pengembangannya bisa untuk apa pun selama bisa dimanfaatkan umat.
Seperti apa potret nazhir?
Secara keilmuan, mereka semua luar biasa. Mereka memahami betul tradisi wakaf, baik dari aspek teori maupun praktik. Sejarah dan dalil-dalil mengenai wakaf mereka kuasai betul. Kita tidak perlu meragukan aspek kelimuan mereka. Namun demikian, mereka harus tetap mengembangkan diri.
Mengapa begitu?
Karena pengelolaan wakaf tidak hanya membutuhkan kepintaran. Lebih dari itu, kita butuh kreativitas. Ilmu berguna untuk menjadi dasar mengelola wakaf. Nah, lebih dari itu adalah kreativitas. Kita butuh hal kedua untuk lebih memaksimalkan dan memberdayakan aset-aset wakaf kita. Bayangkan, aset wakaf yang berbentuk tanah kosong sangat banyak. Ini butuh kreativitas untuk mengelolanya.
Maksud saya, kreativitas ini berkaitan dengan mau diapakan aset itu. Misalkan, pengalaman yang pernah saya lakukan adalah menggunakan aset wakaf untuk membangun sekolah dan rumah sakit. Modalnya sekitar Rp2 miliar. Tapi, dalam waktu tidak sampai sepuluh tahun, kita sudah mampu meraih keuntungan lebih dari Rp2 miliar. Bahkan, keuntungannya jauh lebih banyak lagi. Ini adalah salah satu bentuk kreativitas.
Nazhir kita lemah di aspek ini. kita memang memiliki aset tanah wakaf lebih dari ratusan hektare. Tapi ya, bagaimana, kita kekurangan dana untuk mengelolanya. Di sinilah kekreativan nazhir diperlukan. Bagaimana caranya agar aset-aset tersebut bisa diberdayakan. Insya Allah, ada saja jalannya jika kita mau usaha.
Hasil evaluasi sementara?
Ada daerah-daerah yang kreatif mengelola wakaf. Hasilnya juga menggembirakan. Kita bersyukur dengan daerah-daerah ini. Namun demikian, ada juga yang masih kurang. Daerah ini belum mengalami kemajuan sehingga perlu ditingkatkan lagi.
Saya rasa pengurus badan wakaf tidak perlu mengkhawatirkan dana karena sebentar lagi akan ada bantuan dari Kemenag sebesar Rp100 juta. Selain itu, ada juga alokasi anggaran dari Pemda-Pemda di seluruh Indonesia untuk pengelolaan wakaf.
Jadi, apa modal keberhasilan pengelolaan wakaf?
Beberapa poinnya sudah saya jelaskan di atas. Ada keilmuan ada kreativitas. Selain itu, kita butuh keberanian dalam bertindak. Ini butuh usaha keras. Bayangkan, wakaf di Indonesia sekitar 79 persen masih nonproduktif karena dalam bentuk tanah yang belum dikembangkan secara maksimal. Penyebab belum termanfaatkannya wakaf tanah adalah pengembangan investasi/bisnis belum dijangkau lebih luas dari berbagai aspek, padahal banyak yang dapat dilakukan. (Republika)