Wakaf Produktif Sebagai Part of Solution

Memiliki penduduk muslim dengan populasi mayoritas di Indonesia, menjadikan pengumpulan dana wakaf potensial besarnya. Dan Wakaf itu tidak terbatas dengan harta yang dimiliki.

Prof. Mohammad Nuh selaku Kepala Badan Wakaf Indonesia menuturkan, jika wakaf bukan sekedar bagaimana mengumpulkannya, tetapi bagaimana bisa memanfaatkannya.

“Yang penting bukan sekedar dikumpulin, tapi yang bisa dimanfaatkan itu hasil olahan dari yang dikumpulin itu. Sehingga dari situlah nadzir (penghimpun wakaf) itu profesional,” ujanya, Sabtu (7/3/2020).

Disela acara “Seminar Nasional Potensi dan Tantangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia dalam Memberi Solusi Pemberdayaan Umat,” mantan Menteri Pendidikan ini mengatakan, ada perbedaan yang mencolok antara zakat dan wakaf.

“Karena harta wakaf kan gak boleh dipakai, kalau zakat sebagai amil saya bisa dapat 2,5 persen untuk mengelola aset zakat,” tambahnya.

Jika zakat, seorang yang mengelola zakat atau amil, dierbolehkan menerima sebagian dari harta yang dikumpulkan. Sedangkan penghimpun wakaf atau nadzir, tidak diperkenankan, kecuali megambil 10 persen dari manfaat dari wakaf.

“Saya gak boleh ambil 10 persen dari aset wakaf, tapi aset wakaf itu saya kelola, hasilnya X maka maksimum badan atau amil itu maksimal hanya 10 persen dari X itu,” tuturnya.

Sampai saat ini, masyarakat hanya mengenal wakaf berupa tanah untuk makam, madratsah atau sekolah, dan untuk pembangunan Masjid atau Musholla.

Namun nyatanya, wakaf bisa berupa apa saja, ada wakaf kendaraan, bahkan wakaf jasa, seperti mewakafkan tenaga ilmunya untuk mengajar tanpa dibayar.

“Zis (zakat, infak, shodaqoh) itu dasyat, operasionalnya wakaf itu ditanggung oleh si Zis itu, sehingga semakin dahsyat,” tandasnya.

(RRI)

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *