Wakaf pada masa new normal haruslah menjadi kelaziman baru di masyarakat. Pengelolaan wakaf secara produktif jika dioptimalkan dapat menggerakkan perekonomian dan laba yang dihasilkan dapat diarahkan untuk menjadi sumber pembiayaan berkelanjutan bagi sektor pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat yang diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan secara merata dan komprehensif di masyarakat.
Wakaf sebagai suatu kelaziman baru pada masa kini memerlukan sejumlah hal untuk dapat berjalan dengan optimal. Pertama, penggunaan teknologi informasi pada pengelolaan wakaf perlu ditingkatkan. Hal ini setidaknya mencakup beberapa aspek dalam perwakafan, seperti sosialisasi kepada masyarakat, sistem pembayaran donasi wakaf berbasis digital, hingga sistem informasi pengelolaan wakaf.
Kedua, sinergi antara lembaga pengelola wakaf dan pemerintah perlu diperkuat agar beberapa aspek krusial dalam pengelolaan wakaf, seperti sinergi dalam hal data mauquf ’alaih (penerima manfaat wakaf) dengan data penerima bantuan pemerintah, dan juga sinergi antara program pengelolaan wakaf dan tujuan pembangunan yang dicanangkan pemerintah makin optimal. Selain itu, amandemen Undang-Undang Wakaf yang telah berusia 16 tahun yang dapat mengakomodasi praktik pengelolaan wakaf masa kini juga diharapkan memperkuat perwakafan di Indonesia. Sebagai suatu kelaziman baru, wakaf tidak lagi sekadar berdonasi untuk membantu sesama, namun harus mampu memperkuat ekonomi nasional dan menyejahterakan masyarakat.
Ketiga, wakaf perlu disinergikan juga dengan agenda pembangunan nasional, salah satunya tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs). Artinya, wakaf hendaknya dapat sejalan dengan gerakan SDGs, khususnya aspek pemberian manfaat wakaf pada sektor-sektor pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan, pengentasan kemiskinan, pembukaan lapangan pekerjaan, hingga isu lingkungan. Khusus sektor kesehatan, pengelolaan wakaf secara produktif diperlukan untuk memperkuat ketahanan kesehatan nasional pascapandemi seperti pengadaan APD hingga obat-obatan sehingga penyediaan layanan kesehatan tidak mengorbankan kemandirian ekonomi nasional.
(Jpnn)
Penulis: Raditya Sukmana, Profesor ekonomi Islam, FEB Universitas Airlangga
satu Respon
hadir