Tanah Adat, Dapatkah Disertifikatwakafkan?

Tanah Adat, Dapatkah Disertifikatwakafkan?

Wakaf tanah merupakan salah satu jenis perbuatan wakaf yang paling banyak diminati oleh umat Islam terutama di Indonesia, karena salah satu kelebihan

Berkunjung ke RS Mata Achmad Wardi, Ketua BWI: Capaian Baik Harus Terus Ditingkatkan!
Badan Wakaf Indonesia Gelar Rakornas 2020 Segera
Anggota Komisi 8 DPR RI Dorong Penguatan Literasi Wakaf

Wakaf tanah merupakan salah satu jenis perbuatan wakaf yang paling banyak diminati oleh umat Islam terutama di Indonesia, karena salah satu kelebihan harta bagi orang mampu adalah kelebihan tanah. Berdasarkan data system informasi wakaf Kementerian Agama bahwa jumlah lokasi tanah wakaf yaitu 385.218 lokasi tanah wakaf yang tersebar diseluruh Provinsi, dengan total luas yaitu 52.209,33 Ha. 

Diatas tanah wakaf tersebut dibangun sesuai dengan peruntukannya seperti masjid, mushola, kuburan (pemakaman), pesantren, sekolah dan peruntukan social lainnya. Mayoritas peruntukan tanah wakaf yaitu untuk masjid, sebanyak 44,26% tanah wakaf yang ada di Indonesia dibangun masjid, ini berarti ada 169.988 lokasi tanah wakaf yang diatasnya berdiri bangunan masjid. Umumnya dimasyarakat menjadi tradisi atau kebiasaan bahwa tanah wakaf dibangun masjid, sehingga kebanyakan tanah wakaf di Indonesia yang dibangun masjid ataupun mushola.

Kebudayaan dan adat istiadat merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat di Indonesia, budaya dan adat menjadi identitas bangsa Indonesia, menjalankan dan menjaga budaya dan adat yang diwariskan oleh para leluhur adalah keharusan bagi masyarakat, termasuk didalamnya menjaga dan melestarikan tanah adat.

Tanah Adat terbagi 2 (dua) pengertian yaitu : pertama, Tanah “Bekas Hak Milik Adat” yang menurut istilah populernya adalah Tanah Girik, berasal dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum dikonversi menjadi salah satu tanah dengan hak tertentu (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau Hak Guna Usaha) dan belum didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam-macam: girik, petok, rincik, ketitir dan lain sebagainya.

Selanjutnya yang kedua yaitu : Tanah milik masyarakat ulayat hukum adat, yang bentuknya seperti: tanah titian, tanah pengairan, tanah kas desa, tanah bengkok dan lain sebagainya. Untuk jenis tanah milik masyarakat hukum adat ini tidak bisa disertifikatkan begitu saja. Kalau pun ada, tanah milik masyarakat hukum adat dapat dilepaskan dengan cara tukar guling (ruislag) atau melalui pelepasan hak atas tanah tersebut terlebih dahulu oleh kepala adat.

Dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dijelaskan bahwa tanah yang dapat diwakafkan salah satunya yaitu Hak Milik atau Tanah Milik Adat yang belum terdaftar.

Tanah wakaf yang berasal dari Tanah Milik Adat dapat didaftarkan menjadi Tanah Wakaf atas nama Nazhir, dengan cara mengajukan permohonan pendaftaran Wakaf atas bidang tanah, dengan persyaratan atau lampiran berkas yaitu surat permohonan, peta bidang tanah/surat ukur, bukti kepemilikan tanah yang sah, AIW atau APAIW, surat pengesahan nazhir yang bersangkutan dari instansi yang menyelenggarakan urusan agama tingkat kecamatan dan surat pernyataan dari Nazhir/Wakif atau surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah/tokoh masyarakat bahwa tanahnya tidak dalam sengketa, perkara, sita dan tidak dijaminkan.

Apabila telah memenuhi persyaratan permohonan pendaftaran diatas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka Kepala Kantor Pertanahan akan menerbitkan keputusan penegasan sebagai Tanah Wakaf atas nama Nazhir, setelah diterbitkannya keputusan penegasan sebagai Tanah Wakaf selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Tanah Wakaf atas nama Nazhir.

Sebelum proses pengaktaan ikrar wakaf, harus ada musyawarah dengan Tokoh atau pemangku adat dalam proses peralihan status dari tanah adat menjadi tanah wakaf, agar ada kesepakatan bersama antara para tokoh atau pemangku adat untuk melengkapi persyaratan pelepasan tanah adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, supaya tanah adat dapat dikelola secara maksimal oleh Nazhir untuk kepentingan dan kemashlahatan umat dan juga sebagai antisipasi apabila dikemudian hari ada yang menggugat ataupun mengambil alih secara illegal tanah wakaf tersebut.

Tanah yang telah diwakafkan sejatinya adalah hak milik Allah SWT, yang dikelola oleh Nazhir agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, Nazhir tidak memiliki status sebagai pemilik, tetapi sebagai pengelola yang bertanggungjawab di dunia kepada para stake holder wakaf dan juga di akhirat kepada Allah SWT. 

Penulis: M.E. Burhanuddin, S.H.,M.H.

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0