Jakarta – Pernahkah merasakan secangkir kopi diseduh dengan air asin dari laut? Warga di kampung Beling Lewun, Desa Dulitukan, Kecamatan Ile Ape, Nusa Tenggara Timur, tidak punya pilihan lain. Sudah bertahun-tahun mereka menggunakan air asin untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk memasak dan minum, karena ketiadaan sumber air tawar.
“Terpaksa pakai air lautlah, mandi pakai sabun pun kurang berbusa. Agar tidak terlalu gatal, maka setelah mandi, tubuh disiram air tawar sekitar satu atau dua gelas,” ujar Arifudin Anwar, pimpinan Pondok Pesantren Ikhwatul Mukminin, Adonara, (9/8). Agar air asin layak dikonsumsi, warga mencoba melakukan teknik penyulingan sederhana yang jauh dari memadai.
Sumur air tawar di sana airnya berwarna coklat dan terisi hanya saat musim penghujan. Sumur tersebut lebih mirip tampungan air hujan dari pada sebuah sumber air. Bila musim kemarau tiba, air laut merembes ke dalam sumur yang membuat air sumur menjadi asin.
Kondisi ini terjadi hampir di seluruh wilayah pesisir pantai Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Air tawar apalagi untuk diminum merupakan barang langka.
Rencana pemerintah daerah untuk mengalirkan air tawar melalui pipanisasi dari kabupaten terdekat yang memiliki sumber mata air sudah bergulir sejak 1980. Ketika itu Lembata masih menjadi satu dengan Kabupaten Flores Timur. Namun hingga kini saat Lembata sudah menjadi kabupaten sendiri, pipanisasi tersebut belum juga terwujud.
Belakangan ada truk tangki swasta yang menjual air tawar kepada warga di Ile Ape. Namun, kendaraannya sudah tua dan datang sepekan sekali. Biasanya satu rumah, beranggotakan sekitar 5 sampai 10 orang, membeli satu drum (160 liter). Sementara rata-rata per orang hanya mengkonsumsi 2-4,5 liter sehari, jauh di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan batas untuk masyarakat pedesaan adalah 80-100 liter/orang/hari, dan untuk masyarakat perkotaan 100-120 liter/orang/hari.
Harga satu drum air tawar Rp 15.000, sehingga dalam sebulan mereka menghabiskan dana sekitar Rp. 60.000-75.000 untuk membeli air. Bagi mereka, jumlah ini sangat memberatkan. Maklumlah, warga di sini, yang pada umumnya nelayan rumput laut, memiliki rata-rata penghasilan perbulan hanya Rp 500.000.
Untuk meringankan beban warga Ile Ape, Badan Wakaf Al-Qur’an (BWA) meluncurkan program penghimpunan dana wakaf pengadaan sarana air bersih untuk desa-desa Muslim Ile Ape. Wakaf berupa satu unit truk tangki dengan kapasitas 5.000 liter dan pembangunan bak penampungan air di empat desa di Ile Ape (Kolipadang, Palilolon, Dulitukan, dan Tagawiti).
Berdasarkan hasil survey geolistrik yang dilakukan BWA dan PT. Toha Drilling pada April 2010 di desa Dulitukan dan Palilolon, pengeboran sumur tak mungkin dilakukan karena air asin atau payau masih terkandung hingga lapisan akuifer di kedalaman +100 meter.
Truk tangki hasil wakaf tersebut akan mengambil air dari sumber mata air yang jaraknya sekitar 15 km dari desa dan kemudian mengisi bak-bak penampungan dan drum milik warga. Truk akan beroperasi setiap hari.
Untuk pengoperasian dan pemeliharaan sarana air bersih tersebut, warga akan membayar iuran mingguan yang tidak memberatkan. Adapun pengelolaan sarana menjadi tanggung jawab nadzir wakaf, yakni ust. Arifudin Anwar yang juga partner lapang BWA di Ile Ape dan Adonara NTT.
Bagi yang ingin membantu merealisasikan rencana wakaf sarana air bersih ini, dapat menyalurkan dana wakafnya di www.wakafquran.org. (rpblk)