Wakaf sejatinya pesan untuk ekonomi produktif. Setidaknya, ini sesuai tonggak sejarah wakaf yakni saat Sayyidina Umar Bin Khattab datang kepada Rasulullah SAW untuk menyerahkan tanahnya di Khaiba guna disedekahkan di jalan Allah kepada Rasulullah.
Namun Rasulullah menolak dan memberikannya kembali kepada Umar seraya berpesan agar dirinya terus mengelola lahan itu agar apa yang tumbuh di atasnya dialirkan kepada para mawkuf alaihi, para pengelola, juga keluarga Umar yang masih membutuhkan.
Jadi jelas inti pesan sejarah ini, wakaf hendaklah dikelola secara produktif dan berkesinambungan.
Seperti kita ketahui, World Giving Index menyatakan, tingak kedermawanan orang Indonesia tertinggi di dunia.
Ini menandakan, passion orang Indonesia dalam filantropi cukup tinggi. Namun disayangkan, kedermawanan ini tak diiringi tingkat literasi wakaf yang memadai. Tentu kondisi ini berujung rendahnya partisipasi masyarakat berwakaf.
Saat ini, kita melihat masih lebarnya kesenjangan potensi wakaf sebesar Rp 180 triliun yang baru bisa dicapai Rp 500 miliar dalam satu tahun (Rilis Badan Wakaf Indonesia 2020).
Artinya capaiannya masih sekitar 0,3 persen dari potensi. Maka kondisi ini membawa kita pada suatu kesimpulan teoritis bahwa “menciptakan pasar wakaf dengan cara menaikkan tingkat literasi masyarakat tentang wakaf”.
Postulat ini membawa kita ke tiga misi dalam mengubah pola pikir masyarakat. Pertama, mengubah pola pikir bahwa wakaf adalah ibadahnya orang kaya saja. Kedua, wakaf hanya lazim ditunaikan dalam bilangan-bilangan besar.
Ketiga, mengubah pola pikir bahwa wakaf tak perlu segera ditunaikan. Ini paling urgen untuk diubah. Tiga perubahan tersebut sangat mungkin terjadi jika kita konsisten memberikan edukasi publik dan berkelanjutan dalam mengembangkan literasi tentang wakaf.
Melakukan edukasi soal wakaf paling efektif dengan memberikan contoh dan menunjukkan kisah sukses. Begitu pula dengan wakaf. Nazir atau pengelola wakaf, diharapkan melakukan edukasi efektif tatkala mampu memaparkan contoh positif dan keberhasilan pegelolaan aset wakafnya.
Maka tugas nazir adalah mengedukasi masyarakat dengan memberikan informasi secara luas atas keberhasilannya dalam mengelola aset wakaf. Terkait edukasi, perlu ada kontinuitas dan menguasai komunikasi baik media luar ruang, penyiaran, maupun media sosial.
Hal lainnya yang mesti menjadi perhatian nazir adalah penghimpunan wakaf. Nazir mesti mampu membangun kolaborasi strategis dan membuka kanal penghimpunan, misalnya kerja sama dengan perbankan, industri nonkeuangan maupun CSR.
Langkah berikutnya, mendayagunakan aset wakaf agar dapat menjadi sumber penghasilan dengan memberikan surplus usaha/wakaf. Maka, nazir harus mampu mengelola aset sesuai prinsip kewirausahaan yang berorientasi profit center.
Sebab, dari profit itulah nazir mampu mengalirkan manfaat kepada mawkuf alaih, mendapatkan benefit operasional, dan sumber pemeliharaan dan pengembangan asset wakaf. Dan nazir bisa mengoptimalisasi surplus wakaf yang ada.
Ini terkait tugas nazir membuat model penyaluran atas surplus wakaf yang diraihnya. Termasuk saat akan memulai pengelolaan aset wakaf, nazhir harus punya target surplus.
Tujuannya, memastikan berapa besar manfaat mawkuf alaih yang bisa disalurkan, nilai dana reinvestasi untuk pengembangan usaha yang bisa diperoleh dari surplus wakaf, dan hak operasional nazir yang bisa digunakan sebagai insentif pengelola.
Jika nazir mampu mendefinisikan fungsi dan peran seperti itu, maka target capaian dan indikator keberhasilan pegelolaan aset wakaf akan sangat terukur dan terjamin keberlangsungannya.
Penulis : Bobby P. Manullang (Ketua Forum Wakaf Produktif)
Sumber : Republika