Oleh: Irfan Syauqi Beik*

Ada yang menarik tentang wakaf uang ini. Di satu sisi ia adalah instrumen yang kental dengan fungsi sosial, karena lahir dari semangat kedermawanan dan rasa ingin berbagi. Namun di sisi lain, ia juga memiliki sisi komersial yang tidak boleh diabaikan. Ini karena nilai pokok uang wakaf harus dijaga, dan cara terbaik menjaganya adalah dengan menginvestasikannya pada instrumen-instrumen investasi syariah, baik di sektor riil maupun sektor keuangan. Kalau tidak diinvestasikan, nilai pokok uang akan tegerus inflasi sehingga daya belinya akan terus berkurang.

Dengan dua karakteristik tersebut yang melekat pada wakaf uang, dan juga pada aset-aset wakaf lainnya yang dibingkai dalam konsep wakaf produktif, maka keterlibatan lembaga keuangan syariah menjadi sangat penting. Dalam desain regulasi saat ini, keterlibatan LKS ada pada dua hal, yaitu sebagai LKS PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang) dan sebagai nazhir wakaf uang. LKSPWU secara khusus disematkan untuk perbankan syariah, sementara nazhir wakaf uang saat ini didominasi oleh lembaga keuangan mikro syariah, seperti koperasi syariah dan BMT, dan bank syariah dilarang menjadi nazhir wakaf uang. Tentu di luar LKMS ini, ada banyak yayasan yang telah mendapat izin sebagai nazhir wakaf uang dari BWI.

Yang menarik, inovasi produk berbasis wakaf uang ini perkembangannya sangat luar biasa. Di luar investasi pada produk bank syariah tradisional seperti tabungan dan deposito, telah berkembang sejumlah inovasi produk wakaf uang yang terkait dengan investasi di sektor riil (meski banyak yang tidak dijamin asuransi syariah), maupun yang dikawinkan dengan produk keuangan komersial syariah lainnya. Berawal dari kolaborasi wakaf dan asuransi syariah via produk wakaf polis asuransi, saat ini produk wakaf uang telah berkembang pada Cash Waqf Linked Sukuk dan produk sukuk-linked wakaf melalui mekanisme SCF (securities crowdfunding) syariah. Penerbitan sukuk-linked wakaf yang diluncurkan saat ISEF 7 Oktober 2022 lalu, oleh Yayasan Lingkar Sehat Indonesia bekerja sama dengan unit syariah dari Fundex, salah satu penyelenggara SCF, merupakan salah satu bukti bahwa dinamika itu sudah sedemikian dalam dan berpotensi menjadi tren baru perwakafan ke depannya.

Penulis meyakini bahwa dinamika seperti ini akan terus berkembang, sehingga menuntut adanya penyesuaian dari sisi regulasi. Penyesuaian ini menjadi sangat penting karena jangan sampai regulasi justru menjadi faktor penghambat dinamika yang ada. Harapan utamanya tentu pada pengusulan pembahasan RUU Wakaf di DPR. Namun, sambil menunggu proses tersebut, ada baiknya kita memanfaatkan momentum pembahasan RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Tentu tidak semua harapan perbaikan regulasi ini dititipkan melalui RUU P2SK, namun paling tidak, ada hal yang diharapkan dapat diakomodasi dalam RUU ini. Yaitu, regulasi mengenai posisi bank syariah sebagai nazhir wakaf uang. Idealnya, seluruh LKS perlu diberikan kesempatan menjadi nazhir wakaf uang, namun khusus bank syariah, agar tidak dibatasi perannya hanya sebagai LKS PWU.

Urgensi nazhir wakaf uang

Ada tiga alasan yang melatarbelakangi usulan bank syariah menjadi nazhir wakaf uang. Pertama, secara internasional, pasca terjadinya krisis global tahun 2008, Islamic Development Bank melalui IRTI (sekarang menjadi IsDB Institute) telah mengembangkan FSAP (Financial Sector Assessment Program) for Islamic Finance, mengikuti langkah serupa yang telah diinisiasi oleh World Bank. Dalam FSAP for Islamic Finance ini dibahas mengenai sektor-sektor yang dapat mempengaruhi stabilitas sistim keuangan syariah dan penguatan perekonomian. Salah satunya adalah sektor keuangan sosial syariah yang berbasis ZISWAF. Hal tersebut mengindikasikan bahwa wakaf uang hendaknya masuk menjadi salah satu concern utama ketika berbicara tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan, khususnya keuangan syariah.

Karena itu, fokus pengembangan wakaf uang ini tidak hanya menjadi wilayahnya Kemenag dan BWI saja, namun juga harus menjadi perhatian bersama seluruh otoritas di bidang keuangan dan perekonomian.

Kedua, perekonomian Indonesia termasuk ke dalam banking-based economy, dimana peran perbankan dalam mengalirkan “darah” bagi tubuh perekonomian masih sangat dominan. Hal ini ditunjukkan dengan porsi aset perbankan terhadap PDB mencapai angka 59,5 persen. Meski masih lebih kecil dibandingkan Malaysia (198,6 persen), Singapura (572,1 persen) dan Thailand (146,6 persen), yang aset perbankannya meleibihi PDB-nya, namun dengan porsi yang hampir 60 persen, dan disertai dengan fakta banyaknya program pemerintah yang disalurkan melalui perbankan, maka keberadaan perbankan menjadi sangat penting. Termasuk dalam hal pengelolaan wakaf uang.

Dengan kapasitas dan kemampuan bank syariah saat ini, maka menjadikan bank syariah sebagai nazhir wakaf uang adalah pilihan strategis untuk mengoptimalkan potensi wakaf uang yang mencapai angka Rp 180 triliun, sekaligus memanfaatkan wakaf uang tersebut secara produktif untuk menggerakkan perekonomian nasional. Bank syariah akan lebih termotivasi untuk mendorong kampanye wakaf uang ini, dan ini juga akan memberi peluang alternatif sumber pembiayaan bagi UMKM yang porsinya mendominasi perekonomian Indonesia.

Ketiga, kapasitas penyaluran wakaf uang untuk investasi di sektor riil akan semakin besar. Ini dikarenakan kemampuan bank syariah telah teruji dalam hal penyaluran pembiayaan di sektor riil. Termasuk jika penyalurannya dilakukan dengan melibatkan institusi keuangan syariah lainnya, seperti penyaluran dalam bentuk channeling. Bisa dibayangkan jika investasi wakaf uang yang 180 triliun itu dilakukan pada sektor-sektor strategis dalam perekonomian, maka dampak multiplier-nya akan sangat luar biasa. Kolaborasi dengan institusi-institusi nazhir lainnya juga akan berkembang dengan baik.

Jika melihat kata wakaf dalam RUU P2SK, saat ini ada satu kata wakaf di Pasal 109, dimana wakaf dapat menjadi salah satu sumber pendanaan modal ventura. Kenapa tidak, kata wakaf ini, termasuk wakaf uang, diperluas pada pasal-pasal terkait perbankan syariah, dan bahkan LKS lainnya. Kalaupun UU No 41/2004 tentang Wakaf terkena dampak, maka hal tersebut hanya pada pasal-pasal tentang LKSPWU. Karena itu, penulis berharap pemerintah dan DPR dapat mempertimbangkan usulan ini, untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Ekonom Syariah FEM IPB dan Anggota BWI

Artikel ini telah dimuat di Rubrik Iqtishodia Republika 27 Oktober 2022

 

 

Loading

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *